Menurut ILO, di seluruh dunia terdapat setidaknya 168 juta anak yang menjadi pekerja anak, dan 85 juta di antaranya melakukan pekerjaan berbahaya. Menjadi pekerja anak akan memengaruhi kesehatan fisiologis dan psikologis anak tersebut, baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Jumlah pekerja anak paling banyak terdapat di sektor pertanian; 98 juta anak bekerja dalam sektor ini (atau 59% dari jumlah pekerja anak di seluruh dunia).
Pekerja anak merupakan isu yang kompleks dan dipengaruhi banyak faktor, termasuk kemiskinan. Di Indonesia, 4 juta anak yang berusia 5–17 tahun teridentifikasi sebagai pekerja anak, dan 58% pekerja anak yang berusia 7–14 tahun bekerja di sektor pertanian. Pekerja anak di perkebunan tembakau menjadi perhatian khusus karena anak-anak ini terpapar bahaya biologis seperti pestisida dan nikotin yang ada pada daun tembakau.
Konvensi ILO No. 138 (1973) dan No. 182 (1999) menetapkan standar hukum internasional untuk usia minimum pekerja dan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk bagi anak. Di sektor tembakau, ECLT (Eliminating Child Labour in Tobacco growing) Foundation didirikan untuk memulai program- program penghapusan pekerja anak di perkebunan tembakau. Perusahaan-perusahaan tembakau multinasional juga menerapkan program Sustainable Tobacco Production/STP (produksi tembakau berkelanjutan) yang antara lain, menerapkan panduan untuk memastikan bahwa perkebunan tembakau bebas dari pekerja anak. Indonesia telah menetapkan peraturan nasional dan sebuah program untuk menghapuskan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk bagi anak yang diharapkan tercapai pada 2022 melalui peningkatan kapasitas dan pengawasan yang lebih ketat di tempat- tempat kerja. Namun, tidak banyak informasi yang diketahui mengenai situasi anak di komunitas-komunitas petani tembakau. Hal ini menyulitkan upaya untuk menciptakan program intervensi yang tepat sasaran.
Dalam upaya untuk memahami situasi pekerja anak di perkebunan tembakau, akar penyebab adanya pekerja anak di perkebunan tembakau, dan kemungkinan solusi untuk mengatasi masalah ini, ECLT Foundation meminta The SMERU Research Institute untuk melakukan studi diagnostik mengenai pekerja anak di wilayah perdesaan dengan penekanan pada perkebunan tembakau rakyat. Studi ini menggunakan dua definisi pekerja anak, yaitu definisi dari ILO dan definisi dari Undang-Undang (UU) No. 13/2003 tentang Ketenagakerjaan.
Studi ini menggunakan pendekatan kuantitatif dan kualitatif. Pendekatan kuantitatif dilakukan melalui metode survei, sementara pengumpulan data kualitatif dilakukan dengan wawancara mendalam, diskusi kelompok terfokus (FGD), diskusi kelompok, dan foto bercerita. Studi ini dilakukan di lima desa di Lombok Timur (Provinsi Nusa Tenggara Barat/NTB) dan lima desa di Jember (Provinsi Jawa Timur). Daerah-daerah ini dipilih karena termasuk penghasil utama tembakau di Indonesia. Pemilihan kabupaten dan desa sampel dilakukan secara sengaja (purposive) berdasarkan konsultasi dengan pemangku kepentingan. Dalam penelitian ini dilakukan wawancara dengan 100 rumah tangga yang dipilih secara acak dari masing-masing desa. Tahap penjajakan dilakukan pada Agustus 2016, survei pada Oktober 2016, dan penelitian lapangan pada sekitar Desember 2016 hingga Januari 2017.
Temuan Utama Pekerja Anak pada Umumnya
Orang tua dan masyarakat pada umumnya tidak mengetahui perbedaan antara anak yang bekerja dan pekerja anak. Rendahnya pengetahuan dan kesadaran masyarakat tentang konsep pekerja anak tecermin pada tingginya prevalensi pekerja anak di kedua kabupaten, yaitu 14,31% di Jember dan 28,33% di Lombok Timur (dihitung berdasarkan definisi ILO).
