Bulan Desember 2020, pemerintah Indonesia sempat diberitakan menawarkan Pulau Biak, provinsi Papua, sebagai landasan peluncuran roket ke planet Mars, kepada Elon Musk, seorang miliuner asal AS dan pendiri perusahaan SpaceX.
SpaceX adalah sebuah perusahaan antariksa dengan teknologi paling mutakhir yang dibangun oleh Elon Musk pada tahun 2002.
Perusahaan ini bertujuan untuk membawa manusia terbang dan tinggal di Mars dan planet potensial lainnya, secara berkelanjutan dan dalam skala besar.
Dengan demikian, peradaban manusia bisa terus ada meski ada bencana besar melanda Bumi, seperti serangan asteroid atau perang nuklir, yang membuat kehidupan di planet ini menjadi sulit.
Pemerintah menyatakan bahwa proyek ini akan meningkatkan perekonomian masyarakat Biak, sebuah pulau dengan minim infrastruktur.
Perkembangan terbaru, media melaporkan pada 11 Maret, bahwa pemerintah Indonesia membantah telah menawarkan Biak kepada Elon Musk, meski ada laporan dari JUBI, website berita berbasis di Papua, Jayapura, yang mengklaim bahwa proyek SpaceX masih berlanjut.
Belum ada kepastian dari pihak Elon Musk terkait tawaran ini, namun beberapa penduduk di Biak sudah menyatakan ketidaksetujuan mereka atas proyek tersebut.
Mereka mengkhawatirkan dampak negatif terhadap lingkungan, budaya dan penghidupan mereka, serta berpotensi menggusur komunitas dari rumah dan desa asli mereka.
Faktor ekonomi dan lokasi strategis
Pulau Biak dianggap sebagai lokasi yang tepat bagi ekspedisi Mars karena alasan ekonomi dan strategis.
Pulau ini dikenal kaya oleh tembaga dan nikel, bahan baku yang penting bagi produksi roket dan baterai untuk kendaraan listrik, misalnya Tesla (yang juga dimiliki oleh Elon Musk).
Selain itu, pulau Biak terletak sekitar satu derajat di selatan ekuator, lokasi yang cukup strategis karena ini artinya tidak perlu memakan bahan bakar lebih untuk mencapai orbit.
Dari proyek ke Mars ini, proyeksi keuntungan yang akan didapatkan perusahaan SpaceX mencapai 36 miliar dolar (Rp514 triliun) pada tahun 2025.
Namun, proyeksi keuntungan ini masih mengundang perdebatan.
Sebagai seorang antropolog sosial, saya telah menghabiskan bertahun-tahun meneliti bagaimana masyarakat adat di Papua berinteraksi dengan lingkungan alami mereka.
Secara khusus, saya telah mengeksplor bagaimana nilai-nilai budaya dan tradisi Papua membentuk bagaimana mereka berinteraksi dan mengerti tentang nilai dan arti dari alam yang mereka tinggali, seperti di hutan, lautan, sungai dan daratan.
Sepanjang Maret dan April 2021, saya telah mewawancarai 10 penduduk di Biak untuk memahami perspektif mereka tentang proyek SpaceX tersebut.
Cukup banyak yang mengatakan bahwa mereka percaya mereka memiliki hak untuk menentukan pembangunan macam apa yang mereka inginkan di tanah mereka dan penghidupan seperti apa yang ingin mereka cari.
Salah satu tetua menjelaskan bahwa komunitas lokal di Biak sudah menjadi nelayan, pengumpul makanan, pemburu, menjalankan hortikultur dan beternak skala kecil dari generasi ke generasi.
Gagasan untuk bisa bertahan hidup di luar angkasa, apalagi Mars, merupakan konsep yang asing bagi mereka. Hal ini karena mereka sangat memercayai bahwa cara mereka mengolah hutan dan lautan sudah cukup berkelanjutan.
Lahan dan penghidupan
Proyek SpaceX juga mengancam lahan dan penghidupan dari penduduk Biak. Mereka terus menggantungkan hidup kepada perikanan, perburuan, dan hortikultur untuk sehari-hari.
Sama halnya dengan komunitas masyarakat adat Papua lainnya, tanah dan lingkungan mewakili bagian penting atas kekayaan budaya lokal mereka.
Beberapa masyarakat yang diwawancarai menjelaskan bahwa klan dan suku di Biak berbagi leluhur dengan tanaman, spesies dan lokasi di lanskap yang berbeda, yang juga menjadi tanggung jawab mereka untuk dijaga dan dilindungi.
