• 1
    1

 

Konvensi ILO No. 138 (1973) dan No. 182 (1999) menetapkan standar hukum internasional untuk usia minimum pekerja dan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk bagi anak. Di sektor tembakau, ECLT (Eliminating Child Labour in Tobacco growing) Foundation didirikan untuk memulai program- program penghapusan pekerja anak di perkebunan tembakau. Perusahaan-perusahaan tembakau multinasional juga menerapkan program Sustainable Tobacco Production/STP (produksi tembakau berkelanjutan) yang, antara lain, menerapkan panduan untuk memastikan bahwa perkebunan tembakau bebas dari pekerja anak. Indonesia telah menetapkan peraturan nasional dan sebuah program untuk menghapuskan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk bagi anak yang diharapkan tercapai pada 2022 melalui peningkatan kapasitas dan pengawasan yang lebih ketat di tempat- tempat kerja. Namun, tidak banyak informasi yang diketahui mengenai situasi anak di komunitas- komunitas petani tembakau. Hal ini menyulitkan upaya untuk menciptakan program intervensi yang tepat sasaran.
 
Dalam upaya untuk memahami situasi pekerja anak di perkebunan tembakau, akar penyebab adanya pekerja anak di perkebunan tembakau, dan kemungkinan solusi untuk mengatasi masalah ini, ECLT Foundation meminta The SMERU Research Institute untuk melakukan studi diagnostik mengenai pekerja anak di wilayah perdesaan dengan penekanan pada perkebunan tembakau rakyat. Studi ini menggunakan dua definisi pekerja anak, yaitu definisi dari ILO dan definisi dari Undang-Undang (UU) No. 13/2003 tentang Ketenagakerjaan. Studi ini menggunakan pendekatan kuantitatif dan kualitatif. Pendekatan kuantitatif dilakukan melalui metode survei, sementara pengumpulan data kualitatif dilakukan dengan wawancara mendalam, diskusi kelompok terfokus (FGD), diskusi kelompok, dan foto bercerita. Studi ini dilakukan di lima desa di Lombok Timur (Provinsi Nusa Tenggara Barat/NTB) dan lima desa di Jember (Provinsi Jawa Timur). Daerah-daerah ini dipilih karena termasuk penghasil utama tembakau di Indonesia. Pemilihan kabupaten dan desa sampel dilakukan secara sengaja (purposive) berdasarkan konsultasi dengan pemangku kepentingan. Dalam penelitian ini dilakukan wawancara dengan 100 rumah tangga yang dipilih secara acak dari masing-masing desa. Tahap penjajakan dilakukan pada Agustus 2016, survei pada Oktober 2016, dan penelitian lapangan pada sekitar Desember 2016 hingga Januari 2017.

Akar Penyebab Munculnya Pekerja Anak di Perkebunan Tembakau
Faktor-faktor yang berkontribusi pada munculnya fenomena pekerja anak di lokasi studi, khususnya di perkebunan tembakau, dapat dibedakan ke dalam tiga kategori:

  1. Lingkungan yang mendukung yang memengaruhi faktor pendorong dan penarik;
  2. Faktor pendorong yang terjadi di dalam rumah tangga dan individu anak serta mendorong anak untuk melakukan aktivitas ekonomi dan menjadi pekerja anak; dan
  3. Faktor penarik yang merupakan faktor yang menarik anak-anak untuk terlibat dalam kegiatan ekonomi dan secara fundamental mencerminkan kondisi pasar tenaga kerja.

Ada dua faktor saling terkait yang mendasari tingginya prevalensi pekerja anak. Pertama adalah bahwa dalam norma dan kebiasaan lokal, anak yang bekerja dianggap baik. Pelibatan anak dalam usaha perkebunan tembakau telah terintegrasi dalam praktik lokal mengenai pengasuhan anak, dan umumnya merupakan norma lokal yang diterima bahwa begitu seorang individu dianggap dewasa, ia diharapkan bisa mempunyai penghasilan sendiri. Faktor kedua adalah kerangka hukum yang ada saat ini terkait pekerja anak yang belum memberikan definisi jelas mengenai kerja ringan dan kerja berbahaya yang sesuai untuk aktivitas-aktivitas kerja pertanian, khususnya pada perkebunan tembakau yang memiliki faktor bahaya spesifik.

