Memuliakan Kepercayaan Lokal, Meluhurkan Hutan (Bagian 1)
Penulis : Eko Rusdianto
  • Laurensius Kevin (21) membacakan beberapa doa untuk leluhur ataudewa penjaga bumi sebelum melakukan penyembelihan ayam saat ritual Adat Kallode-lode, Tana Toraja, Novemmber 2024. Foto oleh Iqbal Lubis.
    Laurensius Kevin (21) membacakan beberapa doa untuk leluhur ataudewa penjaga bumi sebelum melakukan penyembelihan ayam saat ritual Adat Kallode-lode, Tana Toraja, Novemmber 2024. Foto oleh Iqbal Lubis.

Cerekang adalah nama sebuah kampung di Desa Manurung, Kabupaten Luwu Timur, Sulawesi Selatan. Kampung ini dibelah oleh jalan utama yang menghubungkannya dengan Malili, pusat kabupaten. Sepintas tak ada yang spesial saat melewatinya. Ia tampak serupa dengan kampung-kampung lain di kabupaten tersebut yang memiliki masjid dan sekolah.

Akan tetapi, di kampung ini, ada sebuah bukit yang tepat berada di sisi jalan, namanya Bukit Pensimaoni. Dekat dengan bukit itu, tepatnya di ujung jembatan besi yang membelah sungai, ada tikungan tajam. Orang-orang tertentu yang mengenal kampung ini akan membunyikan klakson saat melintasinya. Mereka percaya, tempat ini adalah hutan keramat yang dijaga makhluk tak kasat mata. Selain itu, terdapat pula sehamparan rawa di hadapan bukit tersebut. Orang-orang Cerekang menyebutnya Padang Anungnge, sebuah tempat lapang yang dipercaya sebagai titik pertama seorang perempuan muncul dari bawah air.

Pemandangan hutan-hutan lebat dan wilayah kars yang dipisahkan area persawahan masyarakat di Sanggalangi, Toraja Utara, Sulawesi Selatan, November 2024. Ancaman terbesar deforestasi bagi komunitas penghayat Aluk Todolo adalah masifnya pembukaan lahan-lahan pertanian dan perkebunan. Foto oleh Iqbal Lubis.

Bukit, sungai, dan padang itu adalah satu kesatuan. Bukit ditandai sebagai tempat pertama kali Batara Guru menapakkan kakinya di bumi. Sementara padang itu adalah tempat pasangannya, We Nyili Timoq, muncul. Kelak, pasangan inilah yang melahirkan generasi-generasi penerus, salah satunya Sawerigading, seperti yang tertuang dalam Kitab I La Galigo, kitab yang panjangnya mencapai 6 ribu halaman, melampaui epos Mahabharata

Tahun 1998, sebuah penelitian kolaboratif para arkeolog dari Australia dan Indonesia bernama The Origin of Complex Society in South Sulawesi (OXIS) menyambangi Cerekang. Mereka membincangkan tempat kecil dengan penutur Bugis yang tetap bertahan hingga sekarang di tengah penutur bahasa Mori. Iwan Sumantri, arkeolog Universitas Hasanuddin yang terlibat dalam OXIS, mengatakan bahwa Cerekang seperti tempat tersembunyi yang menjaga kosmologi penciptaan alam semesta. “Meski hutannya tak cukup tua karena mulai berkembang sekitar abad ke-12, tapi tempat ini memberikan penjelasan mengenai sebuah komunitas yang terus mereproduksi pengetahuan untuk menciptakan identitas,” ujarnya.

Orang-orang Cerekang percaya dan meyakini diri mereka merupakan keturunan Batara Guru yang mewarisi etika dalam mengatur alam. Mereka menanam tanpa merusak alam, menangkap ikan tanpa menggunakan racun dan listrik, dan tidak mengotori sungai. Adnan, seorang anak muda Cerekang, menyebutkan bahwa leluhur mereka telah memberikan pesan yang begitu luhur untuk merawat alam dan menghargai sesama makhluk Tuhan. “Saya bangga. Kami hanya berusaha menjaga pesan itu,” ungkap ketua gerakan pemuda Wija To Cerekang ini.

