“Sebuah kebijakan yang strategis, implementatif dan tepat sasaran dibutuhkan untuk mencapai target yang diberikan Presiden Joko Widodo, yaitu menurunkan angka perkawinan dari 11,21% menjadi 8,74% di tahun 2024. Presiden telah memberikan mandat pencegahan perkawinan anak pada Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak,” Kata Menteri PPN/Kepala BAPPENAS Suharso Monoarfa pada Acara Peluncuran Strategi Nasional Pencegahan Pernikahan Anak (Stranas PPA)
Pandemi, Penutupan Sekolah, dan Perkawinan Anak
Sudah hampir dua tahun Pandemi COVID-19 yang melanda Indonesia sejak 2020 telah serta merta mengubah pola hidup masyarakat. Untuk memperlambat penularan virus, pemerintah telah mengeluarkan berbagai kebijakan yang berdampak pada penurunan aktivitas masyarakat. Kondisi tersebut tidak hanya memengaruhi orang dewasa, tapi juga anak-anak, terutama karena penutupan sekolah yang merupakan aktivitas utama mereka. Pandemi COVID-19 telah memaksa perubahan sistem pembelajaran menjadi pembelajaran jarak jauh (PJJ) dengan kurikulum darurat yang ternyata masih sulit dilaksanakan secara optimal. Sekolah, anak didik, dan juga keluarga tidak siap untuk beradaptasi dengan perubahan drastis dan membentuk kebiasaan-kebiasaan baru.
Pembelajaran dari rumah menimbulkan beberapa dampak langsung yaitu penggunaan teknologi tanpa batas, mulai dari teknologi untuk pembelajaran ataupun kegiatan lain yang menjadikan anak harus dapat memilah informasi yang diterima, kejenuhan pada pembelajaran dari rumah menuntut kreativitas guru, orang tua dan anak sehingga kualitas pembelajaran tidak menjadi berkurang, hal ini terjadi karena selama ini sekolah diposisikan sebagai sentral pelaksana tugas-tugas pendidikan.
Masyarakat menganggap bahwa dengan mengirimkan anak ke sekolah maka semua tanggung jawab pembentukan karakter dan perubahan perilaku dibebankan kepada sekolah sebagai pelaksana layanan pendidikan. Akibatnya, saat sekolah ditutup banyak orang tua yang kelabakan untuk mengelola pembelajaran anak di rumah. Keluarga yang selama ini minim peran dalam melakukan proses belajar mengajar menjadi bingung, stres, bahkan kesal, dan menuduh sekolah melepaskan tanggung jawab.
Untuk mengetahui keluhan masyarakat, KPAI melakukan survei yang menunjukkan bahwa dalam proses PJJ masih minim interaksi antara guru dan murid sehingga murid banyak tidak mengerti. Hal ini akhirnya menyebabkan beban kepada orang tua untuk menjelaskan kepada anak. Tidak sedikit yang berujung melampiaskan kekesalan pada anak. Kondisi ini jelas membuat rumah menjadi lingkungan yang tidak nyaman bagi anak. Sekolah merupakan jaringan pengaman bagi banyak orang, terutama anak perempuan (BBC. co.uk, 8 September 2020).
Dampak lainnya adalah meningkatnya Angka Pernikahan Anak, untuk menghitung data peningkatan angka pernikahan anak maka penanganan pernikahan usia anak perlu perhatian lebih dari pemerintah. Undang-undang perkawinan menyatakan minimal usia menikah bagi wanita 16 tahun dan bagi laki-laki 19 tahun sedangkan undang-undang perlindungan anak menyatakan 18 tahun masih tergolong usia anak. Belum siapnya organ reproduksi pada usia anak berdampak pada Berat Badan Lahir Rendah (BBLR) bahkan kematian saat melahirkan. Pemerintah perlu mengatasi masalah pernikahan usia anak yang masih tinggi. Penting untuk mengetahui peran dari stakeholders dalam mengatasi masalah pernikahan usia anak.
Stakeholders yang terlibat dalam Pendataan Percepatan Program Pencegahan Pernikahan Anak adalah:
Kementerian BKKBN dari pusat hingga daerah melalui Dinas Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana, Dinas Pemberdayaan Perempuan, memprogramkan penanganan pernikahan usia anak dan mengkoordinasikannya dengan instansi terkait. Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak memprioritaskan penanganan dalam bentuk Perda.
