Bagaimana para perempuan perantau Kajang bermigrasi ke Kota Makassar?
Perubahan iklim, hasil tani yang menurun, bencana iklim, dan ketimpangan penguasaan lahan di Kajang telah menciptakan prekariat, yaitu suatu lapisan masyarakat yang hidup dalam ketidakpastian kerja dan penghasilan. Memicu migrasi yang telah berlangsung selama bertahun-tahun, laki-laki hingga perempuan. Migrasi itu bermuara di perkotaan. Arena berburu peruntungan. Bertaruh hidup pada remah-remah pusaran ekonomi dari tepian kota.
Makassar, sebuah kota metropolitan di Timur Indonesia telah jadi muara bagi perantau Kajang. Di sini, mereka memupuk keakraban yang erat. Membentuk kampung di sudut kota dan meringankan beban sanak keluarga di kampung asal.
Kisah tentang migrasi kali ini, datang dari para perempuan perantau yang bermukim di Kajang, sebuah wilayah administrasi di Bulukumba, meliputi berbagai desa, tradisi, adat, dan bentang alam. Para perempuan yang telah ‘membantu’ kota ini tumbuh.
‘Bangsal’ dan Katering
“Di kampung, penghasilan sama sekali tidak ada,” keluh Upa pada saya. Upa seorang ibu berusia 39 tahun. Di Dumpu, sebuah dusun di Kajang, kampung asalnya, ibu dua anak itu punya beberapa kebun. “Tapi sudah semua mi dijual,” Upa bercerita.
“Saya tanami jagung, tapi nda cukup. Hasilnya hanya berapa ton. Suami saya capek-capek kerja. Ongkos besar, sementara penghasilannya kecil,” Upa mencelupkan tangannya yang penuh debu semen ke baskom berisi air. “Rugi ki!”
Kami berjumpa pada awal Mei 2024, di sebuah kawasan proyek pembangunan perumahan subsidi, di Moncongloe, Kabupaten Maros, belasan kilometer dari pusat Kota Makassar. Di sini, Upa jadi seorang buruh bangunan, dengan upah 120 ribu rupiah per hari.
Upa telah bekerja sembilan hari saat saya menemuinya. Dia ikut dalam proyek borongan milik pamannya. Di kompleks ini, Upa tinggal di sebuah gubuk berdinding tripleks, dibangun per petak dan berderet di balik rumah-rumah batu yang sedang dibangun. Di gubuk itu para buruh beristirahat dan tidur. Para buruh menamakan gubuk-gubuk mereka itu sebagai ‘bangsal’.
Selama masa proyek, Upa tak meninggalkan tempat itu kecuali akhir pekan, hari dia akan libur dan telah mengantongi upahnya. Akhir pekan kemarin, Upa pulang ke rumahnya, di Borong, satu kelurahan terpadat di Manggala, kecamatan paling timur Kota Makassar.
Keluarga Upa menempati rumah yang sejak akhir 2020, dia bangun dari hasil seluruh kerja serabutannya dan upah per bulan suaminya sebagai supir truk sampah. Terletak di sebuah pemukiman, salah satu tempat gelombang perantauan dari Kajang bermuara.
Kota Makassar bagai magnet. Pusaran ekonomi yang berusia ratusan tahun telah merayu orang-orang dari pelosok Sulawesi Selatan, bertaruh nasib di kota ini. Setidaknya Kota Makassar telah jadi muara gelombang perantauan sejak era kolonial.
Tahun-tahun kemudian, Makassar berubah jadi kota metropolitan dan kini menyatakan dirinya sebagai “Kota Dunia”. Setiap sudut muncul kantong-kantong ekonomi, menjadi tumpuan mimpi bagi perantau.
Sebelum tahun 2000, banyak orang-orang Kajang memulai gelombang perantauan ke Kota Makassar. Bekerja sebagai kuli bangunan yang telaten dan sebagai awak truk sampah dengan gaji di bawah upah minimum kota. Mereka yang telah di Makassar mengajak sanak keluarganya datang dan mencoba peruntungan bersama. Di sini, mereka menjalin keakraban dan menempati suatu wilayah dan membentuk semacam ‘perkampungan.’ Bersebaran di pinggiran kota, tempat di mana biaya hidup tak menguras seluruh upah mereka.
