Bagi anak perempuan, sanitasi yang layak merupakan prasyarat penting untuk memastikan partisipasi yang aman dan sehat di sekolah. Sanitasi dalam hal ini menyangkut persediaan dan fasilitas air, dan kebersihan sekolah. Penelitian UNICEF pada tahun 2015 menunjukkan bahwa satu dari enam anak perempuan di Indonesia tidak masuk sekolah saat menstruasi, seringkali karena pembalut kurang dan toilet tidak terpisah berdasarkan jenis kelamin, akibatnya siswi tidak dapat mengelola menstruasi dengan nyaman. Sebuah studi tahun 2020 yang diterbitkan oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi dengan dukungan dari UNICEF menunjukkan bahwa satu dari tiga sekolah di Indonesia tidak memiliki toilet terpisah antara laki-laki dan perempuan.
Di banyak wilayah di Indonesia, budaya patriarki masih dipegang oleh masyarakat seperti halnya juga di Papua. Hal ini menjadikan menstruasi dan perihal kesehatan reproduksi lainnya menjadi topik yang tabu dan belum terbuka untuk dibicarakan, apalagi untuk kalangan laki-laki. Adalah Demianus Dike atau yang kerap disapa Demi mampu mendobrak hal yang selama ini sulit dibicarakan di ruang terbuka menjadi salah satu materi edukasi di sekolah-sekolah Papua. Demi merupakan salah satu staf Yayasan Noken Papua, sebuah organisasi non-pemerintah lokal didirikan tahun 2013 yang berfokus pada pembangunan kesehatan dan pendidikan di Papua.
Fakta tentang membolosnya siswi di beberapa sekolah di Papua pada saat menstruasi karena fasilitas sanitasi yang tidak memadai membuat Demi prihatin dan ia bertekad untuk mengubah hal ini. Demi memahami pentingnya kesehatan dan kebersihan menstruasi serta membantu anak perempuan mengelola menstruasi dengan aman dan nyaman.
“Penting untuk menciptakan lingkungan yang nyaman bagi siswa perempuan di sekolah agar bisa mengikuti pelajaran dengan nyaman dan tenang” kata Demi.
Bagaimana Implementasi di Lapangan?
Pada salah satu sekolah yang dikunjungi Demi dan tim, mereka menemukan tidak adanya fasilitas sanitasi yang memadai bagi siswi. Sekembalinya ke kantor ia dan tim mulai mendiskusikan apa yang mereka dapat lakukan untuk membantu. Dari sini ide membuat pembalut kain tercetus. Saat itu, baik Demi maupun tim Yayasan Noken Papua belum mengetahui cara membuatnya, selain tidak punya pengetahuannya Demi juga di awal ragu dan tidak percaya diri sebagai laki-laki. Demi dan tim lalu bekerja sama dengan Biyung Indonesia, sebuah organisasi non pemerintah yang dikenal aktif mengkampanyekan isu kesehatan reproduksi melalui penggunaan pembalut kain.
Kepedulian Demi terhadap kesehatan dan kebersihan menstruasi diimplementasikan dengan mengajarkan masyarakat, siswa, guru hingga kepala sekolah tentang Manajemen Kesehatan dan Kebersihan Menstruasi (MKM). Dari sharing ilmu dengan Biyung Indonesia -khususnya dalam pembuatan pembalut kain- Demi mengajarkan guru dan siswa membuat pembalut yang bisa dipakai berulang dari kain. Kain yang digunakan adalah bahan yang tersedia di lingkungan siswa/i sendiri.
Sekolah yang menjadi dampingan Demi dan Yayasan Noken Papua berada di Kabupaten Keerom, Kabupaten Jayapura, Kabupaten Mamteng, Kabupaten Merauke dan Kota Jayapura sendiri. Diceritakan Demi, bahwa di awal memperkenalkan pembalut kain ke siswa ia menemui tantangan seperti perasaan malu, tidak percaya diri dan takut adanya penolakan dari siswa dan guru. Namun ia membulatkan tekad seraya meyakinkan diri bahwa sebagai laki-laki pun dia perlu terlibat dalam isu ini. Ia berharap anak perempuan, khususnya di Papua dapat menyadari hak mereka atas akses kesehatan dan kebersihan di sekolah terlebih saat mereka sedang menstruasi.
