Sistem yang Membunuh Perempuan
Penulis : Rahiwati
  • Dok.Yayasan BaKTI
    Dok.Yayasan BaKTI

Indonesia sedang tidak baik-baik saja. Semua mata tertuju pada kondisi politik, begitu pula media populer yang sedang sibuk mengawal isu-isu trending. Itu penting memang, tetapi ada cerita lain yang yang hampir saja luput dari sorotan. Sebagai perempuan dan juga ibu yang sedang tidak bisa hadir di sisi anak-anaknya saat ini karena akumulasi dari sistem yang tidak memihak perempuan, saya ingin berbicara tentang kisah tragis seorang ibu yang mengakhiri hidup bersama dua anaknya  di Kabupaten Bandung, Jawa Barat. Bagi saya peristiwa ini bukan sekedar tragedi personal, melainkan hasil dari rangkaian panjang abainya sistem terhadap perempuan, terhadap ibu, terhadap kehidupan sehari-hari rakyat kecil. 

Menjadi perempuan  di Indonesia sudah berat, menjadi ibu lebih berat, menjadi ibu miskin lebih berat lagi, dan menjadi ibu tunggal miskin nyaris mustahil bertahan dalam gempuran kerentanan yang berlapis. Kerentanan ekonomi sosial, psikologis, dan budaya patriarki. 

Perempuan di Indonesia hidup dengan beban ganda, bekerja menopang ekonomi, sekaligus memikul tanggung jawab domestik pekerjaan rumah yang melelahkan bahkan tidak diakui sebagai kerja produktif. Ia tidak dihitung dalam indikator ekonomi keluarga, sekaligus memikul tanggung jawab domestik yang seakan kodrati. Kesempatan bertumbuh secara finansial dan pengetahuan juga terbatas, upah lebih rendah, dan banyak terjebak di sektor informal tanpa perlindungan.

Seorang ibu miskin tidak hanya berjuang memenuhi kebutuhan dasar anak-anaknya, tetapi juga menghadapi stigma karena dianggap gagal sebagai ibu. Sementara itu, dukungan sosial, kebijakan negara, dan solidaritas masyarakat hampir tidak ada.

Di banyak negara maju, beban menjadi orang tua tidak ditopang oleh individu semata, ada kebijakan publik dan kultur kerja yang nyata meringankan tanggung jawab pengasuhan. Di Swedia misalnya orang tua mendapat hingga 480 hari cuti parental berbayar yang bisa dibagi antar orangtua. Bahkan skema moderen memberikan fleksibilitas transfer ke kakek-nenek sebagai pengasuh berbayar. Sebuah pengakuan bahwa perawatan anak adalah tanggungjawab keluarga luas dan masyarakat.

Bukan hanya negara-negara di Eropa yang memiliki kebijakan keluarga yang ramah, tetapi negara-negara asia juga seperti Jepang dan Korea. Pada dasarnya negara-negara tersebut menggabungkan tiga pilar. Perlindungan pendapatan saat orangtua cuti, akses penitipan anak yang tersubsidi dan adanya kultur pembagian tanggung jawab pengasuhan anak yang adil. Ketika tiga pilar itu bekerja, perempuan tidak harus otomatis harus memilih antara bekerja atau mengasuh, mereka diberi ruang tumbuh secara ekonomi dan sosial.

Dalam sistem sosial di Indonesia yang kian melemah, seharusnya masyarakat hadir sebagai penyangga. Namun pada kenyataannya, ibu yang lelah sering dianggap ‘tidak sabar’, yang miskin dianggap ‘tidak pandai mengatur keuangan’, yang tidak mampu memberi makanan bergizi dianggap ‘malas’ dan yang depresi dicap ‘kurang iman’. Stigma menggantikan solidaritas, gosip menggantikan pertolongan.

Tragedi ini juga menyingkap lapisan-lapisan kerentanan yang dialami perempuan, khususnya ibu. Jauh sebelum ia terbunuh oleh tangannya sendiri, ia telah dibunuh oleh sistem yang abai, sistem sosial yang tidak peduli, kebijakan negara yang tidak berpihak, serta budaya masyarakat yang lebih cepat menghakimi ketimbang mengulurkan tangan.

