Kemiskinan masih menjadi isu penting dan tantangan utama dalam pembangunan Provinsi Gorontalo saat ini dan ke depan. Selain penurunan angka kemiskinan yang bergerak lambat, persentase penduduk miskin juga masih terbilang tinggi yaitu mencapai 15,58% per September 2018. Angka ini sebagian dikontribusi oleh rumah tangga miskin dengan kepala keluarga perempuan. Berdasarkan Basis Data Terpadu Provinsi Gorontalo, sedikitnya terdapat sekitar 11,15 persen rumah tangga miskin yang kepala keluarganya adalah perempuan. Artinya, setiap sembilan rumah tangga miskin di Provinsi Gorontalo, satu diantaranya adalah perempuan sebagai kepala keluarga.
Secara nasional, satu dari 10 kepala keluarga miskin adalah kepala rumah tangga perempuan, yang diperkirakan jumlahnya mencapai 1,2 – 1,5 juta jiwa dan rata–rata berpendidikan tidak tamat SD. Rasio ini tampaknya tidak statis, tetapi terus bergerak naik. Menurut data dari LSM PEKKA (Perempuan Kepala Keluarga), jumlah perempuan kepala rumah tangga di Indonesia setiap tahun meningkat sebesar 13 - 17 persen. Hal ini dipertegas oleh data dari Badan Pusat Statistik (BPS) beberapa tahun sebelumnya, yang menyebutkan bahwa 13,2 persen rumah tangga di Indonesia dikepalai oleh perempuan.
Keterkaitan antara perempuan dengan kondisi kemiskinan telah ditunjukkan oleh beberapa hasil studi sebelumnya. Disebutkan bahwa budaya patriarki secara tidak langsung telah memberikan batasan-batasan bagi perempuan dan ketidakadilan serta ketidaksetaraan turut melahirkan kedekatan identitas perempuan dengan kemiskinan. Pengalaman perempuan dan laki-laki berbeda terhadap kemiskinan, dan dibandingkan dengan laki-laki, perempuan jauh lebih tertinggal dalam mengakses sumberdaya ekonomi sebagai pintu dalam penghapusan berbagai ketidakadilan dalam masyarakat. Upaya tersebut mengisyaratkan bahwa penurunan angka kemiskinan harus bisa mendorong peningkatan partisipasi dan kesejahteraan perempuan.
Secara teoritik, ada korelasi linear antara kemiskinan perempuan dan perempuan kepala rumah tangga (Mosse, 2007). Artinya, ketika seorang perempuan hidup dalam kemiskinan dan berada dalam posisi sebagai kepala keluarga, maka dia akan semakin berperan untuk menghidupi keluarganya atau mencari nafkah bagi anggota keluarganya. Secara umum dipahami, perempuan kepala rumah tangga adalah perempuan yang memikul tanggung jawab tunggal untuk menghidupi keluarganya, sehingga dia adalah pencari nafkah utama dan juga harus memenuhi semua kebutuhan hidup anggota keluarganya.
Hasil survei lapangan yang dilakukan oleh LSM PEKKA beberapa waktu lalu juga menunjukkan fakta bahwa perempuan-perempuan yang menjadi kepala keluarga ini, antara lain: janda yang suaminya meninggal dunia, janda cerai, perempuan yang ditinggal suaminya dalam jangka waktu lama dan tidak diberi nafkah, perempuan lajang dari keluarga yang tidak mampu, dan perempuan yang suaminya sedang sakit atau cacat. Pada situasi ini, perempuan memikul beban ganda dalam rumah tangga, yakni mengurus rumah tangga dan sekaligus mencari nafkah.
Memahami dan menyelami kondisi kemiskinan mereka merupakan langkah awal untuk membantu mereka keluar dari jeratan kemiskinan. Apalagi selama ini penelitian yang secara khusus menyoroti kondisi para perempuan kepala keluarga tersebut belum banyak dilakukan. Selain itu, analisis mengenai keterkaitan antara jenis kelamin kepala keluarga dan kondisi kemiskinan, dihadapkan pada masalah terbatasnya data statistik dan adanya perdebatan mengenai definisi perempuan kepala keluarga yang sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor budaya.
Temuan Penting dan Rekomendasi Kebijakan
Penelitian yang dilakukan di Provinsi Gorontalo menujukkan bahwa secara umum, status sebagai perempuan kepala rumah tangga terjadi karena perceraian, baik karena cerai hidup maupun cerai mati. Meski proporsinya relatif kecil, terdapat perempuan kepala rumah tangga miskin yang tidak pernah menikah atau ditinggal pergi merantau oleh suaminya. Perempuan yang sudah lebih dari lima tahun menjadi kepala rumah tangga, rata-rata karena cerai mati. Mereka yang sudah lebih dari 10 tahun menjadi kepala rumah tangga karena cerai mati, rata-rata telah berusia di atas 50 tahun. Sedangkan mereka dengan status cerai hidup umumnya berada di usia kurang dari 50 tahun.
Kombinasi antara usia lanjut, tidak terdidik, dan tidak bekerja menjadi penghambat bagi upaya penanggulangan kemiskinan perempuan kepala rumah tangga miskin di Provinsi Gorontalo. Sekitar 52,4 persen perempuan kepala rumah tangga miskin berumur di atas 60 tahun, hampir 80 persen tidak pernah sekolah/tidak tamat SD/tamat SD, dan hampir sepertiga tidak mempunyai pekerjaan. Oleh karena itu, upaya yang bisa dilakukan untuk membantu mereka tampaknya harus bertumpu pada pemberian jaminan dan perlindungan sosial, seperti pemberian uang tunai, Raskin/Rastra, Jamkesmas, dan lain sebagainya. Pada saat yang sama, perlu mengantarkan berbagai bentuk layanan publik kepada mereka, seperti layanan air bersih, sanitasi.
