Memuliakan Kepercayaan Lokal, Meluhurkan Hutan (Bagian 2)
Penulis : Eko Rusdianto
  •  Perempuan Kajang menyunggi barang, berjalan keluar dari kawasan Kajang Luar, Bulukumba, Sulawesi Selatan, Desember 2024. Masyarakat Kajang adalah masyarakat adat yang hidup sederhana dan memegang teguh ajaran Ammatoa. Filosofi hidup mereka disebut kamase-masea, ajaran hidup sederhana dan menjaga keseimbangan ekologis. (Foto: Iqbal Lubis)
    Perempuan Kajang menyunggi barang, berjalan keluar dari kawasan Kajang Luar, Bulukumba, Sulawesi Selatan, Desember 2024. Masyarakat Kajang adalah masyarakat adat yang hidup sederhana dan memegang teguh ajaran Ammatoa. Filosofi hidup mereka disebut kamase-masea, ajaran hidup sederhana dan menjaga keseimbangan ekologis. (Foto: Iqbal Lubis)

Di Toraja, lembah-lembah yang diapit oleh tebing batu selalu menjadi area pertanian basah. Produksi padi terus digenjot karena penduduk makin bertambah. Varian padi baru yang diperkenalkan pemerintah dengan usia panen sesingkat tiga bulan menjadikan pengelolaan lahan semakin cepat. Padi-padi lokal yang usia panennya mencapai enam bulan pun akhirnya ditinggalkan. Sistem irigasi yang makin modern juga menjadikan pengetahuan lokal ikut menghilang.

“Saya ingat, dulu, sebelum masyarakat bertani, pemangku adat akan duduk bersama berdoa. Lalu mereka melakukan kegiatan To Mengkaro Kalo untuk membersihkan irigasi,” kata Marthen. Ia melanjutkan, jika hama seperti serangga dan ulat muncul, orang-orang akan mengambil beberapa tanaman dan ditancapkan di sekitar hama. Beberapa hari kemudian, hama akan hilang. “Sekarang, kalau hama muncul, tinggal membeli racun. Praktis, tapi tidak sehat.”

Padahal, kepercayaan Aluk Todolo meyakini semua yang ada di bumi diciptakan oleh Puang Matoa, sosok tunggal pencipta alam semesta. Puang Matoa, saat melakukan proses penciptaan, menjadikan tanaman dan binatang sebagai teman dari manusia. Semua unsur memiliki leluhur yang oleh orang-orang Toraja disebut sebagai nenek. Ada delapan unsur yang mula-mula diciptakan. Manusia memiliki nenek moyang bernama Datu Laukku. Besi, bernenek moyangkan Riako. Kapas, Ungku Bulaan. Padi, Pong Malameme. Angin, Pong Pirik-pirik. Hujan, Lando Lette. Kerbau, Menturino. Terakhir, ayam memiliki nenek moyang bernama Luwa Kollon. 

Setelah manusia pertama itu tercipta, selanjutnya lahirlah Bura Langi dan menikah dengan Bura Tana. Pada tahap kelahiran inilah, Puang Matoa mengirimnya ke bumi. Lalu keturunan selanjutnya adalah Tandi Lino yang membangun pertama kali rumah tongkonan di Buntu Kandora (Bukit Kandora). 

Kehidupan masa itu sudah baik. Sebab, ayam, kerbau, dan padi sudah sejak awal dibawa oleh Bura Langi. “Jadi, kebutuhan sudah terpenuhi. Hidup makmur. Ada makanan dari padi, ayam, dan kerbau, serta besi untuk peralatan,” kata Palimmi (76). Aturan awal inilah yang dikenal dengan nama Aluk Sanda Pitunna yang berisi 7.777 aturan untuk manusia. Aturan ini mencakup urusan menanam padi hingga perlakuan pada setiap yang diciptakan Puang Matoa.

Tandi Lino yang membangun rumah tongkonan dipercaya pula telah menempatkan ayam dan matahari di bagian paling tinggi di depan rumah tongkonan. Ada dua ukiran ayam di rumah tongkonan. Ayam sella menghadap barat dan ayam koro menghadap timur. Dua penempatan itu juga menjadi simbol keseimbangan antara siang dan malam. Selain itu, ayam sella diperuntukkan untuk ritual yang berhubungan dengan pemujaan langit dan ayam koro untuk kehidupan.

