Membantu penyintas kekerasan, menyokong pendidikan anak, merawat mereka yang ODGJ, Rambu Dai Mami teguh memperjuangkan kesetaraan perempuan di Sumba.
***
Hari itu pukul sembilan malam, ketika saya tiba di Kampung Tambahak, Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur. Bersama dengan teman-teman dari Hutan Itu Indonesia, organisasi non profit yang melestarikan hutan, kami berkumpul di rumah warga setempat. Kami sudah punya rencana akan menyusuri hutan adat keesokan harinya.
Mendadak, perempuan yang mengenakan kaos, berambut ikal panjang menghampiri kami. Sebuah senyuman tersungging di bibir. Tak sulit menyimpulkan betapa ramahnya perempuan ini saat menyambut kami.
“Selamat datang, saya Rambu Amy,” tuturnya, sambil mengulurkan tangan.
Kami memang belum banyak berinteraksi di pertemuan pertama. Namun, dari perkenalan singkat tersebut, saya dapat melihat, sosok yang akrab disapa Rambu Amy itu merupakan “Ibu” dari para warga kampung. Ini terlihat dari cara warga berinteraksi dengannya, termasuk anak-anak. Mereka tampak segan dengan Rambu Amy, dan mendengarkan setiap perkataannya. Asumsi saya, ia adalah pemimpin perempuan di Kampung Tambahak.
Asumsi itu tak keliru. Ternyata, Rambu Amy adalah Ketua Sabana Sumba, komunitas solidaritas yang menjaga tanah Sumba. Selain memperjuangkan tanah, mereka juga mengadvokasi hak-hak perempuan dan anak, memperjuangkan pendidikan anak-anak lewat beasiswa, hingga merawat Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ).
Dengan kata lain, Rambu Amy adalah pemimpin perempuan, yang berjuang di tengah kuatnya budaya patriarki di Sumba dan masyarakat Marapu (kepercayaan asli masyarakat Pulau Sumba). Sama seperti daerah lainnya di Indonesia, peran laki-laki di Sumba Timur memang masih dominan.
Saya pun tergugah untuk mengobrol dengannya. Di malam berikutnya, sepulang dari hutan adat, saya menghampiri Rambu Amy yang sedang bersantai di depan rumah.
“Rambu, sudah lama ya mengadvokasi bareng Sabana Sumba?” tanya saya.
“Dari 2018, tapi sejak 2006 saya sudah mulai bekerja di Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM),” jawabnya.
Rambu Amy kemudian menceritakan kepeduliannya terhadap masyarakat, terutama perempuan yang menikah di bawah umur dan sudah mengasuh anak, ataupun menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).
Mengutip Kompas.com, Komnas Perempuan pada 2008 mencatat terdapat 91 persen kasus KDRT, yang banyak terjadi karena masalah kultural, salah satunya di Sumba Timur. Menurut Hadi Supeno yang saat itu menjabat sebagai Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), kasus itu kerap terjadi lantaran terdapat adat setempat yang menganggap KDRT sebagai budaya mereka.
Itulah yang menggerakan Rambu Amy untuk mensosialisasikan Undang-undang KDRT yang diatur dalam UU Nomor 23 Tahun 2004. Ia memulainya pada 2009. Waktu itu, Rambu Amy melihat tak sedikit perempuan yang tubuhnya lebam akibat KDRT. Kekerasan itu salah satunya dilakukan laki-laki saat dalam keadaan mabuk dan kalah berjudi.
“Saya mengajak perempuan supaya berani menyuarakan apa yang dirasakan. Memang tidak harus dengan orang lain, minimal sama suami,” ujarnya. “Kalau misalnya mereka merasa enggak suka dengan perlakuannya, mereka harus berani untuk ngomong.”
Lewat sosialisasi tersebut, perempuan 40 tahun itu juga melatih kepemimpinan di gerakan perempuan penenun. Tujuannya agar mereka memahami bahwa hak dan pekerjaan perempuan tidak hanya pada urusan domestik.
Sambil menyesap secangkir kopi Sumba di tengah obrolan kami, saya bertanya bagaimana kehidupan perempuan di Sumba Timur. Rambu Amy menyebutkan, kegiatan kebanyakan dari mereka tidak lebih dari urusan kasur, sumur, dan dapur.
“Setelah bangun pagi itu mereka urus anak, memasak, buat kopi, lalu menenun. Kalau enggak menenun ya berkebun,” ceritanya.
Di kebun, kegiatan perempuan sama dengan laki-laki. Misalnya persiapan pembersihan lahan, menanam jagung jika sedang musimnya, dan menyiangi rumput. Dari sini kita bisa menggarisbawahi adanya beban ganda yang dihadapi. Perempuan membantu laki-laki dalam berkebun, tetapi mereka tidak dibantu dalam ranah domestik.
Karena itu, sosialisasi tersebut bukanlah sesuatu yang mudah. Rambu Amy harus menghadapi tantangan berupa pertentangan dari masyarakat. Para laki-laki sendiri sempat menganggap ajakannya sebagai bentuk pembangkangan terhadap suami. Menurutnya, itu dikarenakan mereka belum mengerti, tetapi kini mereka tahu itu hak perempuan.
Sementara di kalangan perempuan sendiri awalnya seperti tidak terdapat perubahan. Perkembangan itu terlihat setelah mereka sering mengikuti pertemuan, di mana Rambu Amy terus menyampaikan perempuan berhak untuk istirahat, bebas berbicara, dan tidak menjadi korban KDRT.
“Akhirnya satu per satu dari mereka berani mengungkapkan perasaan yang sudah lama ingin disampaikan,” ucap Rambu Amy. “Sekarang perempuan di desa juga semakin banyak yang terlibat dalam forum.”
Berani Menyuarakan Ketidakadilan
Selama seminggu di Sumba Timur, hampir setiap hari saya melakukan kegiatan bersama Rambu Amy. Selama itu juga figur seorang ibu, sekaligus perempuan tangguh yang memperjuangkan kesetaraan di masyarakat adat, terlihat dalam dirinya.
“Rambu Amy ini mama kita semua,” kata Adry, seorang kenalan yang merupakan relawan di Sabana Sumba.
Saya semakin mengamini ucapan Adry, ketika berkunjung ke rumah Rambu Amy di suatu sore. Di sana saya bertemu dengan Tini, seorang ODGJ yang tinggal bersama dan dirawat Rambu Amy seperti anaknya sendiri.
“Waktu itu Tini dipukul orang. Lalu, saya ajak dia ke kantor polisi untuk bikin laporan, tapi pelakunya kabur,” cerita Rambu Amy.
Keputusannya untuk merawat Tini memunculkan pertanyaan baru di kepala saya: Mengapa Rambu memutuskan untuk merawatnya secara langsung?
“Pas SMP, saya ingin masuk sekolah keperawatan,” jawabnya. “Gara-gara melihat bapak yang senang merawat orang.”
Ayah dari Rambu Amy berprofesi sebagai seorang guru, yang juga senang merawat orang. Misalnya mengobati bisul, alergi, atau luka yang terinfeksi, dengan memanfaatkan tanaman yang ada. Di tengah kebiasaan ayahnya itu, Rambu Amy senang nimbrung untuk membantu mengambilkan tanaman yang diperlukan, dan ikut mempraktekannya.
“Sejak saat itu juga, saya kepengen mengurus ODGJ. Pengennya pas udah mapan bikin rumah aman untuk mereka,” akunya. Dirinya yang saat itu masih remaja kerap melihat bagaimana ODGJ menerima diskriminasi dari masyarakat.