Mau pattang, mau bosi (Walau gelap malam, walau hujan)
Mange’tonja assikola (Kami tetap pergi sekolah)
Mangetonja assikola (Kami tetap pergi sekolah)
E….. Aule
Rombele appa minang jago… (Rombongan belajar empat memang jago)
Yel-yel itu selalu digelorakan peserta sekolah adat Bowonglangit, Pattallassang, Gowa, Sulawesi Selatan, saat proses belajar mengajar dimulai.
Dan sebagai penutup, mereka lantunkan yel-yel lain:
Punna abbokomo lampaku (Jika saya telah pergi)
Ellaki rampea kodi (Jangan mengenang keburukan saya)
Rampea golla, nakuranpeki kaluku (Kenanglah saya laksana gula, dan kukenang engkau seperti kelapa)
Yel-yel itu, bukan sekadar lantunan pengantar belajar, tapi memang demikianlah faktanya. Mereka akan tetap datang untuk belajar, meski sekolah itu dibuka malam hari dan kampung Pattalassang diguyur hujan.
Seperti malam itu, puluhan warga rukun kampung (RK) Borong Parring, dusun Pattallassang, Desa Pao, Kecamatan Tombolo Pao, Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan, telah berkumpul di rumah Dussing, 56 tahun, salah satu tetua adat Pattallassang. Rumahnya dijadikan sarana belajar sekolah adat Bowonglangit.
Warga mulai berdatangan selepas shalat Isya. Padahal, malam itu, kampung Pattallassang diguyur hujan. Mereka berjalan kaki sejauh satu kilometer, menenteng payung atau daun pisang sebagai pelindung dari guyuran hujan. Lampu senter dari telepon seluler, menjadi andalan mereka untuk menghindari jalan yang rusak, berlubang, dan berlumpur. Maklum, di kampung itu belum ada lampu penerangan jalan.
Seperti tidak ada kata lelah bagi mereka. Padahal sepanjang pagi hingga sore, mereka, terutama laki-laki, bekerja di sawah dan kebun. Untuk mencapai lokasi yang jadi sumber mata pencaharian, mereka harus mendaki dengan jalan kaki sejauh dua kilometer hingga tujuh kilometer. Namun saat jadwal belajar tiba, mereka pun merelakan waktu yang bisa digunakan untuk istirahat dengan datang ke rumah Dussing.
“Dari sekolah adat Bowonglangit-lah, warga dusun Pattallassang bisa memperbaiki kehidupannya, karena sekolah ini mencerdaskan masyarakat,” kata Muhammad Saleh, 43 tahun, yang juga tetua adat warga kampung Pattallassang.
Sekolah adat Bowonglangit disebut Saleh, sebagai pembawa perubahan dan kebangkitan masyarakat adat Pattallassang dari ketertinggalan dan keterpurukan, baik ekonomi maupun pendidikan, sekaligus melepaskan diri dari stigmatisasi yang telah puluhan tahun mengungkung mereka.
Menurutnya, banyak ilmu pengetahuan yang diperoleh dari sekolah itu, selain mengenal huruf dan angka, hingga tahu membaca dan menulis, di sekolah itu, juga diperoleh pengetahuan tentang cara menggarap sawah dan kebun dengan baik, sehingga hasil panen meningkat.
“Banyak perubahan yang diperoleh dari sekolah adat ini. Kami diajarkan cara berjuang untuk hidup, cara bertani yang baik. Saya sangat bersyukur,” ujar Saleh yang digelari tuan guru.
Karena itulah, mereka selalu bersemangat dan tak kenal lelah, atau minder datang ke sekolah adat Bowonglangit, meski kerap ditertawai lantaran salah membaca atau menulis.
Stigmatisasi Orang Gunung
Yang menjadi pemantik semangat warga Pattallassang untuk belajar, adalah mengubah stigma yang telah dilabelkan kepada mereka, puluhan tahun lalu. Mereka dilabeli masyarakat terpinggirkan, miskin, tertinggal hingga buta huruf, bahkan sebut primitif. Mereka juga dikucilkan oleh warga kampung lain.
“Dulu, kami disebut orang gunung, bahkan distigmatisasi ata atau budak. Kami selalu dibilangi pa’kanre raung kacang didi,” tutur Muriati, 46 tahun, salah seorang inisiator Sekolah Adat Bowonglangit.