Anggota rumah tangga yang bekerja, menjadi penopang bagi pendapatan rumah tangga. Mereka yang berada pada usia produktif, relatif lebih terdidik, dan memiliki pekerjaan, berkontribusi cukup signifikan terhadap pendapatan rumah tangga. Secara rata-rata, pendapatan anggota rumah tangga menyumbang sekitar 58,41 persen terhadap total pendapatan rumah tangga. Oleh karena itu, upaya peningkatan kapabilitas dan kapasitas seyogyanya diarahkan, bukan semata-mata kepada kepala rumah tangga, tetapi kepada anggota rumah tangga yang berada pada usia produktif. Memberi akses terhadap layanan pendidikan, layanan kesehatan, pelatihan keterampilan, bantuan peralatan dan permodalan, dan melibatkan mereka dalam pekerjaan padat karya, merupakan sejumlah bentuk intervensi yang dapat diberikan.
Mengingat proporsi terbesar dari pengeluaran rumah tangga miskin dialokasikan untuk membeli bahan makanan yang mencapai 78,25 persen dari total pengeluaran rumah tangga, maka pengendalian harga bahan makanan menjadi kebijakan yang penting untuk menjaga dan mempertahankan daya beli penduduk miskin. Pada saat yang sama, bantuan bahan makanan, seperti Raskin/Rastra, harus tetap dipastikan mampu menjangkau seluruh rumah tangga miskin tanpa kecuali.
Pelayanan publik dasar dan sumberdaya ekonomi tampaknya belum mampu menjangkau seluruh rumah tangga miskin. Akses terhadap pelayanan publik dasar, seperti pendidikan, kesehatan, air bersih, listrik, sanitasi, dan kependudukan, relatif lebih baik ketimbang akses terhadap sumberdaya ekonomi, seperti kredit mikro dan bantuan modal. Oleh karena itu, untuk memperbaiki kualitas sumberdaya manusia dan meningkatkan taraf hidup penduduk miskin, pemerintah perlu memastikan agar berbagai bentuk pelayanan publik dasar benar-benar dapat menjangkau seluruh rumah tangga miskin, dan pada saat yang sama, memfasilitasi rumah tangga miskin untuk memperoleh akses terhadap sumberdaya ekonomi, terutama bantuan modal dan kredit mikro.
Fakta lapangan menunjukkan bahwa masih ada sebagian perempuan kepala rumah tangga miskin yang luput dari pemberian bantuan pemerintah. Dari seluruh perempuan kepala rumah tangga miskin, hanya 85,5 persen yang mengaku pernah menerima bantuan dari pemerintah. Oleh karena itu, kegiatan pendataan rumah tangga miskin dan perbaikan mekanisme penyaluran bantuan menjadi dua hal penting untuk dilakukan di masa depan, agar dapat dipastikan bahwa semua perempuan kepala rumah tangga miskin benar-benar memperoleh bantuan yang seharusnya mereka terima. Selain itu, meskipun persentasenya relatif kecil, beberapa perempuan kepala rumah tangga miskin mengaku pernah memperoleh bantuan dari lembaga non-pemerintah. Lembaga non-pemerintah, termasuk dunia usaha, perlu terus didorong untuk berkontribusi terhadap upaya penanggulangan kemiskinan perempuan kepala rumah tangga miskin. Gerakan penanggulangan kemiskinan harus mampu memobilisasi semua potensi dan mengerakkkan para pihak untuk bersinergi memerangi kemiskinan.
Seperti fenomena pada umumnya, keterlibatan perempuan kepala rumah tangga miskin, baik dalam organisasi sosial maupun kegiatan sosial kemasyarakatan, tampak sangat minim. Sekitar 91,3 persen perempuan kepala rumah tangga miskin mengaku tidak pernah terlibat di organisasi sosial, dan 76,6 persen mengaku tidak pernah mengikuti kegiatan sosial. Perempuan kepala rumah tangga miskin perlu terus didorong untuk terlibat dalam kegiatan-kegiatan sosial kemasyarakatan. Ini penting, terutama untuk membangun relasi sosial yang lebih kuat agar perempuan kepala rumah tangga miskin bisa mendapatkan dukungan dan bantuan dari lingkungan sosialnya saat membutuhkan pertolongan.
Meskipun sebagian besar perempuan kepala rumah tangga miskin sudah berusia lanjut, namun mereka tetap menganggap dirinya masih bisa terlibat pada kegiatan usaha produktif. Kegiatan perdagangan dianggap pilihan usaha yang paling mungkin dikerjakan, selain karena tidak membutuhkan keterampilan khusus, juga dianggap mudah untuk dikerjakan. Selain itu, lingkungan tempat tinggal juga dianggap cukup memungkinkan untuk melakukan usaha perdagangan. Bantuan modal merupakan jenis bantuan yang paling dibutuhkan untuk merealisasikan keinginan ini.
Pendataan bagi perempuan kepala rumah tangga miskin perlu terus diperbarui secara berkala. Hasil survei lapangan menunjukkan bahwa terdapat beberapa perempuan kepala rumah tangga miskin yang memiliki pendapatan dan pengeluaran jauh di atas garis kemiskinan dengan kondisi tempat tinggal yang cukup memadai. Proporsinya mencapai 9,6 persen dari seluruh perempuan kepala rumah tangga miskin. Mereka ini seharusnya tidak lagi terkategori sebagai penduduk miskin atau rumah tangga miskin atau kelompok rentan terhadap kemiskinan, akan tetapi ternyata faktanya mereka masih tetap masuk dalam daftar Basis Data Terpadu penduduk miskin.