“Kejujuran adalah hal penting dalam proses produksi pengetahuan. Ketika tidak jujur, pengkhianatan terhadap integritas akademis terjadi”.
Hal ini disampaikan Masduki, guru besar Media dan Jurnalisme dari Universitas Islam Indonesia (UII) di Yogyakarta yang juga seorang aktivis pro kebebasan akademis, dalam wawancara dengan The Conversation Indonesia, awal 2024 ini. Integritas akademis adalah nilai-nilai atau prinsip-prinsip moral yang berkaitan dengan kejujuran, kepercayaan, keadilan, kehormatan, tanggung jawab, dan keberanian dalam lingkungan akademis. Nilai-nilai ini pada dasarnya berlaku untuk dosen maupun mahasiswa.
Ironisnya, belakangan ini pelanggaran akademis di kalangan dosen justru semakin marak, padahal mereka seharusnya bisa menjadi contoh yang baik bagi mahasiswa. Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi Nomor 39 Tahun 2021 tentang integritas akademik dalam menghasilkan karya ilmiah telah mendefinisikan berbagai bentuk praktik pelanggaran akademis. Tulisan ini akan fokus pada pelanggaran yang dilakukan oleh dosen.
1. Plagiarisme
Plagiarisme adalah tindakan yang disengaja maupun tidak disengaja dalam usaha menggunakan karya, kata-kata, atau ide orang lain sebagai karya sendiri tanpa kutipan atau izin yang tepat.
Praktik ini pernah terjadi di Universitas Esa Unggul (UEU) Jakarta tahun 2023 kemarin. Seorang dosen senior sekaligus petinggi di kampus tersebut menulis artikel di jurnal internasional untuk memenuhi syarat menjadi guru besar. Namun, isinya sama persis dengan skripsi mahasiswa S1-nya.
Plagiarisme juga bisa dilakukan pada karya sendiri (self plagiarism). Contohnya kasus dugaan self plagiarism yang dilakukan oleh rektor terpilih Universitas Sumatera Utara (USU) tahun 2020 untuk mendapatkan gelar guru besar.
2. Kepengarangan yang tidak sah
Salah satu bentuk kepengarangan yang tidak sah adalah ghostwriting. Praktik ini melibatkan seseorang yang memberikan kontribusi signifikan terhadap penelitian atau penulisan naskah tetapi tidak terdaftar sebagai penulis.
Dugaan “perjokian” yang melibatkan para calon guru besar di Universitas Negeri Padang di Sumatera Barat dan Universitas Brawijaya di Jawa Timur adalah contoh dari praktik ini. Para calon guru besar ini membentuk tim yang terdiri dari mahasiswa dan dosen muda untuk membuatkan sekaligus menerbitkan artikel di jurnal internasional.
Bentuk lain dari kepengarangan yang tidak sah selain ghostwriting adalah pembelian artikel ke pihak ketiga yang kemudian diklaim sebagai hasil karyanya. Pihak ketiga ini biasa dikenal dengan sebutan pabrik artikel (paper mill).
Pabrik ini memproduksi dan menjual artikel ilmiah kepada akademisi yang memiliki kebutuhan untuk menerbitkan di jurnal. Dalam beberapa kasus, pabrik tersebut menjual artikel sebelum dipublikasikan. Namun, ada juga pabrik yang menjual jasa penulisan setelah naskah diterima untuk dipublikasikan di jurnal ilmiah yang sah.
Mereka bahkan menawarkan layanan tinjauan sejawat (peer review), yaitu proses pemeriksaan atau evaluasi karya ilmiah oleh pakar lain di bidang tersebut untuk memastikan kualitas dan kredibilitas publikasi akademis yang dijual.
Namun, layanan tinjauan sejawat yang ditawarkan pabrik artikel ini hanyalah kedok untuk melegitimasi praktik yang sebenarnya menyalahi integritas akademis.
