Fenomena kekerasan seksual merupakan masalah global yang terus berkembang, dengan dampak yang luas bagi korban di seluruh dunia. Meskipun banyak negara telah melakukan upaya untuk mengatasi kekerasan seksual melalui kebijakan dan hukum yang lebih ketat, kenyataannya, masalah ini tetap menjadi tantangan besar. Berbagai faktor sosial, budaya, dan struktural memainkan peran dalam memperburuk masalah ini, sehingga kekerasan seksual sering kali terjadi di tempat yang seharusnya menjadi pelindung bagi individu, seperti keluarga, institusi pendidikan, dan tempat kerja.
Menurut data dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), sekitar 1 dari 3 perempuan di seluruh dunia mengalami kekerasan fisik atau seksual oleh pasangan intim mereka atau oleh orang lain sepanjang hidup mereka. WHO juga mencatat bahwa 35 persen perempuan di seluruh dunia mengalami kekerasan fisik atau seksual oleh pasangan intim atau orang lain yang bukan pasangan. Fenomena ini menggambarkan betapa luasnya kekerasan seksual yang terjadi, baik dalam hubungan pribadi maupun di ruang publik. Data ini tidak hanya mencakup kekerasan yang terjadi di ruang pribadi, tetapi juga di tempat-tempat umum dan di lingkungan kerja. Ini menunjukkan bahwa kekerasan seksual dapat terjadi di mana saja, oleh siapa saja, dan kepada siapa saja, asalkan ada ketidakseimbangan relasi kuasa.
Selain itu, laporan dari United Nations Women (UN Women) pada 2020 mengungkap bahwa 1 dari 2 perempuan yang pernah mengalami kekerasan seksual di luar hubungan intim mengalami hal tersebut di ruang publik, sementara 1 dari 5 perempuan mengalami kekerasan seksual di tempat kerja atau pendidikan. Fakta ini menyoroti bagaimana relasi kuasa dalam berbagai konteks baik di ruang publik, pendidikan, maupun pekerjaan dapat berfungsi sebagai alat untuk menekan dan mengeksploitasi individu yang berada dalam posisi yang lebih lemah.
Fenomena ini juga diperparah dengan rendahnya angka pelaporan kekerasan seksual di banyak negara. Banyak korban yang merasa takut atau malu untuk melaporkan kejadian tersebut, terutama ketika pelaku adalah seseorang dengan posisi kekuasaan yang lebih tinggi, seperti atasan di tempat kerja, guru di sekolah, atau bahkan anggota keluarga sendiri. Ketidaksetaraan dalam relasi kuasa ini menciptakan suasana di mana korban merasa terperangkap, tidak memiliki pilihan untuk melawan, dan sering kali merasakan ketakutan yang mendalam.
Relasi Kuasa dan Stigma Sosial
Di Indonesia, fenomena kekerasan seksual juga merupakan masalah yang sangat mendesak, dengan data yang menunjukkan tingkat keprihatinan yang cukup tinggi. Berdasarkan data dari Komnas Perempuan, pada tahun 2020, tercatat lebih dari 4.000 kasus kekerasan seksual yang dilaporkan, dan sekitar 60 persen dari kasus tersebut terjadi di lingkup keluarga. Kita tentu sering mendengar kasus kekerasan seksual dalam keluarga yang menunjukkan relasi kuasa antara ayah dan anak, atau paman dan keponakan. Fakta ini sangat mengejutkan mengingat keluarga seharusnya menjadi tempat yang aman dan penuh kasih sayang.
Selain itu, data dari Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) menunjukkan bahwa banyak perempuan yang menjadi korban kekerasan seksual di ruang publik, termasuk di tempat kerja, transportasi umum, dan tempat-tempat lainnya. Di tempat kerja, kekerasan seksual sering terjadi di antara relasi atasan dan bawahan, dimana korban, yang sering kali perempuan, merasa tidak memiliki posisi untuk melawan atau melaporkan peristiwa tersebut karena takut akan konsekuensi terhadap pekerjaan dan karir mereka.
Fenomena ini semakin rumit dengan adanya stigma sosial yang melekat pada korban kekerasan seksual di Indonesia. Banyak korban merasa malu atau takut dihukum oleh masyarakat karena dianggap telah "mengundang" kekerasan. Akibatnya, banyak kasus kekerasan seksual yang tidak pernah dilaporkan atau bahkan diabaikan. Stigma ini sangat terkait dengan norma sosial yang masih menempatkan perempuan dalam posisi yang lebih rendah, di mana perempuan sering kali dianggap sebagai objek seksual atau bahkan sebagai pihak yang lebih mudah untuk disalahkan.
Relasi Kuasa dalam Kekerasan Seksual
Relasi kuasa adalah inti dari dinamika kekerasan seksual. Kekuasaan dalam konteks ini tidak hanya terbatas pada kekuasaan fisik atau otoritas formal, tetapi juga mencakup kontrol sosial, ekonomi, dan budaya yang ada di sekitar korban dan pelaku. Pada banyak kasus, relasi kuasa yang timpang antara pelaku dan korban baik di keluarga, tempat kerja, maupun lingkungan pendidikan menciptakan situasi yang sangat rawan akan terjadinya kekerasan seksual. Di keluarga, relasi kuasa sering kali terlihat dalam dominasi seorang anggota keluarga terhadap yang lainnya. Sebagai contoh, ayah yang memiliki otoritas dalam keluarga dapat memanfaatkan posisinya untuk mengeksploitasi atau menindas anak perempuan atau pasangan.
