Anak yang berusia kurang dari 18 tahun mempunyai hak untuk memberi pandangan, pendapat, berpartisipasi, dan pengambilan keputusan dalam setiap kegiatan, kebijakan, dan pembangunan, apalagi jika menyangkut kebutuhan dan kepentingan anak. Namun, anak tidak mempunyai kekuasaan untuk ikut serta dalam setiap proses, karena semua proses dan pelaksanaannya berada di bawah kekuasaan dan kewenangan orang dewasa. 

1

Selain tidak diberi ruang dan kesempatan untuk berpartisipasi, umumnya orang dewasa menganggap anak tidak mempunyai kemampuan dan pengalaman, sehingga segala kebutuhan dan kepentingan anak telah diwakili orang dewasa. Karena itu, segala sesuatu yang terkait dan merupakan kepentingan anak, semuanya dibuat, ditentukan, dan diputuskan oleh orang dewasa, yang kemudian ketika tidak dipatuhi atau dilanggar oleh anak, dia akan mendapat stigma sebagai anak yang tidak taat atau anak nakal, dan seterusnya.

Hubungan yang Tidak Setara
Stigma negatif dan buruk terhadap anak mudah dimunculkan orang dewasa, karena hubungan tidak setara antara anak dan orang dewasa. Orang dewasa mempunyai kekuasaan penuh terhadap anak di berbagai ranah kehidupan sosial, baik kehidupan keluarga, kehidupan informal, hingga formal, termasuk dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. 

Hubungan tidak setara menempatkan anak pada posisi rentan yang kerentanannya bertingkat dan berlapis. Selain karena bergantung kepada orang-orang dewasa, anak juga menyandang status karena berbagai peristiwa dan kondisi yang tidak diinginkannya, seperti anak angkat, anak asuh, anak yatim, anak piatu, anak yatim piatu, anak dari keluarga miskin, dan sebagainya. Di samping itu, anak juga masih menyandang status lain yang meningkatkan kerentanannya, seperti anak perempuan, anak penyandang disabilitas, dan anak perempuan penyandang disabilitas.

Daftar status semakin menambah kerentanan anak, seperti warna kulit, suku, dan kepercayaan/agama. Sementara keterlibatan anak dalam lingkungan dan aktivitas yang seharusnya merupakan aktivitas orang dewasa, tidak hanya meningkatkan kerentanan anak, tetapi telah memasukkan anak ke dalam lingkungan eksploitatif terhadap anak, seperti pekerja anak/buruk anak, anak jalanan, dan sebagainya. 

Di berbagai lingkungan sosial yang dianggap sebagai tempat bagi pengembangan diri dan pendidikan bagi anak, pun anak rentan mengalami diskriminasi, kekerasan, eksploitasi, penelantaran, dan perlakuan salah (selanjutnya disebut kekerasan). Di sekolah umum, sekolah agama, tempat kursus, tempat pelatihan, rumah ibadah, dan sebagainya, anak-anak mengalami kekerasan fisik, psikis, dan seksual, serta perlakuan salah lainnya.

1

Prinsip Hak Anak
Di berbagai lingkungan sosial dan publik, yang merupakan ruang terbuka, pun anak-anak mengalami berbagai bentuk kekerasan, karena di berbagai lingkungan tersebut tidak adanya aturan, protokol, kode etik, atau kebijakan yang mengatur pemenuhan hak dan perlindungan anak. 
Pemerintah Indonesia telah meratifikasi Konvensi Hak Anak (Convention on the Rights of the Child) 1989 yang merupakan instrumen internasional yang mengatur hak dan perlindungan, dan telah membuat aturan hukum nasional, yakni Undang-Undang Perlindungan Anak (UU No. 23/2002, diubah dengan UU No. 35/2014, dan UU No. 17/2016). Namun instrumen tersebut tidak memberikan jaminan bagi setiap individu, masyarakat, dan lembaga dapat memenuhi hak dan memberi perlindungan bagi anak.

Setiap lingkungan dan ruang sosial, di berbagai organisasi/lembaga, seperti sekolah, kantor pemerintah, kantor swasta, perusahaan, pertokoan, lembaga layanan, dan sebagainya perlu membuat aturan, protokol, atau kebijakan perlindungan anak, yang menjadi standar bagi perilaku staf, pegawai/karyawan, atau orang-orang terkait terhadap anak. Lembaga perlu mempunyai mekanisme terukur dalam pencegahan kekerasan terhadap anak, dan penanganan terhadap staf, pegawai/karyawan, atau orang-orang terkait yang melakukan kekerasan terhadap anak.