Akibat praktik jual beli ini, jumlah jurnal ilmiah yang dicabut karena diduga melakukan pelanggaran akademis setiap tahunnya meningkat. Tahun 2023, sebanyak 25 artikel dari dosen atau peneliti Indonesia yang dicabut. Jumlahnya meningkat cukup signifikan dibanding pencabutan 18 artikel tahun sebelumnya. Transaksi jual beli pabrik artikel biasanya dilakukan di grup-grup media sosial, seperti Facebook atau WhatsApp (WA).
3. Fabrikasi dan falsifikasi
Fabrikasi dan falsifikasi adalah praktik pemalsuan data dan hasil yang diperoleh dalam penelitian. Pemalsuan melibatkan manipulasi bahan, peralatan, atau proses penelitian. Caranya bisa dengan mengubah atau menghilangkan data.
Jenis pelanggaran ini berpeluang menimbulkan efek domino karena data yang tidak benar dalam artikel ilmiah bisa dikutip oleh peneliti lain, yang akhirnya mengakibatkan kesalahan beruntun.
Berbagai lembaga organisasi Muhammadiyah seperti Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) dan Forum Mahasiswa Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara (UMSU) di Sumatera Utara pernah melaporkan dugaan fabrikasi data disertasi yang dilakukan oleh Rektor UMSU pada 2013 silam. Ini lantaran warga Desa Jaring Halus, Langkat, Sumatera Utara yang menjadi lokasi penelitian, membantah bahwa yang bersangkutan pernah melakukan penelitian tersebut di desa mereka.
4. Pengajuan jamak
Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi mendefinisikan pengajuan jamak sebagai upaya seorang dosen ketika mengajukan naskah karya ilmiah yang sama pada lebih dari satu jurnal ilmiah. Akibatnya dosen tersebut seolah-olah memiliki karya yang dimuat lebih dari satu jurnal ilmiah.
Contoh kasus terkini melibatkan beberapa dosen dari Universitas Sumatera Utara dan Universitas Negeri Medan, Sumatera Utara. Artikel mereka yang berjudul Biomass pyrolysis briquette molding machine design and analysis terbit tahun 2022 di Journal of Physics: Conference Series dan E3S Web of Conferences. Hal tersebut mengakibatkan artikel ilmiah mereka harus dicabut.
5. Konflik kepentingan
Praktik pelanggaran akademis yang melibatkan konflik kepentingan diartikan sebagai proses penerbitan karya ilmiah yang bertujuan untuk menguntungkan atau merugikan pihak tertentu. Kasus yang menimpa tujuh orang dosen Universitas Islam Negeri (UIN) Sumatera Utara merupakan contoh dari praktik ini. Mereka diduga merekayasa bahkan memalsukan puluhan karya ilmiah demi mendapatkan akreditasi untuk Program Studi Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial, UIN Sumatera Utara.
Kompleksitas pelanggaran akademis
Meski dasar aturannya sudah jelas, penegakan integritas akademis di Indonesia masih terkendala banyak hal. Penelitian tahun 2022 menunjukkan bagaimana kasus plagiarisme di Indonesia bisa dipolitisasi. Penelitian tersebut mengungkap penggunaan kasus plagiarisme sebagai alat dalam melemahkan kandidat lain dalam pemilihan rektor di Universitas Negeri Semarang (UNNES), di Semarang, Jawa Tengah, Universitas Sumatera Utara (USU) di Medan, Sumatera Utara dan Universitas Halu Oleo, di Kendari, Sulawesi Tenggara.
Jadi, relasi kekuasaan berperan dalam pengusutan kasus plagiarisme di sektor pendidikan tinggi Indonesia, khususnya dalam menentukan apa yang dianggap sebagai pelanggaran akademis dan apa yang tidak. Idhamsyah Eka Putra, dosen Universitas Persada Indonesia dan Anggota Dewan Pengarah Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik (KIKA), peneliti utama di riset tahun 2022 tersebut, menekankan pentingnya mentalitas untuk mau mengakui kesalahan agar bisa berbenah.
Sayangnya, menurut Idhamsyah, orang Indonesia cenderung defensif. “Ketika ketahuan plagiarisme, ‘Oh ga, ini bukan plagiarism, ini pasti urusan (serangan) personal.’ Padahal datanya identik begitu, masak bukan plagiarisme?” ujarnya heran.