Faktor pendorong meliputi (i) kurangnya pemahaman dan kesadaran seputar isu pekerja anak, (ii) kurangnya fasilitas alternatif untuk aktivitas anak, dan (iii) motif ekonomi yang mencakup kemiskinan rumah tangga dan kepentingan ekonomi anak. Di sisi lain, faktor penarik meliputi (i) kelebihan permintaan akan tenaga kerja di desa, terutama selama musim panen tembakau; (ii) kurangnya teknologi dan inovasi yang dapat mengurangi dan menggantikan kerja-kerja yang padat tenaga kerja, khususnya yang sebagian besar dilakukan oleh pekerja anak; dan (iii) motif ekonomi usaha, terutama kebutuhan untuk mempertahankan harga jual dengan cara menyegerakan pengolahan daun tembakau.

Sumber Daya dan Kemungkinan Solusi
Rangkaian wawancara dan diskusi sepanjang studi ini telah mengidentifikasi sumber daya yang ada dan dapat digunakan untuk mengembangkan dan melaksanakan upaya yang lebih berkelanjutan untuk menghapuskan pekerja anak di wilayah pertanian perdesaan, khususnya di perkebunan tembakau. Pada tingkat komunitas dan desa, ada sumber daya yang dapat dimanfaatkan untuk mendukung penghapusan pekerja anak. Sumber daya ini meliputi:

  1. Forum-forum komunitas yang dapat digunakan untuk memfasilitasi kegiatan peningkatan kesadaran;
  2. Fasilitas publik untuk anak yang dapat ditingkatkan guna menyediakan aktivitas-aktivitas alternatif bagi anak;
  3. Peraturan di tingkat desa yang dapat memperkuat penegakan hukum serta membantu menghubungkan peraturan formal dan norma lokal; dan
  4. Dana Desa yang dapat dimanfaatkan untuk menyediakan dukungan keuangan bagi berbagai kegiatan kemasyarakatan terkait penghapusan pekerja anak.

Program penghapusan pekerja anak (seperti pemantauan dan pengawasan rutin terhadap pekerja anak, partisipasi dalam Program PPA-PKH, dan kerja awal untuk mengembangkan kabupaten/kota ramah anak) yang telah dimiliki pemerintah kabupaten/kota di Lombok Timur dan Jember dapat dikembangkan lebih jauh guna mendukung penghapusan pekerja anak. Peraturan yang ada mengenai pertanian tembakau dan komisi urusan tembakau juga dapat digunakan untuk

mendukung kegiatan peningkatan kesadaran dan memperkuat kerangka pengaturan mengenai pelarangan pekerja anak dalam usaha perkebunan tembakau. Selain itu, pemerintah kabupaten/kota di Lombok Timur dan Jember juga menerima Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBH CHT) yang juga dapat digunakan untuk mendukung berbagai inisiatif mengenai penghapusan pekerja anak dalam usaha perkebunan tembakau.

Rangkaian kerangka hukum dan peraturan yang telah ditetapkan oleh Pemerintah Pusat dapat disempurnakan untuk mengatur pelarangan pekerja anak secara lebih baik, khususnya dalam usaha perkebunan tembakau. Peta jalan untuk penghapusan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk bagi anak–yang menargetkan untuk mencapai Indonesia yang bebas dari pekerja anak pada 2022–juga dapat lebih dilengkapi agar bisa mengatasi permasalahan pekerja anak dalam usaha perkebunan tembakau secara lebih efektif. Selain itu, berbagai inisiatif yang didukung oleh perusahaan tembakau dan organisasi nonpemerintah (ornop) dapat ditingkatkan hingga mencakup wilayah yang lebih luas dan lebih banyak anak.

Rekomendasi
Mengingat kompleksitas faktor-faktor yang ada di balik tingginya prevalensi pekerja anak di perkebunan tembakau, kami merekomendasikan (i) perbaikan kebijakan nasional, dan (ii) program percontohan yang dapat diprakarsai di Lombok Timur dan Jember.

Dalam memperbaiki kebijakan nasional, hal yang pertama dan paling penting adalah perlunya pemerintah mencurahkan lebih banyak sumber daya untuk memperkuat faktor pendukung. Hal ini bisa dicapai dengan membuat pedoman operasional untuk pelarangan pekerja anak dalam usaha perkebunan tembakau dengan cara merevisi Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No. 235 (2003). Bersamaan dengan itu, Peta Jalan Menuju Indonesia Bebas Pekerja Anak Tahun 2022 hendaknya dilengkapi dengan strategi spesifik sektor yang berfokus pada berbagai sektor pertanian di mana prevalensi pekerja anak tinggi, termasuk di sektor perkebunan tembakau. Strategi tersebut hendaknya juga menetapkan langkah-langkah konkret, termasuk peran dan tanggung jawab masing-masing lembaga, dan kerangka waktu untuk aksi. Selain itu, larangan mempekerjakan pekerja anak dalam usaha perkebunan tembakau hendaknya juga disertakan dalam peraturan tentang tembakau, baik pada tingkat nasional maupun regional (provinsi dan kabupaten/kota). Tambahan lagi, penguatan peraturan-peraturan yang ada hendaknya disertai dengan penegakan hukum yang lebih kuat dan juga advokasi yang lebih intensif untuk memengaruhi norma-norma informal, yaitu kebiasaan dan norma lokal di dalam masyarakat.