Sebagai contoh, ada kepercayaan bahwa buaya merepresentasikan kekuatan dari laut dan klan-klan di Biak menganggap ini adalah satwa suci.
Untuk penduduk Biak dan Papua lainnya, lingkungan merupakan sumber pengetahuan tradisional yang berharga, di mana kisah-kisah dan sistem kepercayaan animisme diturunkan dari berbagai generasi.
Mitos-mitos Biak terkadang menggambarkan tumbuhan hutan, seperti kelapa sawit, satwa, termasuk ular dan burung, dan fenomena alami seperti Bulan dan Matahari.
Bagi penduduk Biak, menghancurkan lingkungan berarti menghancurkan identitas budaya, kepemilikan, dan kebanggaan mereka.
Risiko lainnya adalah proyek Biak bisa menggusur populasi.
Salah satu tetua Biak yang saya wawancarai menyatakan bahwa memindahkan suku ke wilayah lain akan menyebabkan masalah dengan suku-suku yang sudah berdiam dan memiliki lahan di daerah tersebut.
Ini akan berpotensi terjadinya sengketa lahan, konflik sosial, dan meningkatnya kekerasan.
Trauma yang mendalam
Banyak penduduk Biak yang saya wawancarai juga berargumen bahwa proyek tersebut akan mengaburkan sejarah kekerasan dan penderitaan, dan mimpi untuk keadilan dan kebebasan bagi Papua Barat, terbenam oleh roket dan eksplorasi angkasa.
Secara khusus, transformasi pulau mereka menjadi pangkalan luncur untuk pencarian antarplanet bisa berpotensi mengaburkan trauma yang masih mendalam dari para keluarga dan keturunan yang menjadi korban “Biak Mascare”, pada tahun 1998 silam.
Biak Massacre Citizens Tribunal, sebuah penyelidikan judisial dan keterangan para saksi ahli yang digelar di Universitas Sydney, pada Desember 2013, menemukan bahwa militer dan aparat keamanan Indonesia telah menyiksa, memperkosa, dan membuang ratusan penduduk sipil Biak di lautan.
Beberapa korban telah mencoba untuk menaikkan bendera Papua Barat, yang merupakan tindakan kriminal dan bisa terkena hukuman 15 tahun di penjara.
Hingga saat ini, tidak ada tuntutan hukum yang dilayangkan bagi pelaku kekerasan tersebut.
Pemerintah juga menyangkal keterlibatan terhadap aksi tersebut, yang dianggap oleh organisasi pembela HAM sebagai salah satu pembantaian terburuk di Indonesia, sepanjang sejarah pasca Suharto.
Trauma yang belum tersembuhkan memiliki bagian besar yang membentuk reaksi penduduk Biak terhadap proyek SpaceX tersebut.
Bagi kebanyakan penduduk, melihat ke masa depan menuntut pengakuan dari komunitas nasional dan internasional terhadap kekerasan yang menjadi karakter dari masa lalu Papua Barat dan penolakan terhadap kebebasan yang tetap menjadi ciri pada masa kini.
Dari bertahun-tahun bekerja bersama dan belajar dari masyarakat adat Papua, saya memahami bahwa mereka pun memiliki mimpi sendiri, termasuk impian untuk keadilan, lingkungan yang sehat dan budaya yang berkelanjutan.
Masyarakat adat Papua merupakan salah satu penjaga dan pelindung terakhir dari kebudayaan adat yang kaya di Indonesia.
Hal ini tumbuh dari relasi penghormatan dan perlindungan terhadap lahan dan lingkungan hidup.
Masyakarat Papua memiliki harapan untuk masa depan anak dan cucu mereka, bukan di Mars atau bulan, tetapi ada di tanah adat mereka sendiri, di hutan dan lautan.
Masalah muncul ketika beberapa mimpi yang diprioritaskan dengan mengorbankan orang lain.
Eksplorasi antarplanet mungkin bisa memberikan janji masa depan yang revolusioner bagi manusia di kemudian hari. Tetapi, tidak seharusnya mengabaikan keberadaan dan keadilan bagi manusia saat ini.
Masa depan kemanusiaan akan bisa menjadi hebat apabila seluruh visi bisa menghormati, baik dari visi pengusaha dan pemerintah, keberadaan komunitas lokal dan lingkungan mereka yang kian rentan.
Sophie Chao, Postdoctoral Research Associate in History, University of Sydney
Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.