Kasus tragis seorang ibu yang mengakhiri hidup bersama anak-anaknya harus menjadi refleksi kolektif. Kita tidak bisa lagi menutup mata. Kita harus bertanya, mengapa seorang ibu mengambil keputusan seputus asa itu? Apa yang salah dengan sistem sosial kita? Mengapa negara tidak menyediakan jaringan pengaman yang kuat bagi ibu dan anak? Kita tidak boleh hanya berhenti pada simpati sesaat. Harus ada perbaikan struktural terutama secara perekonomian. 

Sosiolog Prancis, Emile Durkheim, dalam teori bunuh dirinya menjelaskan bahwa bunuh diri bisa lahir dari lemahnya integritas sosial (egoistic suicide) atau tekanan berlebihan dari sistem (anomie suicide). Kasus ibu ini merepresentasikan keduanya. Ia kehilangan dukungan sosial dan pada saat yang sama hidup dalam sistem ekonomi dan budaya yang menekan.

Kita memerlukan sistem sosial yang membangun solidaritas di tingkat komunitas untuk menghidupkan kembali gotong-royong yang nyata. Kita perlu menyediakan layanan konseling yang mudah diakses, terjangkau, dan bebas stigma. Tentu saja, payung bagi semua itu adalah adanya regulasi yang salah satunya mengatur keluarga ramah perempuan. Kita tidak boleh lagi membiarkan perempuan berjuang sendiri, sebab ketika seorang ibu hancur, yang hancur bukan hanya dirinya, melainkan juga anak-anak yang merupakan masa depan bangsa.

Di Indonesia bila budaya gotong royong dipraktekkan secara terstruktur, dengan dana, aturan dan pelatihan bisa jadi jaringan pengaman yang nyata. Dari pengalaman negara lain kita belajar perlindungan bukan soal uang negara besar, melainkan soal desain kebijakan yang mengakui pengasuhan sebagai pekerjaan sosial secara bersama.

Beberapa hari terakhir saya ikut terlibat riset bersama seorang dosen dari Amerika di Yogyakarta, ia meneliti budaya musyawarah. Dari catatan lapangan, saya menemukan bagaimana komunitas disana memiliki sistem sosial yang cukup kuat menopang dan melindungi warganya, baik dari bencana alam dan bencana sosial. Melalui Program Desa/Kelurahan Tangguh Bencana (Destana) dan Kampung Siaga Bencana (KSB), masyarakat  membangun mekanisme gotong royong yang konkret. Dimana komunitas menjadi ruang solidaritas dan setiap orang merasa memiliki tanggung jawab terhadap kesejahteraan bersama.

Indonesia punya budaya kolektif, tinggal mengubahnya dari simbol menjadi sistem yang menjamin perempuan dapat tumbuh secara ekonomi, sosial dan psikologis, tanpa harus membayar harga tertinggi, nyawa dan masa depan anak anak.

Submission Agreement

Terimakasih atas  ketertarikan Anda untuk mengirimkan artikel ke BaKTINews. Dengan menyetujui pernyataan ini, Anda memberikan izin kepada BaKTINews untuk mengedit dan mempublikasikan artikel Anda di situs web dan situs afiliasinya, dan dalam bentuk publikasi lainnya.
Redaksi BaKTINews tidak memberikan imbalan kepada penulis untuk setiap artikel yang dimuat.  Redaksi akan mempromosikan artikel Anda melalui situs kami dan saluran media sosial kami.
Dengan mengirimkan artikel Anda ke BaKTINews dan menandatangani kesepakatan ini, Anda menegaskan bahwa artikel Anda adalah asli hasil karya Anda, bahwa Anda memiliki hak cipta atas artikel ini, bahwa tidak ada orang lain yang memiliki hak untuk ini, dan bahwa konten Artikel Anda tidak mencemarkan nama baik atau melanggar hak, hak cipta, merek dagang, privasi, atau reputasi pihak ketiga mana pun.

Anda menegaskan bahwa Anda setidaknya berusia 18 tahun dan kemampuan untuk masuk ke dalam kesepakatan ini, atau bahwa Anda adalah orang tua atau wali sah dari anak di bawah umur yang menyerahkan artikel.
 
Satu file saja.
batasnya 24 MB.
Jenis yang diizinkan: txt, rtf, pdf, doc, docx, odt, ppt, pptx, odp, xls, xlsx, ods.