Perkawinan usia anak (<18 tahun) berdampak pada kehidupan sosial, ekonomi, dan kesehatan. Di samping itu perkawinan usia anak berisiko terhadap tingginya kasus kekerasan terhadap perempuan. Perkawinan usia anak juga menjadi salah satu faktor rendahnya Indeks Pembangunan Manusia (IPM) di Kabupaten Lombok Timur. Dari data BPS (Badan Pusat Statistik) IPM Lombok Timur berada di urutan kedelapan dari 10 kabupaten/kota di Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB).
Di sisi lain perkawinan anak kalau dibiarkan terus–menerus akan menghambat pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TPB) atau SDGs (Sustainable Development Goals) yang tercantum pada tujuan kelima yakni mencapai kesetaraan gender serta memberdayakan semua perempuan dan anak perempuan.
Maraknya kasus perkawinan anak di Kabupaten Lombok Timur harus dicegah, karenanya diperlukan upaya sosialisasi terus-menerus ke masyarakat. Salah satunya yang dilakukan oleh Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak dan Keluarga Berencana (DP3AKB) H. Suroto, yang melakukan sosialisasi pencegahan perkawinan anak melalui Khotbah Jumat.
Pria kelahiran Nganjuk 3 Juli 1966 ini merupakan sosok yang sederhana, mulai menjabat sebagai Kepala Badan Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana (BPPKB) dari 2014-2016, hingga BPPKB mengalami perubahan menjadi DP3AKB dari tahun 2017-sekarang.H. Suroto memiliki komitmen tinggi untuk melakukan pencegahan perkawinan anak di Kabupaten Lombok Timur.
Di sela-sela tugas dan tanggungjawabnya sebagai Kepala DP3AKB Lombok Timur, setiap Jumat H. Suroto berkeliling sebagai khatib di berbagai masjid di Lombok Timur. Karena komitmennya yang tinggi dalam pencegahan perkawinan anak, maka di setiap khotbahnya, H. Suroto mensosialisasikan penundaan perkawinan anak. H. Suroto mengajak kepada seluruh jemaah untuk ikut berperan aktif dalam memberikan sosialisasi perlindungan anak dan penundaan usia perkawinan anak ke semua keluarga dan masyarakat.
Hal lain yang disampaikan dalam khotbahnya adalah persoalan rendahnya IPM di Lombok Timur, dimana indikator rata–rata lama sekolah, umur harapan hidup dan kemampuan daya beli atau pendapatan masyarakat masih di bawah rata–rata. Menurutnya, pemerintah daerah membuat berbagai kebijakan dan mencari solusi untuk memperbaiki kondisi tersebut. H. Suroto menjelaskan, mengapa lama sekolah rendah karena banyak anak yang putus sekolah (drop out)? Mengapa putus sekolah, karena kawin di usia muda. Mengapa usia harapan hidup rendah, karena banyak bayi dan balita meninggal yang lahir dari ibu-ibu yang terlalu muda atau kawin usia anak.
Perkawinan di usia anak berdampak besar pada kemampuan daya beli, karena keluarga baru belum siap secara ekonomi. Jadi kawin di usia anak sangat berdampak besar terhadap masalah pembangunan di daerah dan Indonesia, tetapi sayangnya belum menjadi perhatian serius dari semua pihak termasuk masyarakat. Semua pihak, baik pemerintah daerah, tokoh agama, tokoh masyarakat, tokoh adat, dan berbagai organisasi harus menyuarakan dampak pekawinan anak atau perkawinan di usia muda. Pemerintah Kabupaten Lombok Timur melalui DP3AKB telah mencanangkan pemenuhan hak anak, di antaranya berupaya meningkatkan Pendewasaan Usia Perkawinan (PUP).
H. Suroto menjelaskan, salah satu strategi untuk menekan perkawinan usia anak di sekolah dan madrasah dengan melakukan advokasi dan peraturan sekolah untuk melarang siswanya melakukan perkawinan di usia sekolah. Kemudian desa maupun kelurahan didorong untuk membuat peraturan pendewasaan usia perkawinan secara bertahap. Bagi H. Suroto, setiap orang harus memikul tanggungjawab untuk mencegah perkawinan anak, karena perkawinan di usia anak hanya melahirkan generasi yang lemah, generasi yang tidak bisa diharapkan oleh agama, bangsa, dan negara.
H. Suroto juga menjelaskan bahwa, DP3AKB Lombok Timur juga melakukan kegiatan untuk mengkampanyekan pencegahan perkawinan anak, diantaranya melalui tokoh agama dan muballiq, sehingga mereka menyampaikan kepada masyarakat. DP3AKB juga membangun kerjasama dengan mahasiswa KKN (Kuliah Kerja Nyata) dan karang taruna, sehingga kegiatan-kegiatan mereka juga mensosialisasikan pencegahan perkawinan anak.