Setiap aturan atau kebijakan yang dibuat oleh lembaga harus mengacu pada prinsip hak dan perlindungan anak secara universal, yang dianut dalam Konvensi Hak Anak (KHA) dan diadopsi dalam Undang-Undang Perlindungan Anak, sebagai berikut:

  • Non diskriminasi (nondiscrimination), yaitu pemenuhan hak dan perlindungan anak harus diberlakukan kepada setiap anak tanpa memandang perbedaan apapun.
  • Yang terbaik bagi anak (best interest of the child), yaitu dalam pemenuhan hak dan perlindungan anak, maka apa yang terbaik bagi anak haruslah menjadi pertimbangan yang utama.
  • Kelangsungan hidup dan perkembangan anak (survival and development), yaitu kelangsungan hidup dan perkembangan anak melekat pada diri setiap anak, sehingga  harus diakui dan menjadi prinsip dari pemenuhan hak dan perlindungan anak.
  • Penghargaan terhadap pandangan anak (respect for the views of the child), yaitu pandangan dan pendapat anak, terutama jika menyangkut hal-hal yang memengaruhi perkembangan dan kehidupannya, perlu diperhatikan dalam setiap pengambilan keputusan, dalam pemenuhan hak dan perlindungan anak.1

Partisipasi dan Keberdayaan
Khusus untuk organisasi/lembaga yang bekerja dengan anak atau melibatkan anak dalam program/proyek atau kegiatan, harus menghindarkan anak sebagai objek, apalagi eksploitasi anak. Orang dewasa harus memerhatikan prinsip penghargaan terhadap pandangan anak (respect for the views of the child) yang diatur di dalam pasal 12, 13, 14, dan 15 KHA.

Pelaksana proyek/kegiatan harus memastikan bahwa partisipasi dan keikutsertaan anak adalah sukarela, anak memahami proyek/kegiatan, mendapatkan persetujuan  (informed consent) dari orang tua/wali atau orang yang bertanggung jawab terhadapnya, penggunaan metode yang berpusat pada anak, keamanan anak harus terjamin, anak harus terlindungi dari bahaya fisik dan psikis, meminta ijin kepada anak jika menggunakan foto/video untuk berbagai kebutuhan dan kepentingan proyek/kegiatan, proyek dan orang-orang tidak menyimpan berbagai dokumen atau foto/video yang melanggar etika atau merendahkan martabat anak (lihat: teks di dalam kotak).

Proyek/kegiatan harus meningkatkan partisipasi dan keberdayaan anak. Partisipasi anak adalah keterlibatan anak secara sukarela, anak memahami proyek/kegiatan, dan penggunaan metode yang berpusat pada anak, sehingga anak dapat berpartisipasi secara aktif dan kritis. Partisipasi mensyaratkan kesetaraan dan mengurangi dominasi orang dewasa. Anak-anak harus diberi kekuasan (keberdayaan) yang memungkinkan anak menjadi partisipan, bukan obyek atau eksploitasi.
 

Submission Agreement

Terimakasih atas  ketertarikan Anda untuk mengirimkan artikel ke BaKTINews. Dengan menyetujui pernyataan ini, Anda memberikan izin kepada BaKTINews untuk mengedit dan mempublikasikan artikel Anda di situs web dan situs afiliasinya, dan dalam bentuk publikasi lainnya.
Redaksi BaKTINews tidak memberikan imbalan kepada penulis untuk setiap artikel yang dimuat.  Redaksi akan mempromosikan artikel Anda melalui situs kami dan saluran media sosial kami.
Dengan mengirimkan artikel Anda ke BaKTINews dan menandatangani kesepakatan ini, Anda menegaskan bahwa artikel Anda adalah asli hasil karya Anda, bahwa Anda memiliki hak cipta atas artikel ini, bahwa tidak ada orang lain yang memiliki hak untuk ini, dan bahwa konten Artikel Anda tidak mencemarkan nama baik atau melanggar hak, hak cipta, merek dagang, privasi, atau reputasi pihak ketiga mana pun.

Anda menegaskan bahwa Anda setidaknya berusia 18 tahun dan kemampuan untuk masuk ke dalam kesepakatan ini, atau bahwa Anda adalah orang tua atau wali sah dari anak di bawah umur yang menyerahkan artikel.
 
Satu file saja.
batasnya 24 MB.
Jenis yang diizinkan: txt, rtf, pdf, doc, docx, odt, ppt, pptx, odp, xls, xlsx, ods.