Pantai kampung Malaumkarta siang itu terlihat cerah. Cuaca lagi bersahabat, desiran angin laut di bawah rimbunan pepohonan terasa sejuk menerpa wajah. Di sekitar pantai belasan anak-anak tampak bermain saling lempar pasir dengan ceria.
Di bibir pantai, sejumlah orang tampak sedang menaiki perahu bermesin tunggal, yang oleh warga dikenal dengan nama longboat. Mereka sedang bersiap ke pulau sebelah yang tampak di mata terlihat sangat dekat. Namanya Pulau Um. Dengan cuaca yang bersahabat perjalanan ke pulau akan terasa santai dan perahu bisa memuat melebihi kapasitas normal.
“Kalau cuaca lagi bagus begini sekali jalan bisa sampai penuh perahu, orang bisa saling patungan ongkos agar lebih ringan,” ujar Jefri Mobalen, kepala Kampung Malaumkarta, yang ditemui Hari Minggu (31/3/2024).
Jefri masih muda, sekitar 30-an tahun, menjadi kepala kampung menggantikan ayahnya yang menjabat periode sebelumnya. Jefri juga berkecimpung di Perkumpulan Generasi Muda (PGM) Malaumakarta, yang aktif melakukan konservasi di wilayah pesisir.
Kampung Malaumkarta berada di Distrik Makbon, Kabupaten Sorong, Provinsi Papua Barat Daya, berjarak tempuh mobil sekitar satu jam dari Kota Sorong, ibukota provinsi. Sementara untuk menuju ke Pulau Um, sangatlah singkat, tak cukup 10 menit, malah mungkin 5 menit saja, karena jaraknya tak sampai satu km dari daratan pantai. Biaya sewa boat dipatok 300 ribu rupiah untuk pergi-pulang. Perahu akan menunggu sampai wisatawan menyelesaikan kunjungannya.
Pulau Um di Distrik Makbon, Kabupaten Sorong yang menakjubkan dengan pasir putih yang indah dan hutan yang terjaga. Foto : Jadesta Kemenparekraf
Pulau Um meski terlihat biasa-biasa saja, namun punya kekhasan dan nilai sejarah bagi masyarakat Malaumkarta. Di kejauhan, sebagian besar pulau tampak tertutupi pepohonan yang lebat. Hutan kecil di tengah lautan adalah hal yang istimewa.
Ketika pesisir Malaumkarta menjadi markas tentara sekutu, zaman perjuangan kemerdekaan dahulu, Pulau Um menjadi semacam tempat pengungsian bagi warga. Di sana mereka berlindung hingga kondisi aman dan kondusif kembali. Setelahnya, Pulau Um benar-benar ditinggalkan, hanya sesekali menjadi tempat beristirahat bagi nelayan, dan kini menjadi tempat wisata kebanggaan Malaumkarta.
“Di sana ada camar watching, kelelawar watching, dugong watching, diving, snorkling, pelepasan tukik,” jelas Jefri.
Menurut Jefri, tak banyak satwa yang berdiam di pulau itu, hanya ada kelelawar, camar dan mungkin beberapa ekor burung Maleo. Uniknya, kelelawar dan camar punya semacam pergantian penguasaan ruang.
“Kalau malam kelelawar keluar meninggalkan pulau, sementara camar menetap. Siangnya, giliran camar keluyuran sementara kelelawar yang menetap setelah semalaman berburu mangsa.”
Penamaan Kampung Malaumkarta, berasal dari Pulau Um. Malaumkarta sendiri berasal dari tiga suku kata yaitu: Mala yang artinya gunung atau dataran yang luas, Um sebagai nama pulau ikonik kampung dan ‘karta’ diambil dari nama ibu kota negara, Jakarta.
Saat pagi hingga sore hari, pepohonan di Pulau Um menjadi rumah kalong. Sore hingga pagi hari, burung-burung camar mengganti posisi, saat kalong terbang mencari makan. Foto: Sapariah Saturi/Mongabay Indonesia
Kampung Malaumkarta memiliki luas wilayah yang cukup besar, 15.000 hektar dan hanya didiami oleh penduduk yang beretnis Moi, dengan populasi hanya sekitar 462 jiwa, sehingga menjadi tantangan tersendiri dalam pengelolaannya.
Dengan perbandingan wilayah dengan penduduk yang sangat berbanding jauh sehingga kampung ini pun memiliki banyak wilayah tanah-tanah tidak produktif dan masih memiliki hutan yang cukup luas.