Beberapa tetua menyiapkan batang pisang menjelang upacara adat di perkampungan Cerekang, Sulawesi Selatan, Sepember 2024. Ada beberapa larangan bagi orang Cerekang, salah satunya mengonsumsi pisang kepok. Masyarakat setempat menyebutnya pisang manurung. Foto oleh Iqbal Lubis.

Rumah Adnan berdekatan dengan Sungai Cerekang dan Bukit Pensimaoni. Berkali-kali ketika kami bercerita di teras rumah panggung orang tuanya, dia tak berani mengangkat tangan dan menegakkan telunjuknya ketika memastikan posisi bukit. Jika dalam keadaan terpaksa, maka semua jarinya akan ditekuk dan dibengkokkan. Pada masa lalu, bagi orang-orang Cerekang, memandang Bukit Pensimaoni dengan tatapan tegas adalah perihal yang dianggap kurang sopan.

Bukit Pensimaoni luasnya mencapai 375,7 hektar dengan kanopi hutan yang rapat. Laporan Perkumpulan Wallacea, organisasi nonpemerintah yang juga menjadi pendamping masyarakat, menuliskan luas hutan suci kawasan ini adalah 544,11 hektar yang tersebar di sepuluh titik. Termasuk di dalamnya wilayah Lengkong, daerah pesisir yang masih ditumbuhi vegetasi bakau, seluas 142 hektar.

Bagi Adnan, hutan itu senantiasa menjaga kampungnya tetap sejuk. “Kalau mau dikelola, itu tidak cukup. (Sementara itu) kalau tetap dijaga, generasi Cerekang akan tetap memperoleh oksigen,” katanya. “Tapi yang utama, bukit itu juga adalah bagian dari identitas kami,” ia melanjutkan.

Aktivitas warga di Sungai Cerekang. Hulu sungai berada di wilayah Parumpanai sejauh 37,32 kilometer. Sementara wilayah yang dijaga serta disucikan orang Cerekang hanya sepanjang 15 kilometer. Foto oleh Iqbal Lubis.

Sementara itu, sungainya yang mengalir tenang terlihat keruh pada pekan pertama September 2024. Hulunya yang berada di wilayah Parahumpanai meliuk sepanjang 37,32 kilometer, dan wilayah yang dijaga masyarakat hanya sepanjang 15 kilometer. Batang sungai itu melewati beberapa kampung dan perkebunan warga yang berada di bantaran sungai. Selain itu, ada pula mata air yang mengalirkan aliran kecil dari dalam perut Bukit Pensimaoni. Aliran dari sumber ini jernih. “Kami tak bisa menjaga sampai ke wilayah hulu. Kami hanya menjaga dibatas Cerekang,” kata Adnan. “Ketika di bagian atas (hulu) rusak, kami tidak bisa apa-apa,” sambungnya.

Sebelum tahun 1930, pemukiman Cerekang jauh berada di hilir. Rumah-rumah penduduknya menghadap sungai sebagai halaman utamanya. Sungai ini menjadi penghubung kawasan hutan dan laut. Saat pembangunan jalan mulai dilakukan oleh Pemerintah Hindia-Belanda, penduduk yang bermukim dipindahkan ke sisi jalan agar mudah dikontrol, termasuk penduduk Cerekang. Sejak saat itu, rumah-rumah penduduk menghadap ke jalan utama yang menghubungkannya dengan Malili. Sebagian besar rumah-rumah penduduk adalah rumah panggung yang pasak-pasak utamanya saling berhubungan tanpa menggunakan paku besi.

(dari kiri) Muhammad Buat Suardi, Awil Siabeng, Viqra, Quin, berpose di atas perahu bermesin yang digunakan untuk melakukan patroli jaga sungai dan hutan suci orang Cerekang di Luwu Timur, Sulawesi Selatan, September 2024. Foto oleh Iqbal Lubis.

Saat kami mengunjungi sisi bukit yang bersisian langsung dengan jalan utama, ada banyak sampah kertas makanan, plastik kresek, dan botol air mineral. Adnan mengeluh melihatnya. “Ini baru selesai masa kampanye (pemilihan bupati Luwu Timur), banyak orang singgah untuk istirahat. Sampahnya dibuang begitu saja,” ujarnya. Adnan menunjukkan plang pengumuman yang mereka buat untuk mengingatkan para pelintas agar menjaga sampahnya. “Tapi mereka banyak yang tidak bisa membaca. Ini buktinya,” ia menggerutu.