KPPPA melalui Program Perlindungan Anak, memiliki pendekatan Pencegahan perkawinan anak adalah satu-satunya program percepatan yang tidak bisa ditunda lagi. Menilik data perkawinan anak dari Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) 2018 BPS tercatat angka perkawinan anak di Indonesia terbilang cukup tinggi yaitu mencapai 1,2 juta kejadian. Dari jumlah tersebut proporsi perempuan umur 20-24 tahun yang berstatus kawin sebelum umur 18 tahun adalah 11,21% dari total jumlah anak, artinya sekitar 1 dari 9 perempuan usia 20-24 tahun menikah saat usia anak. Jumlah ini berbanding kontras dengan laki-laki dimana 1 dari 100 laki-laki berumur 20 – 24 tahun menikah saat usia anak, pendataan yang terintegrasi juga diinisiasi oleh Kementerian PPN/Bappenas dan Badan Pusat Statistik (BPS) yang telah mengumpulkan, mengolah dan menerbitkan data perkawinan anak di Indonesia di tingkat nasional dan provinsi. Data-data ini sangat bermanfaat sebagai masukan dalam penyusunan kebijakan, program dan kegiatan pembangunan. BPS diharapkan juga dapat menghasilkan data di tingkat kabupaten/kota agar dapat menjadi bahan masukan terkait upaya-upaya intervensi pelayanan yang dilakukan di tingkat kabupaten/kota.
Kementerian Kesehatan hingga Dinas Kesehatan, Dinas Kesehatan menggencarkan sosialisasi kesehatan reproduksi, “Praktik perkawinan anak merupakan pelanggaran atas hak-hak anak yang berdampak buruk terhadap tumbuh kembang dan kehidupannya di masa yang akan datang sehingga dengan demikian, perkawinan anak juga merupakan pelanggaran HAM karena hak anak adalah bagian dari HAM. Diakui salah satu tantangan terbesar adalah karena perkawinan anak sangat lekat dengan aspek tradisi, budaya dan masalah ekonomi.
Kemendikbud Ristek hingga Dinas Pendidikan selain memiliki data siswa melalui Dapodik persatuan Pendidikan by name by address juga harus memiliki data sensitive berkenaan Anak Putus Sekolah (ATS) akibat terjadinya Pernikahan Anak, Dinas Pendidikan menginstruksikan penanaman anti pernikahan usia anak kepada sekolah. Perkawinan anak berdampak masif di antaranya meningkatnya resiko putus sekolah, pendapatan rendah, kesehatan fisik akibat anak perempuan belum siap hamil dan melahirkan dan ketidaksiapan mental membangun rumah tangga yang memicu kekerasan, pola asuh tidak benar hingga perceraian. Itu sebabnya perkawinan anak merupakan pelanggaran hak asasi manusia. Kantor Kecamatan memiliki peran yang menjadi garis depan Program Penuntasan Pernikahan Anak, kecamatan memprioritaskan penanganan masalah pernikahan usia anak saat musrenbang yang secara advokasi dapat menggerakkan communities leader untuk mengawal program tersebut dengan rencana penganggaran yang representatif dan terintegrasi pada masing-masing OPD.
Sedangkan stakeholders lainnya adalah Kemendagri hingga Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil, termasuk BAPPENAS melakukan peluncuran Dokumen Strategi Nasional Pencegahan Perkawinan Anak (Stranas PPA) menyatakan bahwa isu perkawinan anak adalah isu mendesak yang harus segera diselesaikan.
Kementerian agama hingga Kanwil. Kementerian Agama, untuk menjalankan program langsung kepada masyarakat, dari mempersiapkan proses calon pengantin (Catin) hingga bimbingan perkawinan (Bimwin)
Pengadilan Agama memberikan dispensasi kawin dan masyarakat agar berupaya menyadarkan sekitarnya untuk tidak menikah atau menikahkan di usia anak.
NGO Anak dan Masyarakat memiliki peran yang berdampingan sama-sama mensosialisasikan pencegahan pernikahan anak.
Dengan diterbitkannya dokumen Stranas PPA diharapkan semua pemangku kepentingan di berbagai sektor dapat meningkatkan komitmen masing-masing dalam mendukung upaya pencegahan perkawinan anak. Kemen PPPA juga telah melakukan re-launching Gerakan Bersama Pencegahan Perkawinan Anak dengan merangkul semua pihak utamanya pimpinan daerah yang masuk dalam 20 provinsi dengan angka perkawinan anak di atas angka nasional.
Peraturan Pemerintah tentang Pelaksanaan Undang-Undang Perkawinan menyusul ditetapkannya Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yaitu usia minimum perkawinan menjadi 19 tahun, baik bagi laki-laki maupun perempuan serta menanggapi Peraturan Mahkamah Agung Nomor 5 Tahun 2019 tentang Pedoman Mengadili Permohonan Dispensasi Kawin.
Strategi yang paling penting untuk dilakukan adalah mengubah pandangan masyarakat mengenai perkawinan anak dan dengan sinergi dan kerja bersama dengan berbagai pihak, praktik-praktik perkawinan anak dapat kita percepat penghapusannya secara lebih terstruktur, holistik, dan integratif.
Penulis adalah Staf Direktorat Agama, Pendidikan, dan Kebudayaan, Bappenas
Dapat dihubungi melalui email ayu.eka@support.bappenas.go.id