Kesetaraan gender bukan soal lebih mendukung perempuan dibandingkan laki-laki, melainkan tentang mengakui persamaan hak, tanggung jawab, dan peluang perempuan dan laki-laki. Kesetaraan gender hanya dapat diraih jika kita bisa sama-sama mempertimbangkan kepentingan perempuan dan laki-laki serta mengakui keragaman kelompok lintas gender.
Dalam konteks pembangunan, kesetaraan gender bisa tercapai ketika perempuan dan laki-laki memiliki prospek dan peluang yang setara untuk berkontribusi di masyarakat. Menghilangkan persyaratan jenis kelamin pada suatu lowongan pekerjaan adalah salah satu contoh membuka peluang yang sama bagi laki-laki maupun perempuan.
Namun pada prakteknya, kesetaraan gender masih sulit diwujudkan karena tanpa disadari, cara berpikir dan perilaku sehari-hari kita masih bias gender. Ini menyebabkan masih kentalnya ketimpangan gender di ruang-ruang sosial, termasuk di institusi pendidikan tinggi. Padahal, Pasal 6 Undang-undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi mengamanatkan penyelenggaraan pendidikan tinggi yang non diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia.
Ketimpangan gender di pendidikan tinggi
Merujuk INASP (International Network for Advancing Science and Policy), terdapat beberapa bentuk ketimpangan gender di pendidikan tinggi yang kerap terjadi baik dari sisi mahasiswa, maupun internal perguruan tinggi sendiri. Secara global, partisipasi perempuan di pendidikan tinggi lebih rendah. Mengutip Global Gender Gap Report 2023 yang diterbitkan oleh World Economic Forum, sub indeks ketimpangan capaian pendidikan secara global adalah 95,2%. Dalam bidang studi tertentu seperti sains dan teknik, representasi mahasiswa perempuan masih kurang. Fenomena yang sama juga terjadi di Indonesia.
Memang, jika hanya dilihat dari jumlah mahasiswa yang terdaftar, data Statistik Pendidikan Tinggi (PDDIKTI) per Februari 2024 menunjukkan jumlah mahasiswa perempuan mencapai 3.250.158 orang, lebih banyak dibandingkan mahasiswa laki-laki yang sebanyak 3.099.783 orang. Mahasiswa laki-laki juga cenderung rentan drop-out karena tuntutan ekonomi yang mengharuskannya bekerja alih-alih berkuliah. Namun, di balik keunggulannya secara jumlah, persentase lulusan perempuan yang bekerja di sektor formal hanya sebesar 35,57%, lebih rendah dari laki-laki yang mencapai 43,97%, menurut data Survei Tenaga Kerja Nasional (Sakernas) 2022. Ini menunjukkan bahwa investasi dalam pendidikan tinggi belum sepenuhnya mencapai kesetaraan gender.
Sementara itu, di internal perguruan tinggi, isu yang sering muncul adalah perihal keterwakilan staf akademik perempuan, kesenjangan gender dalam jabatan yang melebar seiring dengan senioritas, dan kesenjangan dalam pendapatan. Mengutip laporan Knowledge Sector Initiative, hasil kerja sama Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) dan pemerintah Australia, jabatan penting seperti dekan, ketua, direktur, dan rektor di perguruan tinggi masih didominasi oleh laki-laki (lebih dari 50%). Staf akademik perempuan kesulitan untuk berkarir lebih tinggi karena memiliki beban ganda, bekerja di kampus sekaligus mengurus rumah tangga. Terhambatnya karir perempuan juga seringkali terjadi ketika cuti kehamilan. Mereka harus melepas jabatan yang dimiliki tanpa kepastian untuk memperolehnya kembali setelah cuti selesai.
Kesenjangan jabatan tersebut pada akhirnya berdampak pada kesenjangan pendapatan antara laki-laki dan perempuan. Hal ini dapat diperparah dengan adanya tambahan pendapatan (tunjangan) yang diasosiasikan dengan laki-laki sebagai kepala keluarga, seperti tunjangan anak dan istri. Sedikitnya jumlah staf akademik perempuan di manajemen perguruan tinggi dapat berpengaruh terhadap keputusan-keputusan strategis yang dihasilkan, salah satunya adalah dalam hal pembangunan fasilitas fisik. Padahal, fasilitas fisik yang tidak mempertimbangkan aspek gender dapat memperlebar kesenjangan antara laki-laki dan perempuan.
Mengarusutamakan fasilitas fisik sadar gender
Salah satu cara untuk mengarusutamakan gender di perguruan tinggi adalah membangun fasilitas fisik yang ramah gender. Bagaimana caranya?
Pertama-tama dengan melibatkan perempuan sejak dalam perencanaan. Dominasi staf senior laki-laki dalam pengambilan keputusan di perguruan tinggi dapat mengabaikan suara perempuan. Padahal, jumlah mahasiswa perempuan di Indonesia secara umum lebih banyak, yang artinya perempuanlah pengguna mayoritas fasilitas yang ada di perguruan tinggi. Oleh karena itu, staf perempuan perlu dilibatkan sejak tahap perencanaan atau tahap desain sebelum pembangunan fasilitas fisik dilakukan. Mahasiswa perempuan juga harus dimintai pendapatnya dalam bentuk angket atau survei.
