Banyak perempuan di Fakfak kawin muda. Tak terkecuali mereka yang orangtuanya memiliki kebun pala. Isunya bukan semata uang. Tetapi, tidak banyak keluarga yang menempatkan pendidikan sebagai pilihan untuk meningkatkan kesadaran, atau tangga menaikkan status sosial.
Setelah tamat SD, sebagian perempuan tidak melanjutkan pendidikan ke jenjang lebih tinggi. Pilihan di kampung tidak banyak. Selain bertani, berikutnya adalah menunggu waktu nikah. Alhasil, banyak yang memiliki anak di usia belia sekaligus menghadapi tugas ganda sebagai ibu rumah tangga yang mengurus segala pekerjaan domestik dan sebagai ibu dari anak-anak.
Banyak yang mengkritik peran ganda sebagai masalah tradisi. Tradisi telah menempatkan perempuan untuk urusan domestik rumah tangga dalam batas-batas diskriminasi hak dan kemampuan yang seharusnya setara laki-laki.
Repetisi dan replikasi tradisi, menimbulkan ketimpangan gender dalam berbagai struktur sosial. Terutama ruang publik, seperti lemahnya partisipasi perempuan di tingkat pengambilan keputusan bersama. Namun, tradisi budaya melekat erat dari para leluhur untuk diteruskan ke generasi berikutnya.
Mengubah tradisi tidak bisa dilakukan sekejap. Pendidikan yang diharapkan mengubah kesadaran, tidak merata. Lebih tidak merata untuk perempuan. Ketika masih usia sekolah, mereka tidak mendapat peluang setara laki-laki.
Ketika menjadi ibu rumah tangga, mereka kesulitan menjalankan peran ganda efektif karena layanan dasar seperti pelayanan kesehatan ibu dan anak dan transportasi publik tidak memadai. Transportasi publik sangat penting manakala mereka menghadapi masalah kesehatan bayi.
Dalam hal ekonomi, perempuan terlibat membantu rumah tangga, terutama pengelolaan pala pascapanen. Mereka terlibat dalam mata rantai pala yang menghubungkan dengan interaksi dagang lebih luas. Tidak hanya pada lingkup Fakfak, tetapi juga skala nasional dan global.
Perempuan dalam Mata Rantai Pala
Secara faktual, pala merupakan ekonomi yang mengandalkan perempuan. Dari biji hingga ke pengguna terakhir, perempuan adalah pelaku strategis yang menentukan produktivitas dan kualitas pala.
Meskipun tidak diberikan hak atas tanah pada kebun pala, perempuan mempunyai hak makan yang menggerakkan mereka untuk terlibat dalam ekonomi. Secara budaya, pala juga melekat pada karakter perempuan.
Baron van Hoevall pada abad ke-19, dalam catatan pribadinya, telah mengobservasi cerita rakyat bahwa pala dimitologikan sebagai manusia, seorang perempuan cantik [Turner, 2008]. Hingga kini, keyakinan itu masih nampak dalam sejumlah praktik budaya dan tutur lokal di kampung-kampung pala di Fakfak. Kebun-kebun pala saat ini sebagian besar warisan orangtua. Hanya sedikit penanaman baru. Dalam dialog di Kampung Pangwadar, para petani menuturkan, tidak ada pembagian peran tegas antara laki-laki dan perempuan dalam penanaman dan pemeliharaan pala. Semua dilakukan tanpa memandang gender. Namun ada satu pantangan yang tidak boleh dilakukan: perempuan dilarang memanjat untuk memetik pala. Peran itu domain laki-laki.
Pascapanen, perempuan atau mama-mama terlibat lebih aktif. Tahap ini merupakan bagian paling krusial dalam pengelolaan menuju koneksi pasar. Di sini tingkat kebersihan, penataan tempat penyimpanan, pengeringan, penjemuran, hingga penjualan memerlukan peran mama-mama. Peralatan pengelolaan yang digunakan masih tradisional, seperti pisau hingga tempat penyimpanan yang masih warisan tradisi.
Pengeringan pala menggunakan teknik pengasapan atau penjemuran. Perempuan terlibat berkolaborasi dengan para pria untuk memastikan fase ini berlangsung sempurna. Pengasapan menggunakan kayu bakar, namun lebih sering sabut kelapa karena hasil pengapiannya dinilai lebih baik.