Isu pekerja anak makin memprihatinkan dengan adanya fakta mengenai kurangnya pemahaman masyarakat tentang berbagai kondisi kerja yang berbahaya bagi anak. Dalam studi ini, mayoritas anak yang bekerja diklasifikasikan sebagai pekerja anak, terutama karena sifat pekerjaannya. Di Lombok Timur, dari 187 pekerja anak, ada 167 anak (atau 25,3% dari seluruh populasi anak di desa- desa studi) yang terpapar pekerjaan berbahaya. Sementara itu, di Jember, 80 dari 95 pekerja anak (atau 12,05% dari seluruh populasi anak di desa-desa studi) terpapar pekerjaan berbahaya.
Prevalensi pekerja anak tertinggi didapati pada kelompok umur 15–17 tahun (berdasarkan definisi ILO), dengan angka 49,46% di Lombok Timur dan 25,64% di Jember; dan pada kelompok umur 16–17 tahun (berdasarkan definisi UU Ketenagakerjaan), dengan angka 55% di Lombok Timur dan 25% di Jember. Temuan ini sesuai dengan studi kualitatif yang menemukan tingginya kecenderungan migrasi orang dewasa dari desa-desa studi. Kecenderungan ini kemudian mendorong peningkatan permintaan akan tenaga kerja anak. Anak pada kelompok-kelompok umur tersebut sering kali tidak lagi dianggap anak-anak oleh masyarakat dan diberi tugas berat seperti mengangkut tumpukan daun tembakau dari sawah ke tempat pengeringan.
Mayoritas pekerja anak bekerja di sektor pertanian, dengan angka 66,32% di Jember dan 85,03% di Lombok Timur. Sementara itu, pekerja anak lainnya tersebar di sektor-sektor nonpertanian (perdagangan, konstruksi, jasa, dan lain-lain), yaitu 33,68% di Jember dan 14,97% di Lombok Timur. Karena tembakau merupakan tanaman sumber penghasilan utama di desa-desa studi, maka prevalensi tertinggi pekerja anak di sektor pertanian adalah di perkebunan tembakau.
Pekerja Anak di Perkebunan Tembakau
Mayoritas pekerja anak berasal dari rumah tangga buruh tani, dengan angka 43,14% di Jember dan 41,3% di Lombok Timur. Namun, di antara rumah tangga petani tembakau, status petani sebagai petani kontrak atau non kontrak dan apakah petani tersebut memiliki atau menyewa lahan ternyata tidak mengurangi peluang seorang anak untuk menjadi pekerja anak. Di antara populasi rumah tangga pemilik lahan tembakau, hanya sebagian kecil yang merupakan petani kontrak, yaitu 3,3% di Lombok Timur dan 5,88% di Jember.
Beberapa variabel yang secara signifikan dan konsisten menjadi prediktor dari anak-anak yang bekerja di perkebunan tembakau adalah usia, pekerjaan kepala rumah tangga, dan proporsi pekerja anak per dusun. Anak-anak yang lebih tua lebih besar peluangnya untuk terlibat dalam pekerjaan tembakau. Selain itu, pekerjaan orang tua sebagai buruh tani meningkatkan sebesar 28% peluang anak untuk bekerja di perkebunan tembakau. Studi ini juga menemukan bahwa tingginya proporsi pekerja anak di sektor tembakau per dusun secara signifikan meningkatkan peluang anak untuk bekerja di perkebunan tembakau sebesar 33%.
Mayoritas anak di desa-desa studi terlibat dalam pekerjaan pascapanen, khususnya mengelantang atau mengikat daun tembakau (58% dari seluruh pekerja anak di sektor tembakau di Lombok Timur) dan nyujen atau memasukkan daun tembakau ke ikatan benang (47% dari seluruh pekerja anak di sektor tembakau di Jember). Sebagian kecil pekerja anak juga terlibat dalam tahap-tahap pengolahan lainnya seperti pengeringan daun tembakau.
Anak yang lebih tua dan anak laki-laki rata-rata bekerja dalam jam-jam yang lebih panjang, dibandingkan dengan anak-anak yang lebih muda dan perempuan. Pada mereka yang berusia 13– 14 tahun, rata-rata jumlah jam kerjanya adalah 3–6 jam per minggu, sementara pada mereka yang berusia 15–17 tahun, khususnya anak laki-laki, rata-rata jumlah jam kerjanya mencapai 12 jam per minggu. Ada juga anak-anak yang jam kerjanya melebihi batas yang diizinkan untuk usia mereka. Dari semua pekerja anak berusia 13–14 tahun, masing-masing 18% di Lombok Timur dan 33% di Jember bekerja selama 15 hingga 84 jam per minggu. Sementara itu, dari semua pekerja anak berusia 15–17 tahun, masing-masing 8% di Lombok Timur dan 14% di Jember bekerja lebih dari 40 jam dan bekerja hingga 84 jam per minggu.