Suku Moi berasal dari suatu wilayah yang disebut Malamoi. Dalam bahasa Suku Moi, Mala berarti gunung atau daratan luas sedangkan Moi berarti halus. Gunung tersebut yang diyakini oleh beberapa ketua adat yaitu di Gunung Maladofok, yang diyakini sebagai awal mula kehidupan berasal. Dari gunung ini orang-orang Moi bermigrasi hingga Manokwari, Teminabuan, Ayamaru, dan Kepulauan Raja Ampat.
Dijelaskan Jefri bahwa Suku Moi, membagi kelompok kekerabatan berdasarkan marga, yang dikelompokkan berdasarkan garis keturunan ayah. Di Kampung Malaumkarta, terdapat 14 marga yang diakui yaitu Mubaleng, Magabio, Su, Sapisa, Salamah, Do, Malasumuk, Kelami Haginse, Kelami Masili, Kelami Tiloke, Kelami Kalagalas, Kelami Kininpilih, Ulimpa dan Kelami.
Saat ini mereka tengah berjuang untuk mengusulkan wilayah hutan yang luas tersebut sebagai hutan adat yang bertujuan untuk mencegah masuknya pengambilalihan lahan atas nama investasi baik oleh pemerintah maupun swasta.
Kelompok perempuan juga banyak terlibat dalam ekonomi kreatif memanfaatkan sumber daya alam setempat. Mereka membentuk sejumlah kelompok perempuan produktif yang memproduksi noken, yang bahannya diambil dari dalam hutan serta keripik dan sambal. Mereka mendapat dukungan pendampingan dan pendanaan dari Yayasan Konservasi Alam Nusantara (YKAN), melalui program Pendanaan Berkelanjutan untuk Penguatan Penghidupan Masyarakat. Selain di Malaumkarta, program ini juga dilaksanakan di Kampung Werur Tambrauw dan Misool Utara, Raja Ampat.
“Bersama dengan masyarakat adat di Werur mereka juga tengah menyusun rencana strategis pengelolaan wilayah masyarakat adat pasca adanya pengakuan dari pemerintah daerahnya,” ujar Irwanto, Stakeholder Engagement and Darwin Inisiative Extra FFI Ridge to Reef Project Coordinator di YKAN.
Di Malaumkarta juga memiliki kearifan lokal yang disebut egek yang setiap tahun dirayakan melalui Festival Egek, yang diinisiasi dan digerakkan generasi muda setempat, sebagai ungkapan syukur atas kelimpahan yang diberikan sang pencipta.
Egek sendiri, seperti halnya sasi di masyarakat Maluku dan sebagian Papua, adalah sebuah kearifan pengelolaan sumber daya alam dengan memberi batasan-batasan, baik dari segi luas wilayah, jenis spesies maupun waktu. Bertujuan agar kelestarian sumber daya alam tetap terjaga.
Egek bagi masyarakat Pulau Um Malaumkarta dijalankan oleh gereja, yang diperkuat dengan Peraturan Bupati Nomor 7/2017 tentang Hukum Adat dan Kearifan Lokal dan Perlindungan Sumberdaya Laut di Kampung Malaumkarta. Sumber daya perikanan yang menjadi prioritas utama sasi yaitu lobster, lola dan taripang.
Menurut Jefri, secara umum aturan larangan egek terdapat dua yaitu egek darat dan egek laut. Untuk aturan egek darat juga terdapat dua aturan yang berbeda, egek untuk tanaman dan Egek untuk sungai.
“Tanaman yang di-egek yaitu kelapa dan beberapa jenis buah-buahan, sementara egek sungai digunakan untuk larangan pengambilan segala jenis ikan yang ada di sungai yang ditandai egek. Sementara untuk egek pada laut, berupa larangan pengambilan teripang, udang lobster dan lola,” jelasnya.
Egek darat dapat dilakukan oleh individu terhadap tanaman miliknya maupun sungai, berbeda dengan egek laut yang harus dilakukan secara bersama dengan penutupan dan pembukaannya oleh ketua adat.
“Sehingga egek laut lebih bersifat komunal dibandingkan dengan egek darat yang lebih pada kepemilikan pribadi. Karena sifatnya yang lebih komunal, maka egek laut lebih diutamakan untuk kepentingan komunal,” pungkasnya.