Truk sampah yang berjejer di tepi jalan, di Kampung Kajang di Kelurahan Borong/A. Nur Ismi/Bollo.id
Di Borong, tempat Upa tinggal, dulunya dipenuhi sawah yang perlahan-lahan berubah jadi pemukiman padat. Upa menebus tanah yang ditempati seharga 100 juta rupiah, urunan bersama sepupunya.
Pada tahun 2000, ketika usia putra sulungnya belum genap setahun, Upa bersama suami dan anaknya merantau. Mereka mengontrak sebuah rumah di belakang Kantor Camat Panakkukang. Upa lekas bekerja sebagai tukang bangunan. Dari tukang aci tembok, cat, hingga aduk semen. Dari sebuah rumah hingga gedung yang telah berdiri di kawasan elit.
Kini, anak sulung itu telah besar. Dia menemani ayahnya menjemput sampah-sampah warga Makassar menuju tempat pembuangan akhir. Baru-baru ini Upa menggeluti usaha katering, bersama kawannya.
Pertemuan pertama kami terjadi di depan rumahnya. Upa, dengan baju terusan menenteng kantongan bahan-bahan makanan. Dia baru saja pulang dari pasar. Hari itu, Upa harus segera pergi. “Besok baru kita ketemu,” kata dia. “Saya mau pergi dulu. Teman saya sudah menunggu.”
Gapura Kampung Kajang di Kelurahan Borong/A. Nur Ismi/Bollo.id
Dari Tani, ke Pabrik, Menjadi Kuli
Sore terik, 30 April lalu, sebelum perjumpaan saya dengan Upa, saya berkunjung di sebuah kampung para perantau Kajang. Tepatnya di Kelurahan Borong, tempat Upa bermukim. Truk-truk sampah berjejal di tepi jalan. Di sebuah persimpangan saya bertemu sekelompok ibu. Saya lalu singgah dan mematikan mesin motor.
“Permisi, Bu,” saya menundukkan badan. “Mau bertanya, di mana di sini tinggal Orang Kajang?” Tanya saya.
“Saya orang Kajang,” balas seorang ibu. “Ini juga Kajang,” menunjuk ibu di sampingnya dan menunjuk ibu yang lain yang memangku anaknya. “Itu juga orang Kajang.” Tiga ibu itu bernama Rosma, Mega, dan Hadrawati.
Rosma berusia 44 tahun, seorang ibu tamatan Sekolah Menengah Atas (SMA). Dia pertama kali tiba di Borong, di tahun 1996, bersama keluarganya setelah lulus dari bangku sekolah. “Orang tua jual rumah di Kajang, lalu beli rumah di sini,” Rosma mengenang.
Ketika tiba, Borong masih lah sebuah hamparan rawa-rawa, dengan lusinan rumah yang menjulang. “Kalau banjir itu naik perahu. Pete-pete (angkutan umum di Makassar) itu belum bisa sampai di sini,” jelas Rosma.
Sedekade kemudian, sebagian rawa-rawa itu berubah jadi hamparan sawah yang kini telah menjadi pemukiman dan tanah yang lapang. Dua tahun setelah Rosma mencapai kota ini, Hadrawati merantau ke Makassar, saat umurnya masih 15 tahun, meninggalkan Maccini, kampung kelahirannya di Kajang.
Di kota ini Hado, nama sapaannya, tinggal bersama kakaknya di bilangan Jalan Andi Pangerang Pettarani. Hado mengawali kisah perantauannya dengan bekerja di Kawasan Industri Makassar (KIMA) sebagai buruh pabrik, menggantikan kakaknya yang berhenti.
Tujuh tahun, Hado bekerja sebelum akhirnya menikah bersama seorang laki-laki asal Bontonompo, Kabupaten Gowa. “Tahun 2011, saya pindah ke sini,” Hado melempar telunjuknya ke segala arah. “Waktu awal tiba di sini masih banyak sawah.” tambahnya.
“Dulu hanya enam jutaan, kita sudah dapat tanah,” tutur Hado dalam Bahasa Konjo, salah satu bahasa rumpun austronesia yang menyebar di Selatan Sulawesi.
Bertahun-tahun kemudian, kampung itu kian padat. Orang-orang sesama asal Kajang berpindah ke Borong. Berharap ikut menikmati keajaiban ekonomi sebuah kota metropolitan.
(bersambung)
Sumber: bollo.id