Stigma yang menyatakan bahwa perempuan petani tak dianggap pekerja dan hanya sebagai orang yang membantu suami di sawah itu salah kaprah. Perempuan petani justru berbeban ganda, kerja di sawah dan di rumah.
Tahukah kamu jika perempuan petani yang tiap hari kerja di sawah, figurnya banyak dilupakan?
Mereka bertani seperti lainnya, namun dianggap hanya bekerja membantu suami di sawah dan tidak diakui sebagai pekerja.
Padahal faktanya, para perempuan petani punya banyak andil dalam pekerjaan-pekerjaan di sawah. Peran mereka sangat penting untuk keberlanjutan sektor pertanian dan keberlanjutan pangan. Mereka juga memiliki kontribusi secara signifikan di dalam aspek ekonomi maupun sosial.
Dalam sektor keberlanjutan pangan, petani perempuan juga bertanggung jawab atas produksi berbagai jenis tanaman pangan seperti bahan pokok padi, jagung, gandum, ketela dan lainnya. Peran mereka juga membantu menjaga kestabilan pangan dengan menyediakan makanan untuk keluarganya. Karena mayoritas petani desa, hasil dari bertani mereka separuhnya untuk dikonsumsi sendiri memenuhi kebutuhan pangan keluarga.
Selain itu, petani perempuan sering berperan penting dalam menjaga dan melestarikan varietas tanaman tradisional yang beragam, dimana hal itu memiliki adaptasi lokal dan berkelanjutan agroekologi. Dalam pengelolaan sumber daya alam mereka juga ikut terlibat untuk merawat serta menjaga lingkungan agar tetap lestari.
Tidak jarang mereka yang ada di desa membantu menyuarakan praktik pertanian berkelanjutan seperti konsep pertanian organik, pemupukan alami dan penggunaan sumber daya yang bijaksana untuk menjaga lingkungan supaya tetap sehat. Meskipun dalam konteks tersebut biasanya yang mendapat akses pengetahuan menyoal pertanian hanya kelompok tani laki-laki.
Penyebabnya petani perempuan dianggap tidak bisa meng-handle secara utuh jenis pekerjaan lapangan. Peran mereka yang begitu penting, tetapi mereka tidak pernah mendapat akses untuk mempelajari sektor pertanian secara utuh pula. Bahkan sekedar ikut mengambil keputusan atau akses kepemimpinan dalam pertanian. Hal itu juga disebabkan karena organisasi kelompok tani di desa didominasi oleh laki-laki, bahkan jarang kelompok tani yang melibatkan petani perempuan.
Terdapat juga pemikiran seperti pekerjaan bertani yang dilakukan oleh perempuan dipandang sebagai pekerjaan sampingan, terlepas ia sebagai ibu rumah tangga yang sudah bersuami. Mereka bukan sekedar ‘penolong/membantu’ pekerjaan suami di sawah, melainkan sebagai aktor utama dalam ketahanan pangan dan ekonomi pedesaan.
Dimana pekerjaan utama mereka dalam rumah tangga adalah bertani yang mempunyai lahan yang cukup luas. Dengan begitu, kesetaraan gender dalam sektor pertanian harus menjadi tujuan yang dicapai. Supaya kita semua dapat menghormati kontribusi penting yang diberikan oleh petani perempuan dalam menjaga ketahanan pangan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat pedesaan.
Jika ditelisik lebih dekat menggunakan pendekatan teori struktural fungsional, konsep keluarga membentuk hierarki dalam pembagian tugas yang dianggap untuk mewujudkan keseimbangan sistem dalam berkeluarga. Masing-masing anggota keluarga telah dilabeli dengan tugas, tanggungjawab serta perannya masing-masing.
Pembagian peranan ini dikondisikan dengan tugas utama seperti ayah dianggap berperan dalam mencari nafkah, ibu memiliki peran sebagai pengelola rumah tangga seperti mengurus anak, memasak, membersihkan rumah, memenuhi segala keinginan anggota keluarga dan memiliki tugas lain dalam bersosial.
Ungkapan mengenai keseimbangan teori struktural fungsional ini dianggap tidak selaras dengan kemampuan perempuan secara nyata.
Dalam dunia nyata, perempuan bukanlah makhluk lemah yang hanya memiliki keterbatasan dalam pengelolaan rumah tangga. Kemampuan multitasking yang dimiliki dapat menjadikan perempuan menjadi lebih tangguh dan mampu menjalankan segala bentuk pekerjaan rumah tanpa pembatasan gender.
Peran perempuan sebagai petani juga masih diberatkan dengan stigma sosial tentang ‘fungsi’ perempuan dalam sebuah keluarga. Kata fungsi lebih cocok karena perempuan dituntut untuk menjalankan tugas yang telah melekat pada dirinya sejak dilahirkan.
Tidak ada keringanan atau toleransi untuk segala bentuk beban pekerjaan yang ditujukan untuk perempuan. Pada sistem keluarga, perempuan yang banyak diperankan oleh ibu memiliki kegiatan yang padat mulai dari bangun pagi hingga malam datang. Segala kebutuhan rumah dari kebersihan, kebutuhan makan hingga hal sosial lainnya merupakan wujud pekerjaan utama yang harus dijalankan perempuan. Tentu saja berat bagi seorang perempuan dengan peran ganda untuk bertani dalam mengelola segala kegiatan tersebut.
Perempuan juga dikenal memiliki multitasking yang mana dapat menjalankan banyak kegiatan dalam waktu yang bersamaan secara optimal, ini yang sering menjadikan perempuan harus mengerjakan banyak pekerjaan dalam satu waktu.
Sistem keluarga yang rumit tidak menjadi beban berat bagi perempuan dalam mengelola pekerjaan termasuk bertani dan berumah tangga.
Penting untuk mengubah perspektif masyarakat supaya lebih memperhatikan, menghormati dan memperhitungkan peran perempuan petani. Karena dengan demikian sebagai bentuk mendukung kesejahteraan mereka, tentu hal tersebut juga akan berkontribusi pada ketahanan pangan dan pembangunan berkelanjutan.
Artikel ini bersumber dari https://www.konde.co/2023/10/perempuan-petani-tak-pernah-dianggap-pekerja-dianggap-pembantu-suami-di-sawah.html/