Ayam ini juga menjadi penanda waktu. Kokok ayam pertama dimulai antara pukul 11-12 malam, kokok kedua pada pukul 1 dini hari, ketiga pada pukul 3, dan keempat pada pukul 5 hingga pagi hari. “Jadi kalau ayam bunyi keempat kalinya dan terus menerus, itu sudah waktunya kami bangun pagi. Sudah waktunya bersiap dan bekerja,” kata Palimmi. “Sekarang sudah modern. Orang pakai jam dan itu hape ada alarm. Tapi makin banyak itu anak-anak yang tidak bisa bangun,” sambungnya sambil tersenyum.

Lauernsiun Kevin (21) yang memutuskan berpindah keyakinan dari Katolik menjadi Aluk, meski dalam KTP-nya tertulis Hindu, berujar, “Sekarang orang-orang Toraja mulai banyak lupa agama leluhurnya, akar orang Toraja.” Bagi Kevin, Aluk menjadi laku hidup yang tidak memisahkan manusia dan alam. Aluk dalam filosofinya, tak pernah memaksakan sebuah ritual. “Pada mereka yang mampu, diperuntukan ritual. Pada mereka yang tidak mampu, tidak diwajibkan,” jelasnya.

 Kevin melanjutkan, bahkan ketika orang Toraja akan dikuburkan (dalam upacara kematian Rambu Solo) dan tak memiliki harta bahkan seekor babi pun, mereka cukup membunyikan bambu yang digunakan makan babi di depan rumah. Itu telah dianggap memenuhi syarat. “Sekarang, banyak orang memaksakan upacara. Itu yang salah,” keluhnya.

 

Kajang

“Perda masyarakat adat itu untuk siapa? Apakah untuk orang Kajang atau untuk kepentingan kapital?” tanya Dr. Erni Erawati, arkeolog Universitas Hasanuddin. Erni adalah salah seorang yang menekuni Kajang sejak tahun 1990. Bagi Erni, identitas Kajang yang bersumber dari Pasang, merupakan sebuah kepercayaan yang juga disebut kepercayaan Patuntung. “Tahun 1990-an awal, orang-orang masih menyebut pemeluk Patuntung. Tapi sekarang sudah tidak lagi. Mungkin ada pengaruh dari pergolakan DI/TII masa itu, dan juga ketentuan negara yang hanya mengakui lima agama,” ujarnya.

Di Sulawesi Selatan pada tahun 1950-1965, Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) yang dipimpin Kahar Muzakkar melakukan perang gerilya. Salah satu misinya adalah mendirikan Negara Islam Indonesia. Pasukan Kahar bahkan melakukan operasi penyadaran akan kemurnian Islam. Mereka menyasar kelompok-kelompok kepercayaan lokal termasuk Cerekang dan Kajang.

Di Kajang, pemimpin masyarakat yang disebut sebagai Ammatoa bahkan ditawan, meski kemudian dilepaskan tanpa disakiti. Namun, kampung tetap diserbu dan dibakar. “Saya masih kecil waktu itu. Saya dibawa orang tua mengungsi ke kampung Kalimporo, itu berbulan-bulan,” kata seorang lelaki Kajang yang berusia 70 tahunan.

Puto Pudding berpose sebelum berjalan tanpa alas kaki memasuki kawasan Kajang Dalam, Bulukumba, Sulawesi Selatan, Desember 2024. Area Kajang telah ditetapkan sebagai salah satu destinasi wisata adat di Sulawesi Selatan. Hal ini membawa tantangan tersendiri karena Kajang berpotensi terpapar pengaruh budaya luar yang dibawa wisatawan. (Foto: Iqbal Lubis)

Masyarakat Kajang menjemur kain dan sarung hitam di dekat hutan, area yang dapat dikelola warga Kajang Luar di Bulukumba, Sulawesi Selatan, Desember 2024. Untuk memasuki kawasan Kajang Dalam diwajibkan mengenakan pakaian dan sarung berwarna hitam dan putih. (Foto: Iqbal Lubis)

