Bahasa (lisan, tulisan, isyarat, pemrograman) adalah alat komunikasi dan interaksi manusia. Ini adalah definisi yang paling tua dan paling umum. Bahasa memungkinkan manusia berkomunikasi antar sesama, bekerja sama, membangun jaringan, hingga membangun saling pengertian untuk hidup bersama. Bahasa juga memungkinkan manusia berbagi dan saling menukar kebutuhan dan pengetahuan untuk kelangsungan hidup dan kesejahteraan.
Namun, bahasa tidak sekadar alat komunikasi dan interaksi. Pierre Bourdieu melihat bahasa sebagai instrumen kekuasaan karena hubungan sosial pada dasarnya adalah hubungan dominasi. Sebagai interaksi simbolis, hubungan komunikasi yang menggunakan bahasa mengimplikasikan adanya hubungan antara pengetahuan dan kekuasaan. Jadi hubungan komunikasi ditandai pertukaran wacana sebagai hubungan kekuasaan simbolis (Haryatmoko, 2019). Mengacu pada Gramsci dengan konsep hegemoninya, maka bahasa (teks dan tafsirnya) adalah bagian dari hegemoni ideologi.
Hubungan dominasi ini dapat dicermati dari penggunaan istilah atau bahasa yang ditujukan pada orang-orang atau kelompok miskin, marginal, minoritas, dan rentan. Istilah yang dipilih oleh kelompok mayoritas, dominan, dan penguasa tidak sekadar untuk identifikasi atau penyebutan, tetapi juga menampakkan kekuasaan dan dominasi. Bahasa tidak lagi untuk komunikasi dan interaksi, tetapi alat untuk mendominasi, menguasai, menstigma, mengelompokkan, dan memarjinalisasi kelompok miskin, marjinal, minoritas, dan rentan.
Lihatlah istilah yang digunakan untuk menyebut disabilitas. Istilah disabilitas yang saat ini diadopsi di dalam Konvensi Hak-Hak Penyandang Disabilitas (Convention on The Rights of Persons With Disabilities/CRPD 2006) dan Undang-Undang Penyandang Disabilitas (UU No. 8 Tahun 2016) adalah istilah yang diterima secara nasional dan internasional, tetapi istilah tersebut sangat bias, diskriminatif, dan menimbulkan stigma, karena menggunakan pendekatan medis, yang menganggap disabilitas adalah penyakit.
Istilah disabilitas dari Bahasa Inggris disability, disabilities, yang berarti tidak mampu atau ketidakmampuan. Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization, WHO) yang memelopori pendekatan medis dan menganggap disabilitas sebagai penyakit, menggunakan beberapa istilah. Selain disabilitas, istilah lain yang digunakan WHO di antaranya impairment (kerusakan, kecacatan), activity limitation (keterbatasan beraktivitas), dan participation restrictions (keterbatasan partisipasi). Istilah-istilah yang juga digunakan sering digunakan di antaranya lame, crippled, dan handicapped, yang kesemuanya berarti cacat atau lumpuh.
Istilah yang selalu digunakan hingga saat ini adalah impairment atau kecacatan. Pemerintah Indonesia mengadopsi istilah tersebut di dalam instrumen hukum yang disebut Undang-Undang Penyandang Cacat (UU No. 4 Tahun 1997). Undang-undang tersebut telah dicabut dengan UU No. 8 Tahun 2016. Frasa cacat dan kecacatan dilegalisasi negara di dalam instrumen hukum dan kebijakan negara, yang menguatkan pandangan pembuat kebijakan dan masyarakat bahwa disabilitas adalah penyakit. Undang-Undang Penyandang Cacat menyebut penyandang cacat sebagai orang yang mempunyai kelainan fisik dan/atau mental yang dapat mengganggu atau merupakan rintangan dan hambatan baginya untuk melakukan secara selayaknya. Sebutan lain yang melekat dengan disabilitas selain penyandang cacat adalah kelompok berkebutuhan khusus dan penyandang ketunaan.
Istilah ketunaan berasal dari kata dasar tuna yang berarti luka, rusak, tanpa atau tidak memiliki. Istilah tuna kemudian dilekatkan dengan ragam disabilitas, misalnya tuna rungu, tuna daksa, tuna netra, tuna grahita. Istilah tuna mirip dengan istilah cacat dan kecacatan, yang menimbulkan pandangan yang menimbulkan stigma, bahwa mereka yang disebut disabilitas adalah orang-orang yang luka atau rusak.
Undang-Undang Penyandang Disabilitas (UU No. 8 Tahun 2016) yang dianggap sebagai instrumen yang cukup maju, pun masih bersifat menimbulkan stigma dan abelisme (prasangka terhadap disabilitas). Kata penyandang di antaranya bermakna membawa sesuatu atau menderita. Jadi penyandang disabilitas dimaknai sebagai mereka yang membawa atau menderita sehingga tidak mampu.