Guna memaksimalkan upaya nasional untuk menghapuskan pekerja anak, intervensi hendaknya juga diarahkan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat tentang berbagai tipe pekerjaan berbahaya, konsekuensi dari pekerjaan berbahaya tersebut, dan adanya peraturan yang melarang pekerja anak dalam usaha perkebunan tembakau. Program-program perlindungan sosial yang ada hendaknya juga disempurnakan atau diubah untuk mengatasi isu pekerja anak secara lebih baik. Selain itu, program kabupaten/kota ramah anak hendaknya juga menyertakan langkah-langkah untuk menangani pekerja anak sesuai permasalahan lokal dan mencurahkan segala sumber daya pendanaan yang mungkin, termasuk DBH CHT, Dana Desa, dan dukungan dari komunitas bisnis. Terakhir, dalam mengatasi faktor-faktor penarik yang digerakkan oleh kekurangan tenaga kerja, hendaknya ada upaya lebih intensif untuk mengembangkan inovasi dan teknologi baru dalam penanganan dan pengolahan tembakau agar bisa menggantikan pekerja anak dan pekerja dewasa, terutama pada tahap-tahap berbahaya dalam proses produksi tembakau.


Untuk program percontohan di Lombok Timur, langkah-langkah dapat mencakup:

  • Menetapkan peraturan-peraturan formal dan informal di tingkat desa (misalnya, awig-awig) guna menyediakan kerangka hukum bagi tindakan yang diambil untuk menangani isu pekerja anak di desa bersangkutan.
  • Pelatihan untuk tenaga kesehatan mengenai potensi risiko dan potensi bahaya, serta risiko kesehatan dan keselamatan, jika bekerja dalam usaha perkebunan tembakau.
  • Mengintensifkan sosialisasi dan advokasi tentang pelarangan pekerja anak dengan melibatkan ornop setempat dan memanfaatkan guru sekolah serta lembaga pendidikan nonformal (pengajian).
  • Melanjutkan sosialisasi oleh perusahaan tembakau tentang pelarangan pekerja anak bagi petani yang dikontrak perusahaan, sebagaimana telah dimandatkan kepada mereka.
  • Membentuk komite pemantauan berbasis komunitas yang dipimpin oleh kader desa, guru sekolah, dan tenaga kesehatan yang ditunjuk untuk memantau keterlibatan anak dalam usaha perkebunan tembakau, terutama dalam aktivitas-aktivitas yang telah disepakati sebagai kerja berbahaya.
  • Mengatasi kurangnya wahana bagi anak-anak yang menyebabkan mereka tergiring untuk memilih bekerja di perkebunan tembakau–akan perlu kiranya membangun perpustakaan umum dan fasilitas olahraga guna menyediakan wahana yang produktif, tetapi aman, bagi anak-anak untuk mengisi waktu luangnya.
  • Membangun kemitraan antara Dinas Perkebunan dan sekolah pertanian setempat guna mengembangkan teknologi yang dapat mengurangi kebutuhan untuk melibatkan anak dalam kegiatan usaha tembakau, terutama dalam aktivitas-aktivitas yang berbahaya.
  • Memprakarsai program berbasis insentif untuk mengatasi motif ekonomi pekerja anak di perkebunan tembakau.