Ketika fotografer Iqbal Lubis meminta izin untuk menerbangkan pesawat nirawak, Adnan memintanya untuk berhati-hati agar pesawat yang membawa kamera itu tak melintasi hutan. “Saya tidak bisa tanggung. Kalau jatuh di hutan, kita tidak bisa lagi ambil,” ia memperingatkan.

Hutan suci itu tak pernah dimasuki oleh penduduk Cerekang. Adnan sendiri tak pernah tahu apa dan bagaimana isi hutan itu. Hanya segelintir pemuka adat yang pernah memasukinya, juga dengan ritual penting yang tak memiliki jadwal menetap.

Pemandangan aerial persawahan masyarakat yang berbatasan langsung dengan Pensimoni (hutan keramat). Pensimoni dipercaya sebagai tempat pertama Batara Guru (Tomanurung, manusia pertama yang turun dari langit) menapakkan kaki dan menghuni bumi. Hutan ini sangat terjaga, tidak dapat dimasuki siapa pun. Bahkan mengacungkan jari ke arahnya saja dianggap sebagai perwujudan sikap sombong dan angkuh (madoraka). Foto oleh Iqbal Lubis.

Kesucian bukit itu pula yang menjadikan orang-orang Cerekang begitu gusar ketika sebuah perusahaan penambang nikel PT Prima Utama Lestari, mengklaim sebagian hutan itu telah mendapat Izin Usaha Pertambangan. “Tiba-tiba mereka punya sekitar 20 hektar di dalam kawasan. Kami sendiri yang menjaganya tak pernah berniat untuk mengelola. Mereka datang malah mau membongkarnya.”

Para pemuda ingat, tahun 2019, ada seorang warga Cerekang yang bekerja sama dengan orang luar kampung. Mereka masuk ke hutan secara diam-diam untuk menebang kayu dengan gergaji mesin yang menggunakan peredam. Masyarakat Cerekang sangat marah ketika mendapati aktivitas tersebut. Akhirnya, menggunakan hukum adat di Cerekang, pelaku diusir dari kampung. Mencoba peruntungan dengan hukum negara, masyarakat Cerekang melaporkannya ke polisi. Ironisnya, polisi membutuhkan barang bukti berupa sisa penebangan kayu dari pohon-pohon suci itu. Masyarakat Cerekang tak setuju. Akhirnya pelaku pun urung ditangkap.

Berkaca dari pengalaman tersebut dan ancaman penambangan nikel yang ada di depan mata, dengan pemuliaan atas kepercayaan turun temurun untuk menjaga alam, beberapa pemuda Cerekang mengaku siap mengorbankan nyawanya jika hutan mereka hendak dirusak.

Pemandangan hutan-hutan lebat serta kars yang dipotong area persawahan masyrakat di Sanggalangi, Toraja Utara, Sulawesi Selatan, November 2024. Ancaman terbesar deforestasi bagi komunitas penghayat Aluk Todolo adalah pembukaan lahan-lahan pertanian dan perkebunan yang masif. Foto oleh Iqbal Lubis. 

Wilayah Lengkong, daerah pesisir yang masih ditumbuhi vegetasi mangrove, seluas 142 hektar. Wilayah ini merupakan sebagian titik hutan suci bagi orang Cerekang di Luwu Timur, Sulawesi Selatan, September 2024. Foto oleh Iqbal Lubis. 

Aluk Todolo

Bergerak ke barat laut Cerekang, ada satu bukit bernama Buntu Burake yang layak dikagumi di Toraja. Bukit karst itu menjulang di dekat Kota Makale, Kabupaten Tana Toraja. Toponim bukit itu merujuk pada gelar imam perempuan kepercayaan Aluk Todolo. Tapi kini, di atas bukit itu telah berdiri patung Yesus yang menghadap ke arah kota, seolah sedang memberkatinya. Alhasil, nama asli bukit itu perlahan dilupakan. Para wisatawan kini lebih mengenalnya sebagai Bukit Yesus.