Pada lingkungan kerja atau pendidikan, seorang atasan atau guru dapat memanfaatkan kedudukannya untuk mengeksploitasi bawahannya atau murid-muridnya. Di banyak kasus, ketergantungan ekonomi atau ketakutan terhadap konsekuensi dari melawan membuat korban merasa terjebak dalam situasi tersebut. Selain itu, ada juga faktor budaya yang memperkuat relasi kuasa ini. Di banyak masyarakat, perempuan sering kali dianggap sebagai pihak yang lebih lemah atau lebih rendah dari laki-laki, yang menciptakan ketimpangan dalam hubungan antar individu. Ketimpangan ini semakin memperburuk situasi ketika kekuasaan digunakan untuk mendominasi atau mengeksploitasi orang yang dianggap lebih lemah.
Mengatasi Relasi Kuasa yang Menyuburkan Kekerasan Seksual
Untuk mengatasi masalah ini, sangat penting untuk memahami bahwa kekerasan seksual adalah cerminan dari ketidaksetaraan relasi yang ada di masyarakat. Dalam hal ini, perubahan besar perlu dilakukan baik di tingkat kebijakan maupun dalam pola pikir sosial masyarakat. Di Indonesia, langkah-langkah untuk mendorong kesetaraan gender dan melindungi korban kekerasan seksual perlu terus diperkuat melalui pendidikan, hukum yang lebih tegas, dan kampanye sosial yang bertujuan untuk mengurangi stigma terhadap korban kekerasan seksual.
Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) yang disahkan pada tahun 2022 memberikan harapan baru bagi korban kekerasan seksual, terutama dalam konteks relasi kuasa yang menjadi akar masalah. Undang-undang ini mengakui bahwa kekerasan seksual sering kali terjadi di lingkungan yang seharusnya menjadi tempat perlindungan, seperti keluarga, tempat kerja, dan institusi pendidikan. UU TPKS memperkuat perlindungan terhadap korban, memberikan sanksi yang lebih berat kepada pelaku yang memanfaatkan posisi kekuasaan mereka, dan memberikan akses yang lebih mudah bagi korban untuk melapor tanpa rasa takut akan pembalasan atau stigma. UU TPKS juga mencakup upaya preventif yang penting untuk mencegah terjadinya kekerasan seksual, termasuk yang timbul dari relasi kuasa. Di antara langkah-langkah preventif yang dapat didorong oleh undang-undang ini adalah pendidikan tentang kesetaraan gender, hak asasi manusia, dan pentingnya saling menghormati yang dapat membantu mengurangi ketimpangan kuasa dan mengurangi terjadinya kekerasan seksual di masa depan. Ini memberikan kesempatan bagi masyarakat untuk membangun kesadaran kolektif yang lebih kuat mengenai hak dan perlindungan setiap individu.
Edukasi kepada masyarakat sangat penting untuk menciptakan pemahaman yang lebih baik mengenai kekerasan seksual dan relasi kuasa yang mendasarinya. Salah satu langkah awal adalah memberikan informasi yang jelas mengenai apa yang dimaksud dengan kekerasan seksual, agar individu dapat mengenali tanda-tanda perilaku yang merugikan mereka. Masyarakat perlu memahami bahwa kekerasan seksual tidak hanya terjadi dalam hubungan intim, tetapi bisa terjadi dalam bentuk lain, seperti pelecehan verbal, sentuhan yang tidak diinginkan, atau eksploitasi seksual dalam lingkungan kerja dan pendidikan.
Selain itu, penting bagi setiap orang untuk menyadari bahwa mereka memiliki hak untuk menolak segala bentuk kekerasan dan pelecehan, juga tidak ada alasan yang membenarkan kekerasan dalam situasi apapun. Kampanye sosial yang menekankan pentingnya kesadaran tentang relasi kuasa yang sehat dan saling menghormati dapat menjadi sarana untuk membentuk pola pikir masyarakat yang lebih peduli dan menghargai hak setiap individu. Selain itu, mendidik individu untuk melaporkan kejadian-kejadian kekerasan seksual tanpa rasa takut atau malu juga sangat penting. Untuk itu, penyediaan jalur pelaporan yang aman, tanpa ancaman atau stigma sosial, dapat membantu korban merasa lebih aman dan didukung dalam proses pelaporan. Dengan adanya pendidikan yang tepat, masyarakat akan lebih siap untuk melawan ketidaksetaraan yang ada dan mengurangi kemungkinan terjadinya kekerasan seksual di masa depan.
Pada akhirnya, kekerasan seksual yang terjadi akibat relasi kuasa adalah masalah global yang tidak bisa dianggap remeh. Baik di tingkat dunia maupun di Indonesia, fenomena ini menunjukkan bahwa ketidaksetaraan dalam relasi kuasa sering kali menjadi akar dari terjadinya kekerasan seksual. Oleh karena itu, penting bagi kita semua untuk terus berupaya mengubah relasi kuasa yang timpang dan menciptakan lingkungan yang lebih aman dan setara bagi semua. Dengan cara ini kita bisa mengurangi dan akhirnya mengakhiri kekerasan seksual dalam segala bentuknya.
Info lebih lanjut:
Andi Nurlela adalah Dosen Departemen Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Hasanuddin. Andi Nurlela dapat dihubungi melalui email di andinurlela@unhas.ac.id