Mengapa pembalut kain? ide ini muncul tidak terlepas dari fakta yang ditemui di lapangan. Pada sekolah yang jauh dari kota, siswa kesulitan mengakses pembalut pabrikan karena toko jauh. Dengan pembalut kain, siswi dapat membuat sendiri. Selain itu keunggulan pembalut kain karena bisa dicuci cukup dengan sabun bayi atau sabun biasa, dapat dipakai berulang-ulang, dan aman bagi lingkungan karena tidak dibuang setelah pakai seperti pembalut pada umumnya.
Membuat pembalut kain adalah bagian dari materi Manajemen Kesehatan Menstruasi (MKM). Dalam materi ini Demi dan tim mengajarkan tentang bagaimana pengelolaan kebersihan pada saat perempuan mengalami menstruasi. Dalam prosesnya, eduksi lebih difokuskan ke siswi tapi siswa juga selalu dilibatkan. Menurut Demi, siswa laki-laki ini sangat penting dilibatkan supaya mereka memahami bagaimana cara memperlakukan teman perempuannya ketika mereka mengalami menstruasi. “Kadang laki-laki ini ketika ada teman perempuan yang menstruasi mereka mengejek. Laki-laki di sini dilibatkan sangat penting untuk memahami bahwa perempuan menstruasi itu adalah hal yang wajar” ungkap Demi. Cerita Demi, siswa laki-laki menerima materi dengan baik. Mereka sangat senang ketika kelas praktik menjahit pembalut, bahkan kadang mereka selesai menjahit lebih dulu.
Tak hanya siswa, guru juga berpartisipasi dalam pelatihan bersama-sama dengan siswanya. Mereka merasa terbantu karena menurutnya pembalut kain yang bisa dipakai berulang kali ini menjadi solusi bagi sekolah karena mudah disiapkan, lebih murah, dan ramah lingkungan.
Selain berkegiatan di sekolah, isu kesehatan reproduksi juga diadvokasi ke puskesmas dan kampung-kampung. Materi yang disampaikan diantaranya terkait kesehatan reproduksi, pencegahan dan penanggulangan kehamilan remaja, HIV-AIDS dan tentunya tidak lepas dari tema manajemen kesehatan menstruasi.
Perubahan yang terjadi
Tentunya kegiatan Demi dan Yayasan Noken Papua bersama siswa dan guru-guru di sekolah memberikan perubahan positif. Menurut Demi, dari hasil observasi dan wawancara dengan guru diketahui bahwa dari 10 peserta laki-laki 5 sudah bisa menjahit sendiri bahkan mereka sudah siapkan semua pembalut-pembalut hasil buatannya untuk sekolah. Mereka sudah paham dan berjanji tidak akan mengganggu teman perempuan yang sedang menstruasi.
Untuk siswa perempuan, mereka kini sudah merasa nyaman dengan tersedianya pembalut kain di sekolah. Terlebih lagi sekolah sudah mulai membenahi fasilitas toilet yang terpisah. “Tadinya mereka pergi karena tidak ada ketersediaan air, mereka kadang pilih bolos. Tapi setelah diedukasi, diberi pelatihan membuat pembalut kain dan mereka mulai nyaman dan dapat belajar dengan tenang meski sedang menstruasi” ungkap Demi. Secara pribadi, Demi merasa bangga ketika sekolah dampingannya mampu mengimplementasikan pengetahuan yang telah ia bagi bersama timnya.
Harapan Demi
Demi berharap semua pendidikan yang ada di tanah Papua mampu menciptakan inovasi-inovasi baru terkhusus sekolah-sekolah di kampung, utamanya terkait manajemen kesehatan menstruasi. Yang terpenting ia berharap siswa/i, guru, sekolah dan masyarakat pada umumnya mampu menghilangkan mitos dan stigma yang terus berkembang seputar menstruasi di kalangan pelajar.
Demi adalah bukti bahwa bahwa laki-laki, khususnya di Papua, dapat memahami pentingnya kesehatan dan kebersihan menstruasi serta dapat mengambil peran dalam membantu anak perempuan mengelola menstruasi dengan aman dan nyaman. Ia berharap setelah mengikuti pelatihan, siswa, guru, dan kepala sekolah dapat melakukan kegiatan Manajemen Kesehatan dan Kebersihan Menstruasi (MKM) di sekolahnya sehingga tidak ada lagi anak perempuan yang harus bolos dari sekolah saat menstruasi. Dibutuhkan lebih banyak lagi Demianus Dike lainnya yang mau terlibat dalam proses edukasi kesehatan reproduksi ini untuk pendidikan siswa/siswi di Papua yang lebih baik.
Untuk informasi lebih lanjut mengenai inisiatif ini dapat menghubungi:
Yayasan Noken Papua
Email: tongpunoken@gmail.com