Arti pa’kanre raung kacang didi adalah pemakan daun kacang yang telah menguning atau tidak layak lagi dikonsumsi. Warga Pattallassang diidentikkan sebagai orang miskin, marginal, dan tertinggal.
Warga Pattallassang hidup dari bertani dan berkebun. (Project M/Andi Hajramurni)
Selain mengalami stigma, kata Muriati, mereka juga dikucilkan. “Sangat terasa saat kami ke pasar dan sekolah. Mereka mengatakan, itu orang hutan datang. Kami dianggap dari strata sosial paling rendah,” katanya.
Stigma itu, kata Saleh sangat terasa pada tahun 1970an dan 1980an. Pada tahun 1990an mulai ada perubahan, meski demikian stigma itu masih menyisakan bekas yang mendalam bagi warga Pattallassang. Mereka kehilangan rasa percaya diri, jadi minder, dan merasa tidak setara dengan warga kampung lain.
Kondisi itu membuat warga Pattallassang, sulit bangkit dari ketertinggalan, baik sektor ekonomi maupun pendidikan. Alih-alih membuka diri untuk belajar, mereka justru mengisolasi diri.
Keterpurukan warga Pattallassang dengan stigmatisasi yang merendahkan mereka, menyentil nurani Muhlis Praja, 37 tahun, warga dusun Lembang, desa Pao, kecamatan Tombolo Pao, kabupaten Gowa. Dusun Lembang bertetangga dengan Pattallassang, dipisahkan dengan sungai.
Muhlis menyaksikan sendiri perlakuan tidak adil warga dari dusun lain terhadap warga Pattallassang. “Mereka dipandang rendah, dianggap dari hutan, terpinggirkan, kaum marginal. Jika, datang ke pasar atau kampung lain, orang-orang memandangnya sinis, dan menjauhinya. Sementara, warga Pattallassang, jadi minder dan tidak berani menanggapi, apalagi melawan. Karena sering menyaksikan, saya merasa terpanggil. Hati kecil saya tidak terima,” tuturnya.
Panggilan nurani itulah, yang menuntun kaki Muhlis masuk ke kampung Pattallassang, sekitar Agustus 2009 lalu. Ia ingin mendobrak stigmatisasi yang selama ini membelenggu masyarakat Pattallassang. Membangkitkan rasa percaya diri mereka, memperbaiki kesejahteraan, serta meningkatkan harkat dan martabat mereka.
Muhlis yang saat ini menjabat ketua pengurus daerah aliansi masyarakat adat nusantara (AMAN) Gowa, Sulawesi Selatan, menyimpulkan, untuk melepaskan warga Pattallassang dari stigmatisasi, maka pendidikan mereka harus ditingkatkan. Muhlis lantas menginisiasi pendirian sekolah adat Bowonglangit. Ia mengajak Muriati, yang merupakan sarjana pertama di kampung Pattallassang, untuk bersama-sama mendirikan sekolah adat, sekaligus jadi guru pertama.
Di sekolah adat yang didirikan awal 2010 itulah, warga Pattallassang memulai kebangkitannya. “Untuk keluar dari sebuah stigma sebagai masyarakat marjinal dan terpinggirkan, maka kami harus tingkatkan pendidikan. Dan sekolah adat inilah yang mengajari kami,” kata Dussing, tetua adat yang juga sanro atau dukun di Pattallassang. Dussing merelakan rumahnya dijadikan ruang belajar sekolah adat Bowonglangit.
Muriati, sarjana strata satu pertama dari dusun Pattallassang sekaligus salah satu inisiator sekolah adat Bowonglangit. (Project M/Andi Hajramurni)
Materi awal yang dipelajari adalah bidang ekonomi, pertanian dan peternakan. “Yang pertama diajarkan bukan pengenalan huruf dan angka atau aksara, tapi kami pilih ekonomi, pertanian dan peternakan, yakni cara pengelolaan keuangan, cara penggarapan sawah dan kebun secara alami,” terang Muhlis.
Peningkatan produksi otomatis meningkatkan pula kesejahteraan dan kelayakan hidup, yang tentu saja mengangkat harkat dan martabat mereka.
