Bagaimana para perempuan perantau Kajang bermigrasi ke Kota Makassar?
Selepas berhenti bekerja di pabrik, Hado memulai mengerjakan bangunan sebagai tukang plamir tembok bersama suaminya, yang juga bekerja sebagai tukang cat. Hado mendapat panggilan pekerjaan itu dari mulut ke mulut. Dari sekian ajakan dan serangkaian perkenalan. Para tetangga sesama dari Kajang, takjub dengan hasil kerja Hado. “Kadang itu juga ada temannya tetangga, bilang Hado saja panggil karena bagus caranya,” kata Hado.
Mega memegang tubuh anaknya, menyimak cerita Hado dari tadi. Mega juga tukang bangunan. “Kalau tidak kerja bangunan, kita pergi potong padi.” Mega tiba di kampung ini, pada 2017 setelah menikah dan ikut bersama suaminya merantau ke Makassar, yang bekerja sebagai petugas kebersihan.
Di kota ini, Mega belajar satu hal bahwa mencari nafkah tak pernah selalu mudah. Dia harus bekerja meski sedang mengandung. Sejak pagi hingga sore hari. “Tapi kadang tergantung maunya kepala tukang.” ungkapnya. Mega diupah 80 ribu rupiah per hari. “Mandor kadang tidak jujur, karena sudah tidak ada uang dia pegang,” Mega mengeluh.
Hado ikut bicara. “Kadang itu mandor bikin gaji kita menunggak. Kadang malah tidak ful gajinya, dipotong sama mandor.” Mega dan Hado tidak lagi jadi kuli bangunan. Mega berhenti karena mengandung anak kedua dan ingin mengasuh anak-anaknya yang masih kecil. Hado berhenti sejak tahun 2017. “Sudah tidak lagi mampu bekerja seperti itu.” kata Hado.
Foto: Ida, 31 Tahun, perempuan perantau Kajang/A. Nur Ismi/Bollo.id
Passolo’
Di lokasi proyek tempat Upa bekerja, ada Ida, seorang Ibu berusia 31 tahun. Di sini, Ida tinggal di salah satu ‘bangsal’ bersama suaminya. Sudah dua tahun, Ida telah hidup di perantauan, dari lokasi proyek satu ke proyek lainnya. “Tapi saya kadang pulang. Apalagi kalau ada acara di kampung. Pasti pulang.” kata Ida.
Ida sebetulnya sudah punya dua anak yang ia titipkan ke orang tuanya jika sedang bekerja. Selain bekerja jadi buruh bangunan, Ida juga bekerja sebagai buruh tani. “Kalau selesai musim panen, kerja begini lagi. Kalau musim menanam padi, kami baru pulang kembali ke kampung.” ungkap Ida.
Ida tak punya pilihan selain bekerja seperti ini. Ida tak punya seinci lahan untuk berkebun dan berharap menikmati hasilnya dan dia mesti membalas passolo’, sumbangan uang yang dia terima ketika menggelar hajatan.
Kata Ida kebanyakan Orang Kajang, merantau karena mencari uang passolo’, yakni uang sumbangan yang diberikan sanak keluarga ketika hajatan untuk merayakan siklus hidup dari lahir hingga pernikahan. “Itu uang passolo’, 100 ribu rupiah itu saja kurang.” ungkap Ida. “Pokoknya kalau di kampung, semua acara harus massolo, biar bukan pesta pernikahan.” tambahnya.
Ida melansir beberapa ritual adat yang menyaratkan uang sumbangan, serta rata-rata nominal rupiah yang harus dikeluarkan. “Acara Aqiqah, pesta adat kalomba, pernikahan, maddangan (peringatan 100 hari orang yang telah meninggal), mangurut (tujuh bulanan kehamilan), dan masih banyak lagi. Kalau saudara itu sekitar 10 sampai 20 juta rupiah ke atas, dan keluarga jauh minimal 200 sampai 500 ribu rupiah ke atas.” papar Ida.
Abdurrahman Abdullah, dari Forest and Society Research Group (FSRG) Universitas Hasanuddin, mengatakan mahalnya biaya ritual seringkali memaksa orang-orang yang hidup miskin untuk menggadai lahan dan pada beberapa kasus tertentu, mereka tak mampu menebusnya. Memutus akses lahan dan membuat perpindahan lahan yang luas ke segelintir orang berpunya. Para pemberi utang.
Temuan ini jamak ketika Abdurrahman meneliti di Kajang, berbulan-bulan untuk Sekolah Rakyat Petani Payo-Payo, sebuah organisasi nonpemerintah yang berfokus pada isu pedesaan dan perubahan iklim.
“Tidak adanya akses terhadap lahan ini yang bikin eksodus orang-orang Kajang jadi buruh tani di perkebunan tebu Takalar, buruh tani cengkeh di Kolaka, burun panen sawit di Kalimantan dan Malaysia, dan jadi buruh bangunan di berbagai daerah,” katanya. “Dari sini kita bisa tahu kenapa ada kelompok yang akhirnya menjadi prekariat.”
Penumpukan lahan di tangan segelintir orang menurut Abdurrahman, juga terjadi karena ada penyingkiran bagi orang-orang terhadap tanah giliran, yang semestinya dapat diakses oleh warga tak berpunya lahan. Konsentrasi kepemilikan lahan yang luas oleh segelintir orang, kelompok, atau perusahaan, kata Abdurrahman telah mengakibatkan masyarakat lokal, terutama anak muda, tidak lagi punya akses terhadap lahan.
Kondisi ini membuat mereka mencari alternatif lain demi memenuhi kebutuhan hidup, seperti “pakkampas”, sebuah tren baru di Kajang, di mana segelintir anak muda meninggalkan pertanian. “Pakkampas” adalah praktik bisnis menjual barang grosir ke pedagang eceran di berbagai daerah, menggunakan mobil bak terbuka atau tertutup. Seringkali, pakkampas menempuh perjalanan hingga menyeberangi provinsi.
Banjir, longsor, dan kekeringan, yang merupakan dampak dari perubahan iklim, juga menurut Abdurrahman telah membuat produktivitas pertanian menurun atau bahkan gagal panen. Kondisi inilah yang mendorong situasi ekonomi masyarakat yang telah lama bergantung pada pertanian, terutama bagi petani gurem yang berada di tepi jurang.
Sejak pagi, Ida bersama Upa di lokasi proyek. Ida sedang mengerjakan plesteran rumah kedua. “Saya baru mulai mengaci. Dulu itu bantu-bantu tukang mencampur pasir, ambil batu,” kata Ida sembari menempel adonan semen ke tembok.
Upa muncul dari balik rumah. “Punna pakunjomi nai’,” Upa menunjuk Ida. “Dodongmi nyahaku ku sa’ring, tala ku kullemi,” Upa mengeluh. (Kalau sudah seperti itu di atas, saya sudah merasa lelah, saya sudah tidak bisa).
Upa melanjutkan. “Injomi pangambikang, apalagi maengnga dabbung. Selalu na goyang tangan, nda ada istirahat.” (Itu lagi memanjat, apalagi saya pernah jatuh. Tangan harus selalu bergerak, tidak ada istirahat).
Ida tertawa. “Memang tidak ada istirahat kalau kerja begini.”
Pada tengah hari, Ida dan Upa mulai membersihkan diri. Menghilangkan debu semen yang menempel pada sekujur tangan dan kakinya. Upa dan Ida pamit. Mereka kembali ke bangsal masing-masing untuk istirahat siang.
(selesai)
Sumber: https://www.bollo.id/laporan-mendalam/perempuan-perantau-kajang-prekariat-dan-migrasi/