Setelah pengeringan, pala dijual ke pengepul lokal, pengepul utama dan pengepul keliling. Beberapa mama terlibat penjualan karena dipercaya keluarga mereka lebih mampu menyimpan uang ketimbang lelaki. Pendapatan itu digunakan untuk keperluan rumah tangga, bayar utang di toko, dan biaya sekolah anak.
Budidaya dan Budaya Pala
Berdasarkan survei Institut Penelitian Inovasi Bumi(INOBU)-Aspirasi Kaki Abu untuk Perubahan (AKAPe) di Kampung Pangwadar, pada 35 dusun pala, luas rata-rata kebun per keluarga inti adalah 2.5 hektar. Luas terkecil 0.3 hektar, sementara terbesar 31 hektar. Petani pala usia 50-60 tahun mengatakan, dusun pala sudah ada sebelum mereka lahir.
Keluarga pemilik pala mendapatkan semua pengetahuan budidaya turun temurun. Menanam pala ibarat “mengawini” perempuan. Saat menanam, petani meminta izin kepada tanah dan para leluhur, memanjatkan doa:
“Saya tanam, saya punya hidup ada di kau, kau yang kasih makan saya sampai seumur hidup saya. Matahari naik, kau ikut naik ya…” Di Pangwadar, semua petani mengatakan mewariskan pengetahuan budidaya pala ke anak-anaknya, melalui tutor maupun mengajak langsung ke kebun. Pengetahuan tradisional merupakan perpaduan pengaruh masa lalu, informasi pedagang, petani, bahkan Pemerintah Belanda yang memberlakukan aturan ketat pemetikan pala layak panen.
Pengetahuan berputar di tengah keluarga dengan substansi yang tidak selalu sama dengan keluarga lain. Misalnya, metode menentukan jenis kelamin benih pala. Meskipun pengetahuan tradisional menganjurkan teknik penilaian visual, hasil yang ditunjukkan petani dalam satu garis keturunan cenderung memiliki kesamaan dengan petani keturunan berbeda.
Terkait tradisi, perubahan pengetahuan mendorong penggunaan teknik modern. Namun, tidak semua komunitas bisa melakukan perubahan secara cepat. Sering, perubahan dipertanyakan karena tidak sejalan dengan praktik yang lumrah, berbiaya mahal, dan minimnya plot demonstrasi yan ditunjukan ke petani.
Dinas Perkebunan setempat pernah mempromosikan teknik sambung pucuk (epicotyl grafting) di kampung Pangwadar dan kampung-kampung lain. Teknik ini 80% terbukti berhasil sebagai upaya dini menentukan jenis kelamin benih pala.
Sementara, teknik visual tradisional tidak selalu meyakinkan, harus menunggu di atas lima tahun baru bisa diketahui pohon pala jantan atau betina. Meski begitu, mereka lebih nyaman melanjutkan praktik tradisional, meski tiga petani di Pangwadar pernah mengikuti pelatihan teknik sambung pucuk.
Berikutnya, guna meningkatkan nilai tambah pala, beberapa inisiatif telah dilakukan dalam pembentukan UMKM. Melatih perempuan terampil mengelola produk pala, seperti membuat manisan, sirup, hingga sambal.
Untuk urusan ini, banyak perempuan terlibat dengan alasan membantu suami mencari penghasilan tambahan. Bila ada permintaan tambahan, mereka diminta memproduksi lebih banyak. Tantangannya adalah, UMKM bekerja layaknya buruh industri. Para mama terampil jadi pekerja, tetapi tidak dengan pasar.
Setelah bekerja beberapa tahun, mereka tidak tahu berapa sesungguhnya hasil kerjanya. Bahkan, mereka tidak paham orientasi pasar produk pala sesungguhnya. Para mama hanya diinformasikan bahwa pasar mereka kurang luas, sehingga tidak bisa memproduksi lebih banyak.
Mereka sendiri, belum memiliki pemahaman utuh mata rantai pala, mengapa organisasi perlu dibentuk, bagaimana menggerakkan organisasi secara partisipatif, mulai perencanaan, pelaksanaan, hingga evaluasi. Singkatnya, para mama tidak menggerakkan organisasi, menentukan secara sadar ke arah mana melangkah.
Artikel ini dapat dibaca pada tautan: https://www.mongabay.co.id/2019/06/29/perempuan-dalamrantai-perdagangan-pala-bagian-1/