Sosialisasi stop perkawinan anak atau Pendewasaan Usia Perkawinan (PUP) di sekolah dan pondok pesantren juga dipadukan dengan pembentukan PIKR (Pusat Informasi Konseling Remaja). Kegiatan PIKR ini selain diisi oleh Kadis P3AKB juga diisi oleh kepala bidang perlindungan anak, Kasi dan petugas lapangan. Sasaran anak yang sudah mendapatkan PIKR dalam setahun jumlahnya mencapai lebih 8.000 anak.
Dalam khotbahnya, H. Suroto juga mengupas berbagai persoalan anak yang terjadi di masyarakat. H. Suroto menjelaskan bahwa kekerasan terhadap anak yang dilakukan oleh siapa pun, tidak membuat anak menjadi baik. Kekerasan hanya membuat anak-anak menjadi keras dan lari dari rumah atau lari dari sekolah. Orang tua harus belajar dan dididik untuk menjadi orang tua yang mendidik dengan menggunakan kasih sayang, bukan dengan kekerasan. Orang tua berkewajiban dan bertanggungjawab mendidik anak-anaknya, termasuk mencegah perkawinan anak.
H. Suroto menyampaikan, dilihat dari data di Kementerian Agama Kabupaten Lombok Timur dan DP3AKB Kabupaten Lombok Timur bahwa, jumlah Kepala Keluarga (KK) di Lombok Timur mencapai sekitar 400.000 dengan jumlah Pasangan Usia Subur (PUS) 285.000 yang telah mengikuti program KB mencapai 70 % dari PUS atau sekitar 190.000 dari jumlah penduduk Lombok Timur yang mencapai lebih 1,3 juta jiwa. Sekitar 30.000 ibu yang melahirkan di Lombok Timur, 26.000 di antaranya adalah ibu-ibu muda di bawah 20 tahun. Jumlah perkawinan di Lombok Timur setiap tahun mencapai sekitar 13.000, 50 % berusia muda.
Beberapa faktor penyebab mengapa masih banyaknya perkawinan muda antara lain karena faktor ekonomi keluarga, minimnya pengetahuan kesehatan reproduksi, faktor sosial budaya, dan faktor peraturan perundangan yang masih memperbolehkan kawin muda yaitu UU No 1 Tahun 1974 yaitu perempuan 16 tahun dan laki-laki 19 tahun. Ada juga anak-anak yang terpaksa dikawinkan karena terlanjur hamil, tapi ini sedikit.
H. Suroto mengemukan bahwa, dari beberapa dialog yang dilakukan di kalangan remaja dan santri banyak dari remaja mengusulkan pemerintah menetapkan peraturan baru batas kawin minimal 20 tahun, memperbanyak kegiatan anak dan remaja di semua desa yang difasilitasi pemerintah desa.
Merespon hal tersebut Pemerintah Lombok Timur melalui DP3AKB akan meningkatkan sosialisasi pendewasaan usia perkawinan ke semua sekolah dan madrasah bersama para pihak baik pemerintah desa, kelurahan, sekolah dan LSM untuk peduli terhadap Program Pendewasaan Usia Perkawinan (PUP) melalui Peraturan Desa (Perdes) dan peraturan di sekolah dan madrasah.
Disampaikan oleh H. Suroto pentingnya berbagai elemen untuk menyuarakan secara bersama – sama dampak negatif dari perkawinan usia anak. Hal ini bisa dilakukan dengan berbagai program dan kegiatan melalui kerjasama berbagai pihak yang peduli terhadap persoalan ini.
Terutama dengan satuan pendidikan termasuk dengan pemerintah desa. Salah satunya melalui sosialisasi dampak perkawinan usia anak di sekolah dan advokasi untuk melarang siswa melakukan perkawinan usia anak. Diharapkan juga desa supaya bisa membuat awiq-awiq (aturan adat di tingkat dusun atau desa) untuk melarang perkawinan usia anak sebagai bentuk perlindungan terhadap generasi penerus bangsa.
Dengan kerja keras dan semangat yang tiada henti yang dilakukan oleh H. Suroto meng- kampanyekan pencegahan perkawinan anak, telah diikuti dengan lahirnya kebijakan Bupati Lombok Timur, yang mengeluarkan surat kepada semua camat untuk mendukung Program Pendewasaan Usia Perkawinan (PUP) , perlindungan dan pemenuhan hak anak, serta mengkoordinasikan dengan Lurah dan Kepala Desa dalam bentuk program dan kegiatan yang ada di desa maupun kelurahan. Sebagai apresiasi pemerintah daerah, maka akan diberikan Penghargaan bagi Desa/Kelurahan yang berhasil menekan perkawinan usia anak.