Undang-Undang Penyandang Disabilitas mendefinisikan Disabilitas adalah setiap orang yang mengalami keterbatasan fisik, intelektual, mental, dan/atau sensorik dalam jangka waktu lama yang dalam berinteraksi dengan lingkungan dapat mengalami hambatan dan kesulitan untuk berpartisipasi secara penuh dan efektif dengan warga negara lainnya berdasarkan kesamaan hak (Pasal 1 angka 1 UU No. 8 Tahun 2016). Sedangkan Konvensi Hak-Hak Penyandang Disabilitas menyebutkan penyandang disabilitas adalah mereka yang memiliki keterbatasan fisik, mental, intelektual, atau sensorik dalam jangka waktu lama di mana ketika berhadapan dengan berbagai hambatan, hal ini dapat menghalangi partisipasi penuh dan efektif mereka dalam masyarakat berdasarkan kesetaraan dengan yang lainnya.
Definisi yang digunakan oleh Undang-Undang Penyandang Disabilitas dan Konvensi Hak-Hak Penyandang Disabilitas mengacu pada pandangan yang menganggap disabilitas sebagai penyakit. Karena penyakit atau kecacatan, maka disabilitas mengalami keterbatasan atau ketidakmampuan dalam berpartisipasi.
Difabilitas
Disabilitas merupakan suatu konsep yang terus berkembang dan kemudian diterima sebagai istilah yang dianggap lebih baik dari istilah cacat atau penyandang cacat. Istilah disabilitas mempunyai kekuatan hukum dan politik karena diadopsi dalam konvensi internasional dan instrumen nasional, sehingga walaupun istilah tersebut bias dan menimbulkan stigma, namun mau tidak mau harus diterima, karena menjadi bahasa resmi dalam perjanjian internasional dan bahasa resmi di dalam negara.
Istilah difabilitas yang pernah diajukan oleh para pemikir, aktivis disabilitas, dan disabilitas sebagai alternatif selain kata disabilitas, tidak diadopsi karena kalah dengan pihak yang bertahan dengan istilah disabilitas dan cacat. Difabilitas atau difabel adalah singkatan dari Bahasa Inggris differently abled people yang berarti orang yang memiliki kemampuan berbeda. Istilah difabel dipopulerkan oleh Mansour Fakih dan Setya Adi Purwanto (seorang difabel netra). Gagasan penggunaan difabel atau difabilitas merupakan perubahan konstruksi sosial dalam memahami difabilitas, atau yang saat itu dikenal sebagai kecacatan (penyandang cacat) (Yulianto, 2016).
Munculnya istilah difabilitas atau difabel adalah usaha untuk mengimbangi atau mengganti istilah-istilah yang selama ini memojokkan difabilitas/disabilitas. Menurut Yulianto (2016) istilah difabel atau difabilitas adalah konsep transformatif, karena mengganti peristilahan lama yang tidak humanis dan semata menganggap kecacatan sebagai sebuah tragedi personal. Kecacatan selalu diposisikan sebagai akar permasalahan serta penyebab atas hambatan aktivitas serta berbagai bentuk ketidakberuntungan sosial yang terjadi.
Permasalahannya istilah difabel belum cukup kuat dan kalah dengan peristilahan internasional yang menggunakan istilah disabilitas dan di Indonesia menggunakan istilah serupa atau penyandang disabilitas. Istilah disabilitas yang sangat kuat dan konstruksi politik dan hukum internasional dan nasional tidak lepas dari perspektif dan ideologi berbagai gagasan yang menciptakan kelas antar manusia dan stigma yang memasukkan difabilitas/disabilitas sebagai manusia invalid dalam arti tidak normal, bukan manusia seutuhnya atau tidak sepenuhnya.
Menguatnya istilah atau frasa yang menempatkan difabilitas/disabilitas sebagai bulan-bulanan bahasa, sebagaimana frasa-frasa yang disebutkan di atas, karena bahasa memiliki tali temali dengan kekuasaan. Bahasa yang digunakan untuk menilai dan menyebut difabilitas/disabilitas adalah bahasa yang dikuasai oleh mereka yang mempunyai pandangan diskriminatif. Fariz Alnizar (2021) menyebut bahasa bukan semata soal struktur gramatika dan susunan kalimat, namun lebih dari itu, bahasa juga merupakan susunan kekuasaan. Karena itu, bahasa yang memasukkan difabilitas/disabilitas sebagai orang-orang berpenyakit, manusia invalid, tidak normal, adalah mereka yang berkuasa terhadap pengetahuan dan kekuasaan.
Pandangan dan ideologi tersebut tidak hanya diskriminatif dan tidak manusiawi, tetapi juga sangat bermasalah bagi orang beragama. Orang-orang beragama sangat percaya bahwa Tuhan maha pencipta tidak mungkin menciptakan manusia invalid atau tidak normal. Tuhan yang maha tahu dan maha sempurna, tidak mungkin alpa. Tuhan itu maha inklusif karena hanya menilai manusia dari amal perbuatannya.
Itu artinya pandangan dan ideologi pembangunan harus digeser. Pendekatan sosial dan hak asasi manusia menghendaki penghormatan terhadap harkat dan martabat manusia, mengakui keragaman, dan partisipasi dan kesamaan kesempatan. Inilah pembangunan inklusif, yang juga harus menggunakan bahasa yang manusiawi.[]