Sementara, pengenalan aksara secara intens dimulai 2019 lalu. Mereka diajarkan membaca dan menulis huruf latin dan lontara serta diajar menghitung. Selain mereka juga diajari tata cara shalat dan membaca Al-Quran atau mengaji.
Sejak awal juga, mereka telah diajari menggunakan bahasa Indonesia. Sebab, rata-rata yang jadi murid sekolah adat Bowonglangit, tidak bisa berbahasa Indonesia. Sehari-hari mereka hanya berkomunikasi menggunakan bahasa lokal, yakni bahasa Konjo. Nyaris dari semua warga di sana tidak sekolah. Kalaupun sekolah, tidak tamat sekolah dasar.
Awal Mula Pendirian Sekolah
Awalnya, sekolah adat Bowonglangit dinamakan sekolah rakyat Bowonglangit. Pendirian sekolah itu butuh waktu dan proses cukup panjang dan alot.
“Butuh waktu lebih tiga bulan, untuk mendekatkan diri dan meyakinkan mereka. Mereka sangat tertutup terhadap orang luar. Rasa minder dan terpinggirkan, membuat mereka mengisolir diri,” kata Muhlis lalu menarik nafas panjang, mengenang perjuangannya.
Muhlis mendekati masyarakat Pattallassang, sejak Agustus 2009. Mula-mulai ia mendekati kelompok pemuda, kenalan satu per satu, mengajak mereka ngobrol, hingga izin numpang minum, makan, dan menginap. Setiap hari, Muhlis jalan kaki dari kampungnya ke Pattallassang, yang jaraknya lebih tiga kilometer. Perjalanan panjang itu tidak pernah membuat mengeluh karena lelah.
“Antara November-Desember 2009, baru mereka mau menerima saya. Kami mulai kumpul-kumpul dan berdialog, apa yang perlu dilakukan untuk memperbaiki kehidupan mereka dan mengubah pandangan orang luar. Awalnya dengan pemuda, lalu tokoh adat dan tokoh masyarakat,” tutur Muhlis.
Dari dialog panjang itu, akhirnya mereka sepakat mendirikan sekolah rakyat Bowonglangit. Muhlis dan Muriati yang memang sarjana pendidikan agama, jadi pengajar pertama.
“Kami bertekad mengubah stigma yang merendahkan kami, meski tidak mudah, tapi saya tidak pernah menyerah,” ucap Muriati, alumni Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Alauddin Makassar (sekarang Universitas Islam Negeri Alauddin).
Saat-saat awal sekolah itu dibuka, Muriati, nekat mendatangi rumah warga satu per satu pada malam hari, dengan jalan kaki dan mendaki seorang diri, hanya untuk mengajak mereka datang belajar.
Awalnya, sekolah rakyat itu, dibangun di rukun kampung (RK) Jahi-jahiya. Gedung sekolahnya yang terbuat dari kayu, dibangun atas swadaya masyarakat Pattallassang. Barulah pada Maret 2010 sekolah itu diresmikan.
Saat peresmian, hadir ketua pengurus wilayah AMAN Sulawesi Selatan, yang saat itu dijabat Sardi Razak. Sekolah Rakyat itu, rupanya menyita perhatian AMAN, sehingga 2011, AMAN menggandeng masyarakat Pattallassang untuk bergabung sebagai komunitas adat di bawah naungan AMAN.
Setelah bergabung dengan AMAN, Sekolah Rakyat Bowonglangit pun berganti nama jadi Sekolah Adat Bowonglangit. Tetapi, meski berubah nama, materi dan sistem pembelajaran tetap sama. Selain tempat belajar, sekolah adat itu, juga dijadikan tempat musyawarah.
Dari tahun ke tahun, sekolah itu terus berkembang, seiring dengan penambahan jumlah penduduk dan perluasan wilayah pemukiman. Karena jarak antar rumah cukup jauh, mereka lalu membangun kelompok atau rumpun keluarga.
Saat ini, sekolah adat Bowonglangit tidak hanya di RK Jahi-Jahiya, tapi juga di Borong Parring dan Bentengia. Karena jumlah muridnya bertambah, mereka pun dibagi 10 kelompok atau rombongan belajar (rombel). Yang dijadikan tempat belajar adalah rumah warga. Pesertanya adalah masyarakat usia di atas 20 tahun, laki-laki dan perempuan. Mereka selalu antusias belajar.
(Bersambung)