Komitmen pimpinan perguruan tinggi juga sangat penting dalam menentukan keberhasilan pengarusutamaan gender melalui fasilitas fisik. Pimpinan perguruan tinggi dapat memberikan kebijakan strategis yang mewajibkan seluruh elemen kampus untuk lebih peduli tentang pentingnya fasilitas kampus yang berperspektif gender. Ketika pemahaman atau komitmen pimpinan perguruan tinggi masih terbatas, pemerintah pusat perlu mengambil peran untuk mendorong perencanaan pembangunan fasilitas fisik yang berperspektif gender, terutama yang bersumber dari belanja pemerintah pusat.
Selama lebih dari dua dekade, isu kesetaraan gender telah menjadi fokus utama dalam berbagai kebijakan pemerintah Indonesia. Salah satu tonggak penting dalam perjalanan ini adalah Instruksi Presiden (Inpres) Republik Indonesia Nomor 9 tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan Nasional. Pemerintah perlu lebih tegas dalam mendorong kementerian/lembaga dan pemerintah daerah untuk mengidentifikasi dan mengatasi kesenjangan antara laki-laki dan perempuan dalam memperoleh manfaat dari kebijakan dan program pembangunan, sesuai Inpres yang berlaku.
Sejak tahun 2015, pemerintah telah mengalokasikan dana dari surat berharga syariah negara (SBSN) sebagai instrumen baru untuk membangun fasilitas fisik di perguruan tinggi keagamaan Islam negeri (PTKIN) dan perguruan tinggi negeri (PTN). Dari Daftar Prioritas Proyek SBSN yang ditetapkan oleh Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas, total alokasi pendanaan SBSN untuk pendidikan tinggi dari tahun 2015-2023 mencapai Rp17 triliun, terdistribusi sebesar Rp9,6 triliun untuk 58 PTKIN dan Rp7,4 triliun untuk 52 PTN.
Foto: ANTARA/Pixabay/aa.
Dapat dibayangkan besarnya dampak yang dihasilkan jika modalitas anggaran SBSN tersebut juga dimanfaatkan untuk pengarusutamaan gender di perguruan tinggi. Caranya adalah dengan mengatur standar desain bangunan yang dapat dirujuk oleh seluruh pihak yang terkait, mulai dari perguruan tinggi sampai pelaku jasa konstruksi. Standar desain tersebut sangatlah krusial karena seringkali pimpinan perguruan tinggi menyerahkan urusan perencanaan gedung ke konsultan perencana yang belum tentu memahami desain bangunan berperspektif gender.
Beberapa tahun yang lalu Kementerian PUPR telah menerbitkan Peraturan Menteri PUPR nomor 14 tahun 2017 tentang Persyaratan Kemudahan Bangunan Gedung. Di dalamnya, telah tercantum secara rinci bagaimana prinsip desain universal agar terdapat kesetaraan penggunaan ruang. Perencanaan bangunan gedung untuk pengguna disabilitas telah sangat baik dijabarkan, tetapi aspek kesetaraan gender masih belum sepenuhnya tercakup. Sebagai contoh perbandingan luasan antara toilet laki-laki dan perempuan yang masih disamakan. Sementara, fakta di lapangan perempuan lebih sering mengantri karena ketersediaan toilet yang terbatas, dibandingkan dengan laki-laki. Desain fasilitas kampus yang berperspektif gender juga dapat diraih dengan memfokuskan perencanaan pada penciptaan lingkungan yang aman dan nyaman bagi perempuan. Tempat-tempat yang tersembunyi, kurang pencahayaan, atau terisolir sedapat mungkin diminimalisir untuk menghindari kriminalitas dan tindakan kekerasan seksual.
Untuk melengkapi pedoman teknis bangunan dari Kementerian PUPR, sesuai kewenangannya, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) dan Kementerian Agama dapat menetapkan petunjuk teknis terkait kesetaraan gender di lingkup pembelajaran dan penelitian. Muatan substansi yang diatur misalnya, bagaimana desain laboratorium praktik agar alat laboratorium dapat diakses secara adil oleh mahasiswa laki-laki dan perempuan.
Studi tahun 2023 menemukan bahwa perempuan lebih banyak mencatat daripada mengoperasikan peralatan laboratorium. Penyebabnya dapat disebabkan oleh karakteristik alat praktek yang terlalu besar atau berat, atau ukuran prasarana lain seperti kursi dan meja yang tidak nyaman untuk mayoritas perempuan. Kursi dan meja perlu dipilih dengan mempertimbangkan aspek ergonomis yang dimensi ukurannya dapat berbeda antara laki-laki dan perempuan.
Selain aspek kenyamanan, aspek keselamatan juga perlu menjadi perhatian. Pemilihan alat pelindung diri seperti helm, baju, sepatu serta perkakas praktik lain perlu mempertimbangkan data anthropometric (ukuran tubuh) laki-laki dan perempuan. Melalui langkah-langkah ini, harapannya, kesetaraan gender di perguruan tinggi dapat dicapai, sehingga tercipta lingkungan yang inklusif dan mendukung bagi semua mahasiswa, apapun gendernya.