Untuk program percontohan di Jember, langkah-langkah dapat mencakup

  • Merumuskan peraturan di tingkat desa yang memuat semua penjelasan tentang hak-hak anak, pelarangan pekerja anak, pelarangan perkawinan pada usia anak, dan peraturan- peraturan lain yang dianggap penting bagi kebutuhan anak. Pelarangan pekerja anak dalam usaha perkebunan tembakau hendaknya menyebutkan secara eksplisit tahap-tahap pekerjaan berbahaya guna mencegah terjadinya kebingungan di antara warga desa. Selain itu, peraturan tersebut hendaknya juga menyertakan keharusan menggunakan APD, baik bagi orang dewasa maupun anak-anak yang terlibat dalam kerja-kerja di perkebunan tembakau.
  • Merumuskan peraturan di tingkat desa yang mengatur persyaratan bagi petani dan perusahaan tembakau untuk membangun gudang tembakau di luar wilayah permukiman guna mencegah anak terlibat dalam kegiatan pascapanen tembakau. Jika tidak mampu memenuhi hal ini, petani dan perusahaan tembakau hendaknya menyediakan tempat penitipan anak ataupun tempat bermain anak yang terletak di dekat gudang tembakau untuk mencegah anak membantu ibu mereka mengikat daun-daun tembakau dan memungkinkan anak bermain di lingkungan yang lebih aman.
  • Memastikan bahwa perusahaan-perusahaan tembakau mengikuti salah satu praktik terbaik yang diintroduksi oleh beberapa perusahaan tembakau yang menerapkan STP Guidance (pedoman produksi tembakau berkelanjutan), yakni melakukan survei register petani.
  • Membangun kemitraan dengan ornop setempat yang akan melakukan penilaian untuk memilih lokasi desa untuk percontohan. Hal ini hendaknya sudah dilakukan sebelum pelaksanaan program percontohan di Jember. Pemilihan desa percontohan mempertimbangkan kriteria-kriteria seperti pemahaman perangkat desa mengenai isu pekerja anak, keberadaan program seperti Rumah Pintar atau ASP di sekolah-sekolah yang berlokasi di desa bersangkutan, dan ketersediaan sumber daya.
  • Mengundang perusahaan tembakau untuk berbagi pengalaman mereka dalam melaksanakan ASP atau Rumah Pintar agar bisa mereplikasi keberhasilan program-program tersebut. Untuk mendukung aktivitas-aktivitas pada ASP dan Rumah Pintar, sumber daya yang tersedia hendaknya dimobilisasi secara efektif.
  • Mendirikan Rumah Pintar di dusun-dusun juga bisa menjadi pilihan. Rumah Pintar dapat dibangun di berbagai tempat pada tingkat komunitas, yakni di tempat-tempat yang bisa dengan mudah diakses anak, misalnya taman pendidikan Alquran (TPA) di karang taruna atau pusat kegiatan komunitas.
  • Mengatasi rendahnya pemahaman dan kesadaran tentang pekerja anak di kalangan anak dan orang tua dengan melakukan pemetaan tokoh-tokoh berpengaruh di desa yang memiliki kapasitas untuk berpartisipasi dalam program sosialisasi hak-hak anak bagi warga masyarakat. Inisiatif ini hendaknya juga melibatkan lembaga pendidikan formal dan nonformal, PKK, majelis taklim, karang taruna, petani dan buruh tani, dan–yang paling penting–tenaga kesehatan serta pemuka desa.
  • Mendorong perusahaan tembakau untuk mengembangkan teknologi baru serta inovasi dalam penanganan dan pengolahan tembakau.

Artikel ini bersumber dari Draf Laporan Penelitian SMERU berjudul Studi Diagnostik Pekerja Anak di Wilayah Perdesaan (dengan Penekanan Khusus pada Perkebunan Tembakau Rakyat)

Dengan tautan: https://smeru.or.id/id/publication-id/studi-diagnostik-pekerja-anak-di-wilayah-perdesaan-dengan-penekanan-khusus-pada 

Submission Agreement

Terimakasih atas  ketertarikan Anda untuk mengirimkan artikel ke BaKTINews. Dengan menyetujui pernyataan ini, Anda memberikan izin kepada BaKTINews untuk mengedit dan mempublikasikan artikel Anda di situs web dan situs afiliasinya, dan dalam bentuk publikasi lainnya.
Redaksi BaKTINews tidak memberikan imbalan kepada penulis untuk setiap artikel yang dimuat.  Redaksi akan mempromosikan artikel Anda melalui situs kami dan saluran media sosial kami.
Dengan mengirimkan artikel Anda ke BaKTINews dan menandatangani kesepakatan ini, Anda menegaskan bahwa artikel Anda adalah asli hasil karya Anda, bahwa Anda memiliki hak cipta atas artikel ini, bahwa tidak ada orang lain yang memiliki hak untuk ini, dan bahwa konten Artikel Anda tidak mencemarkan nama baik atau melanggar hak, hak cipta, merek dagang, privasi, atau reputasi pihak ketiga mana pun.

Anda menegaskan bahwa Anda setidaknya berusia 18 tahun dan kemampuan untuk masuk ke dalam kesepakatan ini, atau bahwa Anda adalah orang tua atau wali sah dari anak di bawah umur yang menyerahkan artikel.
 
Satu file saja.
batasnya 24 MB.
Jenis yang diizinkan: txt, rtf, pdf, doc, docx, odt, ppt, pptx, odp, xls, xlsx, ods.