Sebuah panggilan hati yang kuat menghampiri saya pagi ini. Sebuah momen di mana harapan dan keyakinan bertemu. Campuran antara antusiasme dan harapan. Saya cukup lama berkecimpung dalam advokasi hak-hak penyandang disabilitas, tetapi ada satu hak yang jarang dibicarakan dalam forum-forum inklusi: hak untuk beribadah dengan tenang dan tanpa rasa khawatir. Maka ketika saya mendengar bahwa Keuskupan Agung Makassar akan mengadakan Misa Khusus untuk Anak Berkebutuhan Khusus, saya tahu saya harus hadir.
Sejak pagi, saya sudah bersiap-siap. Arung, anakku yang autistik, nampak gagah dan semangat setelah sarapan dan mandi. Adiknya, Desa, juga ikut bersiap. Kami tiba lima belas menit sebelum misa dimulai, dan saya melihat beberapa keluarga yang sudah saya kenal. Masing-masing membawa anak-anak mereka, anak-anak hebat yang sering kali harus menghadapi tatapan heran di tempat-tempat umum. Tapi hari ini, di aula keuskupan yang luas ini, mereka tidak perlu merasa berbeda. Mereka diterima apa adanya. Sedikit berbeda dengan aktivitas lainnya di mana sebaiknya semua berbaur dan bergabung, Misa Khusus ini ditujukan agar keluarga dengan penyandang disabilitas dapat beribadah dengan lebih nyaman dan damai.
Saat misa dimulai, suara khas pekikan anak-anak autistik terdengar sesekali, tapi kali ini tidak ada tatapan aneh. Tidak ada orang yang menoleh dengan heran. Semua orang mengikuti misa dengan tenang. Pianis yang mengiringi misa juga seorang autistik dewasa, dan itu membuat saya semakin terharu. Betapa indahnya ketika semua orang memiliki kesempatan yang sama untuk terlibat dalam peribadatan, tanpa rasa takut atau cemas.
Ketika misa usai, Pastor Andreas Rusdyn menyempatkan diri menyalami setiap umat satu per satu. Ada air mata haru di beberapa wajah. Ibu Wati, yang membawa putranya Nicolo, bahkan sempat berkata, "Saya sampai meneteskan air mata. Biasanya kalau bawa Nico ke gereja, perasaan saya campur aduk—takut kalau dia membuat keributan, takut pada tatapan orang-orang. Tapi di sini, saya merasa damai. Akhirnya, ada misa di mana kita bisa tenang tanpa merasa dihakimi."
Saya pun sempat bertanya kepada Pastor Rusdyn tentang inisiatif Misa Khusus ini. Beliau menjelaskan bahwa Gereja Katolik hadir untuk semua jiwa yang merindukan Tuhan, termasuk mereka yang sering kali terpinggirkan. Gereja ingin menjadi ruang bagi semua orang, tempat di mana belas kasih Allah benar-benar dapat dirasakan oleh semua umat-Nya, termasuk keluarga dengan anak-anak berkebutuhan khusus. Beberapa pengurus Gereja juga dengan tulus menjadi relawan yang bertugas memberikan pelayanan saat misa untuk disabilitas ini berlangsung.
Pastor juga menyinggung tentang renovasi Gereja Katedral yang sedang berlangsung. Nantinya, gereja ini akan memiliki ramp untuk memudahkan akses bagi penyandang disabilitas yang menggunakan kursi roda. Ini adalah langkah nyata menuju inklusi yang sesungguhnya. Tak hanya itu, ada rencana agar Misa Khusus ini bisa diadakan secara rutin dan terbuka untuk semua penyandang disabilitas, tidak hanya yang beragama Katolik.
Langkah ini sejalan dengan kebijakan Gereja Katolik secara global, yang sejak Konsili Vatikan II menegaskan bahwa setiap umat beriman memiliki kedudukan yang sama di hadapan Tuhan dan berhak penuh atas akses dalam kehidupan menggereja, termasuk dalam peribadatan. Dalam beberapa dokumen pastoral dan pedoman liturgi, Gereja menekankan pentingnya menghadirkan ruang ibadah yang ramah bagi penyandang disabilitas. Vatikan bahkan mendorong paroki-paroki di seluruh dunia untuk menyediakan akomodasi yang sesuai, seperti akses fisik, penggunaan bahasa isyarat, hingga pendampingan khusus bagi umat dengan kebutuhan khusus. Gereja percaya bahwa penyandang disabilitas bukan sekadar penerima belas kasih, tetapi anggota aktif yang memiliki peran dalam komunitas iman.

Saya pulang ke rumah dengan hati yang penuh. Saya sadar bahwa perjuangan menuju inklusi dalam beribadah masih panjang, tetapi ini adalah awal yang baik. Hari ini, saya melihat sendiri bagaimana kasih Tuhan benar-benar tidak memandang perbedaan. Hari ini, saya melihat secercah harapan bagi Arung, Nicolo, dan banyak anak lainnya untuk bisa beribadah dengan damai, tanpa rasa takut.
Saya percaya, inklusi yang sesungguhnya tercapai ketika penyandang disabilitas tidak lagi merasa berbeda, bukan karena perbedaan itu hilang, tetapi karena akses dan akomodasi yang tersedia telah disesuaikan dengan kebutuhan ragam disabilitas mereka. Saat ramp, penerjemah bahasa isyarat, ruang ibadah yang ramah sensorik, serta jadwal kegiatan yang adaptif hadir, maka yang tercipta bukan sekadar fasilitas, melainkan perasaan setara dan diterima.
Lebih dari itu, beribadah adalah hak dasar setiap manusia, termasuk penyandang disabilitas. Setiap orang, tanpa terkecuali, berhak merasakan damai, ketenangan, dan kehadiran Ilahi dalam suasana yang bebas dari rasa cemas, takut, dan stigma. Hak untuk hadir di rumah ibadah, berdoa, dan menjalankan keyakinan tanpa diskriminasi adalah bagian dari hak asasi manusia yang perlu terus diperjuangkan. Karena rumah Tuhan, sejatinya, adalah rumah untuk semua.
Dan saya tahu, kami akan terus memperjuangkan hak ini.
Informasi lebih lanjut:
Penulis adalah Sekretaris Persatuan Orangtua dengan Anak Autis Makassar