Andreas Harsono, melalui tulisannya dalam Human Rights Watch, menyebutkan betapa runyamnya masalah agama yang begitu personal jika diurus oleh negara. Pada 1952, Kementerian Agama, di bawah Menteri Wahid Hasjim, menerbitkan definisi untuk membedakan antara “kepercayaan” dan “agama”. Pada 1965, Presiden Soekarno menerbitkan peraturan agama resmi yang diakui negara untuk penduduk Indonesia, yakni Islam, Protestan, Katolik, Hindu, Budha dan Konghucu. Hal ini kemudian juga berkaitan dengan Kitab Undang Undang Hukum Pidana, Pasal 156(a) yang mengatur pernyataan perasaan permusuhan, kebencian, atau penghinaan terhadap golongan beragama sebagai tindak pidana. 

Pada masa lalu, menurut Erni, Kajang bermula dari sebuah Kerajaan Tanrung, sebuah kerajaan kecil yang berada di gunung Bawakaraeng. Pada masa itu, Ammatoa, sebagai pemimpin Kajang, membawa masyarakatnya menuju lembah. Ada yang bermukim di pesisir dan ada yang di kawasan hutan. “Dalam keyakinan mereka, Ammatoa bukan bawahan raja. Tapi dia bisa disejajarkan dengan raja sebab mereka punya aturan dan rakyat sendiri,” jelas Erni.

Dalam artikelnya yang diterbitkan dalam Jurnal Forest & Society, Abdurrahman Abdullah, Micah R. Fisher, dan Muhammad Alif K. Sahide menggambarkan bagaimana kosmologi identitas Kajang, melalui Ammatoa, menghubungkannya dengan lapisan kepemimpinan dan genealogi keluarga yang disebut Ada’ Limayya (adat lima) dalam garis keturunan. Namun, perkembangan lainnya ketika Kerajaan Gowa menyebar di hampir semua wilayah Sulawesi Selatan, membawa lapisan kepimpinan baru dengan garis Karaeng Tallua (tiga bangsawan).

Berjalannya waktu dan berkembangnya penduduk juga memaksa ratusan orang Kajang melakukan migrasi ke luar daerah. Beberapa dari mereka pergi ke kota Makassar dan menjadi buruh dan pekerja kasar, sementara yang lain ke Sulawesi Tenggara hingga Kalimantan, membuka hutan, menanam cengkeh dan kakao. Fenomena ini juga tak lepas dari kritik Abdurrahman, Micah, dan Alif dalam artikelnya. “Uang dari hasil kebun itu kemudian dibawa kembali ke Kajang, bahkan digunakan untuk membiayai hajatan politik lokal,” tulis mereka. Selain itu, diperkirakan sekitar 500 rumah tangga Kajang memiliki lahan lebih dari dua hektar perkebunan dalam kawasan hutan negara di Kolaka, Sulawesi Tenggara. 

Ramlah (38) berpose di dalam kamarnya di kawasan Kajang Luar, Bulukumba, Sulawesi Selatan, Desember 2024. Ia anak keempat dari Ammatoa—pemimpin adat yang sangat didengarkan dalam menjaga hutan keramat. Ammatoa tidak pernah keluar atau bersentuhan dengan dunia luar. Bahkan orang yang memasuki kawasan Kajang Dalam dilarang untuk memotret Ammatoa. (Foto: Iqbal Libis)

Hanira (62) dan Naning (70) menenun kain bermotif adat Kajang yang kelak akan dibuat sarung, di kawasan Kajang Luar, Bulukumba, Sulawesi Selatan, Desember 2024. Sebagian besar perempuan Kajang memperoleh penghasilan dari menenun kain hitam, terbuat dari benang berbahan dasar tumbuh-tumbuhan. (Foto: Iqbal Lubis)

Menurut mereka, perdebatan lain yang muncul adalah terkait upaya konservasi dan keberlanjutan sosial. “Dengan kacamata perlindungan, hutan yang dijaga tanpa diolah dan dimanfaatkan menjadi kunci konservasi. Tapi di sisi lain, ada sistem sosial rumit yang juga perlu mendapatkan dukungan dan nilai dari perlindungan,” katanya.