Kontribusi upah pekerja anak terhadap pendapatan rumah tangga per kapita lebih tinggi pada anak-anak di Lombok Timur daripada anak-anak di Jember (14,2% berbanding 8,9%). Dalam menghitung angka ini, pendapatan anak-anak dibobotkan dengan menggunakan probabilitas anak- anak yang bekerja di sektor tembakau setiap bulan selama setahun terakhir. Kontribusi anak terhadap pendapatan rumah tangganya bergantung pada kondisi ekonomi keluarga. Anak-anak dari keluarga miskin menyumbangkan pendapatan mereka untuk membeli bahan kebutuhan pokok (beras, makanan, minyak goreng, dan lain-lain), barang kebutuhan sekolah, dan uang saku. Sementara itu, anak-anak yang berasal dari keluarga dengan status ekonomi lebih tinggi biasanya bekerja untuk menghemat biaya tenaga kerja (sehingga orang tua mereka tidak perlu membayar orang lain). Anak-anak juga menyampaikan bahwa mereka menggunakan penghasilan mereka untuk kebutuhan pribadi seperti membeli pulsa telepon, telepon genggam, sepeda motor bekas, dan barang-barang keperluan pribadi.
Jenis alat pelindung diri (APD) yang digunakan anak-anak cenderung sangat terbatas. Di kedua kabupaten ini, lebih dari 75% pekerja anak tidak menggunakan perlengkapan keselamatan dan tidak mendapatkan pendidikan mengenai keselamatan kerja saat bekerja di perkebunan tembakau. Dari semua anak yang menyatakan menggunakan APD, mayoritas menyebutkan menggunakan pelindung kepala (sekitar 20%, yaitu topi) dan pelindung pernapasan (sekitar 10%, yaitu masker wajah).
Pekerja anak dan orang dewasa memandang bahwa sebagian besar pekerjaan di perkebunan tembakau adalah pekerjaan ringan dan tidak berbahaya, asalkan mereka tidak mengalami dampak negatif langsung terhadap kesehatan mereka. Hal ini menunjukkan kurangnya kesadaran dan pemahaman mengenai bahaya yang mengancam pekerja anak di perkebunan tembakau. Sementara sejumlah orang dewasa, terutama pejabat desa dan petani kontrak, dapat mengidentifikasi potensi bahaya umum seperti kondisi terpapar pupuk dan pestisida serta bahaya bekerja di ketinggian, banyak orang dewasa tidak menyadari bahaya daun tembakau segar (atau sering disebut “daun tembakau basah”). Kenyataannya, pemahaman umum di masyarakat adalah bahwa bahaya daun tembakau ada di daun tembakau yang sudah dikeringkan karena baunya yang menyengat dan menyebabkan sesak napas atau gangguan pernapasan.
Banyak orang di desa-desa studi tidak mengetahui bahaya yang berasal dari daun tembakau segar karena sosialisasi mengenai green tobacco sickness (GTS) hanya diberikan terbatas kepada pelajar dari sekolah dasar tertentu melalui After School Programme/ASP (program setelah jam belajar sekolah) dan kepada petani kontrak. Oleh karena itu, anggota rumah tangga buruh tani dan petani non kontrak tidak mengetahui penyakit yang bisa diakibatkan oleh daun tembakau segar. Selain itu, petugas kesehatan di lokasi studi juga mengakui bahwa mereka belum pernah mendapat informasi terkait GTS. Perhatian mereka lebih terfokus pada bahaya pupuk dan pestisida serta risiko bahaya dari aktivitas menggantung dan menurunkan muatan tembakau dari dalam oven pengering.
Artikel ini bersumber dari Draf Laporan Penelitian SMERU berjudul
Studi Diagnostik Pekerja Anak di Wilayah Perdesaan (dengan Penekanan Khusus pada Perkebunan Tembakau Rakyat)
Dengan tautan: https://smeru.or.id/id/publication-id/studi-diagnostik-pekerja-anak-di-wilayah-perdesaan-dengan-penekanan-khusus-pada