Bukit karst lain yang tak jauh dari Buntu Burake adalah Buttu Kandora yang terletak di Kampung Marinding. Pada masa lalu, masyarakat setempat mempercayainya sebagai tempat awal mula berdirinya tongkonan, rumah utama masyarakat Toraja.

Seorang warga berjalan di area perkebunan dan hutan masyarakat adat Tana Toraja yang masih terjaga, November 2024. Masyarakat Toraja pemeluk Aluk Todolo masih memercayai keberadaan wilayah-wilayah dan hutan-hutan keramat, yang hanya bisa diakses saat gelaran ritual adat. Foto oleh Iqbal Lubis. 

Sementara itu, di Kampung Sangalla, terdapat sebuah situs penting Aluk Todolo berupa mata air yang keluar dari celah bukit karst, Sa’pak Bayobayo. Di hadapannya, berdiri sebuah pohon beringin tua. “Itu salah satu tempat paling penting agama Aluk. Tempat memuja dan berdoa,” ujar Marthen Ruruk (61). Saking keramatnya, binatang apa saja yang melintas di atas permukaan dan memiliki bayangan ke aliran air itu, akan terhisap dengan cepat. “Tapi itu untuk binatang. Manusia tidak,” katanya.

Ketika mengunjungi Sa’pak Bayobayo, saya tercengang karena situs itu telah berubah menjadi wisata religi umat Katolik. Di dekat aliran keramat itu, berdiri miniatur patung Yesus kecil bersama Maria dan Yusuf yang mengapitnya. Ketiganya mengenakan pakaian adat Toraja. Tak ada lagi penanda mengenai kepercayaan Aluk Todolo di tempat itu. Aliran yang keluar dari mata air juga sudah keruh. Dugaan para pengunjung, hal ini dikarenakan adanya lahan pertanian dan kebun warga di belakang bukit itu.

Namun, Marthen yang lahir dan besar di Sangalla mengatakan dulu bukit itu hampir tak terjamah. Orang-orang enggan menapaki punggungnya karena menjadi wilayah yang begitu disakralkan. Ada banyak rimbunan bambu dan beringin-beringin besar. Airnya tak pernah kering apalagi keruh.

“Adaptasi ke agama baru membuat beberapa wilayah yang seharusnya dijaga dan tak terjamah akhirnya terbuka. Pantangan-pantangan itu mulai banyak ditinggalkan. Kalau diingat-ingat, saya juga sedih,” akunya.

 

(bersambung)

 

Sumber:

https://www.iklimku.org/memuliakan-kepercayaan-lokal-meluhurkan-hutan/

Submission Agreement

Terimakasih atas  ketertarikan Anda untuk mengirimkan artikel ke BaKTINews. Dengan menyetujui pernyataan ini, Anda memberikan izin kepada BaKTINews untuk mengedit dan mempublikasikan artikel Anda di situs web dan situs afiliasinya, dan dalam bentuk publikasi lainnya.
Redaksi BaKTINews tidak memberikan imbalan kepada penulis untuk setiap artikel yang dimuat.  Redaksi akan mempromosikan artikel Anda melalui situs kami dan saluran media sosial kami.
Dengan mengirimkan artikel Anda ke BaKTINews dan menandatangani kesepakatan ini, Anda menegaskan bahwa artikel Anda adalah asli hasil karya Anda, bahwa Anda memiliki hak cipta atas artikel ini, bahwa tidak ada orang lain yang memiliki hak untuk ini, dan bahwa konten Artikel Anda tidak mencemarkan nama baik atau melanggar hak, hak cipta, merek dagang, privasi, atau reputasi pihak ketiga mana pun.

Anda menegaskan bahwa Anda setidaknya berusia 18 tahun dan kemampuan untuk masuk ke dalam kesepakatan ini, atau bahwa Anda adalah orang tua atau wali sah dari anak di bawah umur yang menyerahkan artikel.
 
Satu file saja.
batasnya 24 MB.
Jenis yang diizinkan: txt, rtf, pdf, doc, docx, odt, ppt, pptx, odp, xls, xlsx, ods.