Abdurrahman, Micah, dan Alif memberikan salah satu contoh sistem sosial yang rumit tersebut. Pada masa Orde Baru di bawah Presiden Soeharto, kebijakan negara melalui kepimpinan militer dan polisi memudahkan pembangunan dengan metode pemaksaan. Pada medio 1980-an, Kepala Desa Tana Toa, tempat bermukim masyarakat Kajang, menonjolkan kemaslahatan wilayah yang dipimpinnya karena telah mengislamkan penduduk setempat. Penduduknya menjadi wajib mengubah beberapa ritual, dan mereka wajib mengambil peran sebagai tenaga kerja dalam proyek pembangunan.

Bersisian dengan Sejarah tersebut, kini, masyarakat Kajang menjaga hutan seluas 500-an hektar yang tak diperbolehkan untuk dikelola menjadi kebun. Bahkan pohon tumbang pun tak boleh digunakan. Dalam kawasan tersebut, terdapat 313 hektar hutan suci yang tak bisa dimasuki masyarakat, kecuali dalam sebuah ritual tertentu. Keberadaan hutan Kajang menjadi bagian dari identitas komunitas ini. Pada 2016, kawasan inti seluas 313 hektar itu menjadi hutan pertama di Indonesia yang mendapatkan status penetapan sebagai Hutan Adat Ammatoa oleh Pemerintah Indonesia melalui Surat Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan bernomor SK.6746/MENLHK-PSKL/KUM.1/12/2016. Pengakuan itu menjadi legitimasi perubahan status kawasan hutan negara menjadi milik Komunitas Hukum Adat.

Ammatoa tetap memimpin masyarakatnya untuk menjaga keberadaan hutan dengan bantuan perangkat adat sebanyak 26 galla (menteri adat). Para galla akan membantu Ammatoa dalam semua unsur keberlanjutan hubungan antara manusia, alam, dan pencipta. Melalui berkat dan persetujuan Ammatoa, setiap tahun dilakukan upacara Addingingi sebagai ritual untuk mendinginkan bumi. “Itu untuk meminta doa agar semua isi dunia menjadi lebih baik,” ujar Ammatoa dalam Bahasa Konjo, bahasa lokal yang digunakan masyarakat Suku Makassar. “Saya mendoakan semua orang, nak, bukan hanya orang Kajang. Jadi hutan itu bukti cara kita menjaganya,” lanjutnya.

 Dalam banyak literatur, orang Kajang percaya bumi adalah salah satu pusat semua unsur kehidupan bermula; seperti ibu. Maka, dalam kesehariannya, mereka tidak menggunakan alas kaki, membuatnya menyatu dengan tanah. Mereka juga mengenakan pakaian hitam yang dalam kepercayaan Kajang menyimbolkan kesederhanaan. Inilah yang kemudian menjadi falsafahnya, sikamase-mase, saling mengasihi.

 

Sumber:

https://www.iklimku.org/memuliakan-kepercayaan-lokal-meluhurkan-hutan/

Submission Agreement

Terimakasih atas  ketertarikan Anda untuk mengirimkan artikel ke BaKTINews. Dengan menyetujui pernyataan ini, Anda memberikan izin kepada BaKTINews untuk mengedit dan mempublikasikan artikel Anda di situs web dan situs afiliasinya, dan dalam bentuk publikasi lainnya.
Redaksi BaKTINews tidak memberikan imbalan kepada penulis untuk setiap artikel yang dimuat.  Redaksi akan mempromosikan artikel Anda melalui situs kami dan saluran media sosial kami.
Dengan mengirimkan artikel Anda ke BaKTINews dan menandatangani kesepakatan ini, Anda menegaskan bahwa artikel Anda adalah asli hasil karya Anda, bahwa Anda memiliki hak cipta atas artikel ini, bahwa tidak ada orang lain yang memiliki hak untuk ini, dan bahwa konten Artikel Anda tidak mencemarkan nama baik atau melanggar hak, hak cipta, merek dagang, privasi, atau reputasi pihak ketiga mana pun.

Anda menegaskan bahwa Anda setidaknya berusia 18 tahun dan kemampuan untuk masuk ke dalam kesepakatan ini, atau bahwa Anda adalah orang tua atau wali sah dari anak di bawah umur yang menyerahkan artikel.
 
Satu file saja.
batasnya 24 MB.
Jenis yang diizinkan: txt, rtf, pdf, doc, docx, odt, ppt, pptx, odp, xls, xlsx, ods.