Menarik dicatat, seorang antropolog Judith L Ecklund pernah mengatakan, “Menjadi Sasak ialah berarti menjadi Muslim”. Meskipun begitu menyederhanakan wajah keislaman etnis Sasak ialah sebagai satu model, tentu sebuah kesalahan. Pasalnya Lombok adalah potret sebuah mozaik keislaman yang mencerminkan adanya keragaman wajah Islam di Indonesia. Pulau Lombok juga menyimpan variasi model keislaman lain, yaitu model keislaman yang masih kental dengan warna ritual warisan nenek moyang.
Penganut model keislaman itu biasanya di masyarakat Sasak menyebutnya Wetu Telu. Desa Bayan di Kabupaten Lombok Utara (KLU) dikenal sebagai episentrum dari komunitas ini namun, sejatinya komunitas ini banyak tersebur di berbagai wilayah di Pulau Lombok, di mana salah satunya terdapat di Kabupaten Lombok Timur (Lotim).
Nana Mariana Melawan Stigma
Keberadaan komunitas ini di Lotim banyak ditemui di Nyelak, Desa Danger dan Otak Pancor Desa Lendang Nangka Utara di Kecamatan Masbagik. Pada umumnya komunitas Wetu Telu yang ada di Lotim cenderung tertutup dibandingkan dengan komunitas sejenis yang ada di Desa Bayan, Lombok Utara.
“Orang lain menganggap kami sesat karena perbedaan ritual dalam menjalankan ritual keagamaan serta kami yang masih memegang teguh prinsip adat dan budaya yang diwariskan oleh leluhur kami. Untuk itu, biarkan saja orang memandang kami seperti itu” ungkap Kiai Pemangku Adat Komunitas Wetu Telu yang ada di Nyelak, Desa Danger. Tertutupnya komunitas ini tidak heran apabila selama ini mereka tidak pernah dilibatkan dalam setiap proses pembangunan.
Stigma ini telah berdampak pada keinginan perempuan bernama Nana Mariana, yang ingin menjadi kader posyandu di desanya. Selama ini stigma tersebut menjadi “tembok” bagi dirinya berpartisipasi dalam pembangunan desa. Kehadiran dirinya dalam setiap kegiatan posyandu di dusunnya selama ini tidak lebih dari sekedar pelengkap dimana, dia hanya diminta mengkoordinir ibu-ibu untuk hadir dalam kegiatan posyandu, bahkan tidak jarang rumahnya dijadikan sebagai tempat pelaksanaan posyandu.
“Yang memahami kebutuhan kami pastinya dari kami sendiri, tidak mungkin orang lain memahami kebutuhan kami, terlebih stigma negatif terhadap kami selama ini” cerita Nana Mariana tentang keinginannya melawan stigma yang juga menjadi pondasi kuat bagi dirinya untuk dapat berpartisipasi dalam pembangunan desa. “Terus terang pada awalnya saya ragu ketika pertama kali membicarakan niat saya kepada suami, saya takut Pemalik (melanggar tata aturan dan nilai-nilai)”, sambungnya.
Keinginan untuk menjadi seorang kader desa pertama kali memang dia ungkapkan kepada suaminya namun, suaminya tidak secara terang-terangan mendukung keinginan Nana karena takut pemalik dan butuh persetujuan Kiai Kiai Pemangku Adat terkait dengan keinginannya tersebut.
Mengikis Stigma dengan Kearifan Lokal
Melawan stigma bukanlah hal yang mudah bagi Juminah—nama panggilan Nana Mariana, karena selain menghadapi masyarakat, Nana alias Juminah juga harus menghadapi prinsip pemalik yang dia dan komunitasnya yakini. Butuh upaya advokasi dari pihak luar untuk dapat menetralisir prinsip tersebut, terutama dalam rangka meyakini seorang kiai Wetu Telu supaya dapat memberikan “restu” bagi Nana Mariana untuk menjadi seorang kader.
Hal tersebut diutarakan oleh Nana Mariana kepada pengurus Kelompok Konstituen (KK) yang ada di Desa Danger, yang kemudian diteruskan kepada Lombok Research Center (LRC) sebagai mitra Yayasan BaKTI dalam implementasi Program INKLUSI dan Desa Danger merupakan salah satu desa dampingan dalam Program INKLUSI.
Hampir satu bulan tim LRC melakukan diskusi dengan sang Kiai yang bertujuan untuk merubah pandangannya terkait dengan keberadaan komunitas ini yang sangat penting dalam pembangunan di desa. Komunitas Wetu Telu merupakan aset berharga bagi desa, karena mereka memiliki banyak “kelebihan” yang apabila dimanfaatkan dapat memberikan dampak positif dalam upaya mempengaruhi stigma negatif yang selama ini mereka terima.
Proses meyakinkan Kiai dan komunitasnya tidaklah mudah karena ada beberapa tantangan yang tim LRC harus hadapi. Beberapa tantangan tersebut antara lain, yaitu waktu diskusi yang tidak dapat dilakukan pada waktu-waktu normal namun harus di atas jam 21.00. Hal ini juga dipengaruhi masih tertutupnya mereka terhadap pihak dari luar komunitasnya. Tantangan selanjutnya adalah tim LRC harus mengikuti pola mereka ketika berdiskusi atau bertamu yang disuguhi oleh minuman Brem.
Proses mengubah perspektif ini tidak dapat dilakukan secara langsung ke topiknya namun, lebih kepada upaya memberikan pemahaman terkait dengan keberadaan komunitas ini bagi pembangunan desa. Selama ini kurangnya informasi dan pelibatan mereka dalam proses pembangunan desa lebih karena tidak pernah bersuara memperjuangkan kepentingan mereka agar terakomodir dalam pembangunan. Terdapat sisi positifnya di mana, komunitas Wetu Telu ini sebenarnya sangat patuh pada datu , dan itu masuk dalam salah satu prinsip adat yang masih dipegang teguh oleh komunitas ini.
Hal inilah yang menjadi celah bagi tim LRC dimana, ketika pada suatu kesempatan diskusi kami menggandeng Kepala Desa Danger untuk dapat memberikan pencerahan kepada Kiai beserta komunitasnya. Mekanisme lainnya yang LRC gunakan adalah melalui mekanisme focus discussion group (FGD) yang melibatkan perwakilan dari komunitas Wetu Telu, pemerintah desa, dan stakeholder lainnya menjadi mekanisme mempengaruhi pandangan seorang kiai dalam upaya mendorong perubahan dan pemahaman dari komunitas ini. Namun karena istilah FGD tidak dikenal di lingkungan komunitas ini maka, LRC menggunakan istilah Sangkep .
Melalui beberapa strategi itu, akhirnya keinginan Nana Mariana untuk menjadi kader posyandu dapat terwujudkan seperti saat ini. Di mana salah seorang pengurus KK Desa Danger yang kebetulan juga menjadi kader aktif posyandu mengajak Juminah untuk menjadi kader aktif posyandu. Dipilihnya Nana sebagai kader posyandu karena melihat keaktifannya dalam setiap pelaksanaan posyandu di dusunnya serta hasil diskusi panjang yang dilakukan oleh KK Desa Danger bersama pemerintah Desa Danger.
Nana Mariana adalah pionir. Dia tidak hanya “melawan” komunitasnya, tetapi juga stigma dari luar komunitasnya. Sementara upaya KK Danger dan LRC Lotim “menarik” Nana untuk terlibat dalam pembangunan diharapkan merobohkan pagar yang selama ini menjadi pembatas, yang memisahkan Komunitas Wetu Telu dengan komunitas lainnya.[]