PRESS RELEASE Talkshow Perempuan Adat
KEMITRAAN bersama Koalisi RUU Masyarakat Adat menggelar talkshow bertajuk Perempuan Adat, Diskriminasi, dan Praktik Baik yang bertujuan untuk membahas isu krusial seputar perempuan adat serta tantangan yang mereka hadapi dalam kehidupan sosial, ekonomi, dan politik. Acara ini menjadi bagian dari upaya kolektif untuk meningkatkan kesadaran masyarakat dan mendorong perlindungan serta penguatan hak-hak perempuan adat di Indonesia.
Perempuan adat memiliki peran sentral dalam menjaga kearifan lokal, termasuk dalam pertanian, konservasi hutan, serta pengelolaan sumber daya alam yang berkelanjutan. Namun, peran mereka masih sering diabaikan dan mereka menghadapi diskriminasi dalam berbagai aspek kehidupan. Berdasarkan data baseline Estungkara tahun 2022–2023 di 40 desa dari 13 kabupaten, sebagian besar perempuan adat hanya menempuh pendidikan dasar dan memiliki pendapatan di bawah juta rupiah per bulan.
Rendahnya akses terhadap pendidikan dan ekonomi membuat mereka rentan terhadap kekerasan berbasis gender serta sulit terlibat dalam pengambilan keputusan, baik dalam komunitas adat maupun di ruang publik. Selain itu, riset etnografi yang dilakukan oleh KEMITRAAN dan LAURA (UGM) menunjukkan bahwa kasus kekerasan seksual terhadap perempuan adat cenderung diselesaikan secara adat. Sayangnya, mekanisme ini sering kali tidak memberikan keadilan bagi korban, karena sanksi yang dijatuhkan kepada pelaku jarang ditegakkan secara penuh. Hal ini menunjukkan perlunya intervensi hukum yang lebih kuat dalam melindungi perempuan adat dari kekerasan dan diskriminasi.
Salah satu agenda utama dalam talkshow ini adalah mendorong pengesahan RUU Masyarakat Adat yang hingga kini masih dalam proses advokasi. Regulasi ini diharapkan dapat memberikan perlindungan hukum yang lebih kuat bagi masyarakat adat, termasuk perempuan adat, dalam mengakses hak-hak dasar mereka serta meningkatkan partisipasi mereka dalam pembangunan desa dan kebijakan publik.

Dok. Jurnal Perempuan
“RUU Masyarakat Adat bukan hanya soal pengakuan, tetapi juga soal perlindungan terhadap kelompok yang paling rentan di dalamnya, termasuk perempuan, disabilitas, anak, dan penghayat kepercayaan. Kita perlu memastikan bahwa hak-hak mereka benar-benar terlindungi dalam sistem hukum nasional, sehingga mereka tidak lagi menghadapi diskriminasi dan marjinalisasi,” ujar Moch Yasir Sani, Program Manager KEMITRAAN.
“Pengalaman perempuan adat dapat memperkuat substansi RUU Masyarakat Adat dalam memastikan pengakuan, kepastian hukum dan menjamin partisipasi Perempuan Adat secara penuh di komunitasnya. Kebijakan ini harus mampu menjawab persoalan dan kerentanan perempuan adat dilapangan. Untuk itu kami dari Koalisi Kawal berharap agar RUU MA mendapat dukungan dari kelompok perempuan, orang muda dan masyarakat luas agar proses pembahasan dan pengesahan RUU dapat dilakukan di tahun 2025,” ujar Veni, Koordinator Koalisi RUU Masyarakat Adat.
Namun, perubahan drastis dalam tata kehidupan masyarakat adat akibat perampasan lahan, alih fungsi hutan, serta tata kelola pembangunan yang tidak berpihak telah membawa dampak serius. Perempuan adat semakin rentan terhadap diskriminasi dan berbagai bentuk kekerasan, termasuk yang dibungkus dengan dalih adat dan patriarki. Hambatan terhadap akses layanan dasar, ruang, serta partisipasi publik semakin menguat, membuat perempuan adat terpinggirkan dalam keputusan yang memengaruhi kehidupan mereka.
Dalam konteks ini, Rancangan Undang-Undang Masyarakat Adat (RUU MA) menjadi instrumen krusial untuk memberikan perlindungan hukum bagi masyarakat adat, terutama perempuan adat, dari berbagai bentuk ketidakadilan struktural. Talkshow ini menegaskan bahwa perjuangan pengesahan RUU MA tidak hanya menjadi tanggung jawab koalisi advokasi, tetapi juga membutuhkan keterlibatan luas dari berbagai elemen masyarakat.
Urgensi pengesahan RUU MA menuntut strategi yang lebih sistematis. Diperlukan upaya untuk memperluas interseksionalitas isu ini agar relevan bagi lebih banyak pihak, sekaligus merancang kampanye yang lebih terstruktur dan melibatkan lebih banyak elemen masyarakat. Pengalaman dalam advokasi Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) dapat menjadi inspirasi dalam menyusun strategi yang efektif.
Rekognisi terhadap perjuangan perempuan adat bukan sekadar wacana, tetapi harus diwujudkan dalam kebijakan yang melindungi hak-hak mereka. Saatnya memastikan bahwa suara perempuan adat tidak lagi diabaikan, dan hak-hak mereka diakui serta dilindungi dalam sistem hukum nasional.
Acara ini menjadi bagian kolaborasi yang lebih luas dalam mendukung hak-hak perempuan adat dan memperkuat posisi mereka dalam struktur sosial dan kebijakan publik. Dengan sinergi antara komunitas adat, organisasi masyarakat sipil, dan pemerintah, diharapkan diskriminasi terhadap perempuan adat dapat diminimalisir dan mereka dapat berkontribusi lebih besar dalam pembangunan yang berkeadilan.
Sumber: