Hujan baru reda. Bunga , sedari tadi berteduh, beranjak dari tempat duduk. Lelaki 40 tahun ini memegang sebilah parang untuk mengambil daun pengalas atau pembungkus nasi yang akan dimasak dalam bambu.
Sore itu, akhir November 2020. Aktivitas warga yang sedari pagi tertahan hujan, kembali berjalan. Beberapa anak terlihat membawa gerobak sapi. Mereka menuju kebun mengambil kayu bakar dan padi.
Beberapa orang tua menyiapkan lesung dan menyalakan bara api. Hari itu, akan berlangsung ritual syukuran setelah panen di Kali Molulu, sumber air bagi orang Tobelo di Wangongira, Tobelo Barat, Halmahera Utara, Maluku Utara.
Di seberang sungai, Abdon Ndatti berjalan menuju bivak, tempat penyimpanan padi (oryza sativa) yang baru dia panen sepekan lalu. “Ada sekira setengah ton padi. Sebagian sudah digunakan. Padi ini akan bagi juga pada tetangga terdekat. Kami bisa bertahan dengan padi ini selama setahun dalam sekali panen,” kata Abdon.
Padi di Wangongira itu tidak mereka perjualbelikan. Bagi mereka, kalau padi dijual, akan ada transaksi pasar-barang akan ditukar uang. Kalau padi terjual habis, mereka akan kesulitan mencari pangan pengganti dan harus dibeli dengan uang juga.
“Sudah dari dulu, orang tua kami tidak menjual padi ini,” kata Abdon, mantan Kepala Desa Wangongira.
Dalam legenda orang Tobelo, katanya, dulu kala, ada seorang perempuan ke kebun mengambil padi ladang dengan saloi (keranjang gendong, terbuat dari anyaman bambu). Saat pulang, perempuan ini melewati Kali Molulu. Naas, perempuan tersungkur, jatuh ke kali. Padi yang dia bawa pun tumpah ke sungai.
Dari kisah itu, warga Wangongira percaya, padi yang tumbuh di dalam Sungai Molulu, asal mula cerita dari perempuan itu. Hingga kini, Kali Molulu jadi tempat keramat—dan memberikan mereka sumber kehidupan. Selain itu, padi yang tumbuh di Kali Molulu juga menjadi kalender alam bagi warga di sana.
“Jika padi di dalam sungai berbuah, itu petanda panen telah tiba. Jika padi di sungai itu rusak dimakan hama, berarti padi ladang dan tanaman lain di daratan juga rusak dimakan hama,” kata Abdon. Hal ini sudah jadi kepercayaan sedari dulu.
Abdon cerita, awalnya, orang Tobelo di Wangongira hidup di Telaga Lina, tak jauh dari Wangongira, sekitar empat sampai lima kilometer ke arah hutan. Beberapa sumber sejarah menyebutkan, asal mula orang Tobelo bermukim di Telaga Lina, lalu menyebar ke penjuru Halmahera bagian Utara, Tengah, hingga Timur. Pada tahun 70 hingga 80-an, sebuah gereja protestan masuk untuk mengagamakan Orang Tobelo dari Telaga Lina. “Saat itu, sekira tiga rumah (dihuni oleh orang Tobelo) di Wangongira,” kata Abdon. Baru pada 1986, mulai ada tujuh rumah orang Tobelo. Hingga 1988, semua orang Tobelo di Wangongira, sudah beragama Kristen.
Tahun 2002 dan 2003, kata Abdon, program pemerintah terus masuk memukimkan Orang Tobelo. Saat itu, katanya, mereka, pemerintah ingin mengeluarkan orang Tobelo dari Telaga Lina ke Desa Tobe atau Telaga Paca, yang sudah dekat dengan akses jalan dan perkampungan.
Roem Topatimasang dalam Orang-orang Kalah, Kisah Penyingkiran Masyarakat Adat Kepulauan Maluku (2004) menyebutkan, program pemukiman kembali, mulai dilaksanakan besar-besaran dan sistematis oleh pemerintah Indonesia sejak 1960-an. Pemukiman kembali orang-orang Tobelo Dalam di Halmahera juga didasari stereotip tentang kelompok masyarakat tradisional sebagai suku-suku terasing, terbelakang, primitif, dan animis.
Sejak tahun 1970-an, Pemerintah Indonesia sudah berupaya merelokasi orang Tobelo dari dalam hutan ke perkampungan, menetap melalui program resettlement. Para orangtua, kata Abdon, menolak. Mereka menghargai arahan pemerintah, namun tak ingin meninggalkan sejarah dan menjaga sumber air. Dari situlah, para orang tua memilih keluar dari Telaga Lina dan menetap di Wangongira saja. “Balubaluhu nangoka dau. Kayoluku yohupu o’berera mahu moa ika. Mahe babu ona imatumu mangale o’akere. To ona manga wawango o’akere genanga. Orang tua di sini tidak mau keluar karena mereka pertahankan sumber air sebagai kehidupan. Kami tinggal di sini (Wangongira) saja. Karena ada sumber air untuk kehidupan,” kata Abdon.
Kini, ada sekitar 139 keluarga atau 567 jiwa bermukim di Wangongira. Amatan di lapangan, hanya sedikit warga asli dari Telaga Lina yang bermukim. Sebagian Suku Tobelo dari Halmahera bagian barat, bahkan ada beberapa warga dari luar Maluku Utara, yang tinggal dan menikah dengan warga tempatan.
Dia bilang, warga asli yang tinggal di Wangongira adalah marga (fam) Gaza. Sebagian masih bertahan di Telaga Lina-hidup di belantara sekitar. Beberapa penelitian belum bisa mengidentifikasi secara pasti, jumlah orang Tobelo yang masih nomaden di belantara-hutan Halmahera.
Abdon memang Suku Tobelo, namun berasal dari Halmahera bagian barat. Ayahnya, dahulu seorang pendeta, yang mengajarkan orang Tobelo di Wangongira mengenal agama Kristen. Abdon pun diasuh sejak kecil oleh Lukas Gaza dan Yohana Mongor, orang asli dari Telaga Lina juga bermukim di Wangongira.
Lukas, ketika ditemui, bercerita menggunakan Bahasa Tobelo. Katanya, sebelum mengenal agama samawi, mereka masih hidup di atas pohon, selain bivak.
“Saat itu, karena orang Jepang sering masuk ke sini, kami lalu bersembunyi, tinggal di atas pohon agar tidak terlihat oleh orang Jepang,” katanya.
Kali Molulu Tak Seperti Dulu
Orang Tobelo di Wangongira, menyadari, sumber air di Kali Molulu sedang terancam. Kualitas air sudah tidak seperti dulu lagi. Abdon mengatakan, sebelumnya, satu perusahaan air kemasan pernah masuk ke Wangongira, untuk memanfaatkan sumber air di Kali Molulu.
“Bahkan, mereka memasang pipa saluran air tanpa izin warga maupun pemerintah desa. Lalu, saya perintahkan warga untuk bongkar pipa itu,” katanya.
Setelah warga menolak kehadiran perusahaan, ada dinas dari Pemerintah Maluku Utara datang. Menawarkan agar air dikelola mereka. Dibuatlah bronjong. Dampaknya, kata Abdon, air di sekitar Kali Molulu tak mengalir seperti biasa, padi yang tumbuh di dalam kali pun perlahan hilang.
“Dulu, sebelum ada bronjong, padi sangat banyak tumbuh di Kali Molulu. Sekarang tidak. Padi tumbuh di sungai di sana (sungai di seberang Kali Molulu).”
Bahkan, kata Abdon, warga biasa mengambil sumber air minum di sungai itu. Mereka mengonsumsi air itu tanpa dimasak. “Sekarang, kalau minum air dari Kali Molulu, harus dimasak dulu. Rasanya sudah beda dan sudah banyak lumut di Kali Molulu setelah ada bendungan dan bronjong,” katanya. “Pada saat dorang (mereka/pemerintah) buat ini (bronjong) ada perjanjian sebelum air ini dikelola keluar di kabupaten, warga di sini harus menikmati air ini,” katanya.
Maksud Abdon, dengan perjanjian itu pemerintah mengelola air agar bisa mengalir ke rumah-rumah warga. Sekarang, pemerintah hanya membuat tiga bak penampungan air di permukiman untuk warga mencuci atau mandi.
Asal mula Suku Tobelo
Irfan Ahmad, Dosen Ilmu Sejarah Universitas Khairun Ternate mengatakan, berdasarkan catatan Leirissa (1990), sejak orang Tobelo bersekutu dengan Kesultanan Ternate dan mengakui pemerintahan Kolonial Belanda pada Abad XVII, orang Tobelo dibagi menjadi dua komunitas yakni, Tobelo Tia atau Tobelo Pedalaman. Tobelo pedalaman, bermata pencarian utama sebagai petani dan Tobelo Tai atau Tobelo Laut yang bermata pencarian sebagai nelayan.
“Pembagian (komunitas) ini dilakukan oleh Kolonial Belanda, untuk mengetahui dan membedakan penduduk Tobelo yang sudah keluar dan hidup di pesisir pantai,” katanya.
Sebagian cerita rakyat juga menyebutkan, orang Tobelo yang tinggal di hutan itu lari dari blasting atau sistem pajak oleh Pemerintah Kolonial Belanda. Sejumlah literatur dan cerita rakyat juga menyebutkan, Suku Tobelo, yang merupakan etnis terbesar di Pulau Halmahera berasal dari Telaga Lina, Halmahera bagian utara. Sebelum menyebar luas ke Halmahera bagian tengah, timur, hingga Halmahera bagian barat.
Awalnya, kata Irfan, di Telaga Lina, mereka membentuk empat kelompok yang disebut Hoana—satuan pemukiman (bisa disebut kampung). Empat Hoana Suku Tobelo yakni Hoana Lina, Hoana Mumulati, Hoana Huboto, dan Hoana Gura. Para Hoana ini diidentikkan dengan roh leluhur masing-masing. Dari empat Hoana di Telaga Lina itu kemudian menyebar keluar. Ada yang ke Tobelo, ke Kao, dan Galela.
Jesaya Banari, dalam bukunya bertajuk Mencari yang Pernah Ada (2014) menyebutkan, dari empat Hoana itu kemudian menjadi sepuluh Honana yang tersebar di Halmahera bagian utara. Kesepuluh Hoana itu disebut pula dengan Hoana Ngimoi yakni: Hoana Lina, Hoana Huboto, Hoana Mumulati, Hoana Gura, Hoana Modole, Hoana Pagu, Hoana Boeng, Hoana Towiliko, Hoana Morodina, dan Hoana Morodai. Sepuluh Hoana itu pun berkumpul menjadi satu wadah yang disebut Hibualamo atau Rumah Besar.
Para peneliti luar menyebut orang Tobelo yang masih menetap—hidup di dalam hutan dengan sebutan Forest Tobelo atau O’Hongana Manyawa, artinya orang yang hidup di dalam hutan. Syaiful Madjid, Dosen Universitas Muhammadiyah Maluku Utara, dalam penelitiannya mengklasifikasi Suku Tobelo menjadi dua, yakni O’Hongana Manyawa (Orang Tobelo yang tinggal di hutan) dan O’Hoberera Manyawa (Orang Tobelo yang tinggal di pesisir). Hal ini, berdasarkan klasifikasi orang Tobelo yang masih tinggal di dalam hutan.
Sedang kata Togutil, katanya, adalah penyebutan orang luar terhadap orang Tobelo yang masih tinggal di dalam hutan. “Sebenarnya, mereka, O’Hongana Manyawa juga tidak menyebut mereka Togutil.” Seiring waktu, penyebutan Togutil pun melekat pada mereka. Sayangnya, penyebutan kata Togutil berkembang menjadi sebuah stereotip-bermakna konotatif, juga disebut oleh orang Tobelo Luar kepada orang Tobelo Dalam, untuk membedakan diri.
"Tapi, ada kata O’Tau Gutili yang artinya rumah obat/ tempat orang Tobelo melakukan proses pengobatan,” katanya. Syaiful bilang, dari hasil penelitian itu terlihat, O’Hongana Manyawa sudah membagi wilayah mereka. Ada hutan produksi, konsumsi, bahkan hutan lindung. Pembagian itu, katanya, sebelum pemerintah Indonesia memetakan hutan lindung bahkan hutan produksi, seperti taman nasional.
Satu contoh, katanya, Raki Ma’amoko adalah Dusun Raja atau kebun besar yang dikuasai satu marga namun proses panen bisa untuk semua orang. Umumnya, Raki Maamoko terdapat sagu (Metroxylon sagu) dan pohon langsat (Lansium domesticum).
Radios Simanjuntak, Dosen Universitas Halmahera, dalam penelitiannya menyebutkan, O’Hongana Manyawa mengenal sistem kesatuan pemukiman dan wilayah. Pertama, kesatuan rumah. Bentuk pemukiman atau tempat tinggal terkecil bagi masyarakat O’Hongana Manyawa adalah kesatuan rumah (O’tau) yang dihuni satu keluarga inti yang disebut dengan O’tau Moi Manyawa (orang satu rumah). Ia dipimpin seorang kepala keluarga laki-laki.
Kedua, kesatuan pemukiman. O’Hongana Manyawa bermukim membentuk suatu kelompok kecil yang disebut dengan O’Gogere (pemukiman). Kesatuan pemukiman biasa terdiri dari dua sampai tujuh kesatuan rumah.
Ketiga, kesatuan hutan. O’Hongana Manyawa, katanya, membatasi lokasi tinggal mereka dengan kesatuan hutan (O’Hongana) sebagai tempat tinggal. Di Wangongira, kata Radios, juga punya kesatuan hutan, yang harus dihormati oleh warga. Kesatuan ini dibatasi sungai atau bentang alam tertentu. Saat berburu, masyarakat tidak boleh melewati Sungai Magaro yang menjadi pembatas dengan kesatuan hutan masyarakat Kao atau melewati perbukitan yang menjadi batas dengan hutan Ibu (nama wilayah).
“Jika satwa buruan lari melampaui batas wilayah, si pemburu harus merelakan. Pelanggaran terhadap kesatuan hutan ini dapat menyebabkan pertikaian dengan kelompok yang menguasai wilayah hutan yang dimasuki,” tulis Radios.
Pangan dan obat-obatan
Radios, juga peneliti Etnobotani Masyarakat O’Hongana Manyawa Sub Etnis Tobelo, di Desa Wangongira, menyebutkan, masyarakat O’Hongana Manyawa memanfaatkan 153 spesies dari 54 famili tumbuhan yang dapat dikelompokkan dalam 12 tipe pemanfaatan.
“Tipe pemanfaatan terbesar adalah untuk obat-obatan dan pangan yang mengindikasikan kemandirian masyarakat pada bidang kesehatan dan pangan.”
Pemanfaatan bagian tumbuhan terbesar berasal dari buah, diikuti batang dan daun. Untuk tumbuhan terbanyak yang dimanfaatkan adalah pohon, diikuti oleh herba, liana, dan perdu. “Sebagian besar tumbuhan yang dimanfaatkan merupakan tumbuhan liar dari habitat hutan,” tulis Radios, dalam penelitiannya.
Dia menuliskan, dari 153 spesies tumbuhan yang berasal dari 54 famili, terbanyak dimanfaatkan oleh O’Hongana Manyewa di Wangonira adalah spesies Arecaceae, Poaceae, Moraceae, dan Fabaceae.
Famili Arecaceae disebut juga dengan kerabat palem-paleman dengan batang yang tumbuh tegak ke atas tanpa cabang. Beberapa anggota famili ini setengah merambat misal, rotan. Batang beruas dan tidak memiliki kambium sejati.
Radios bilang, padi ladang yang dipanen masyarakat Wangongira, sekali panen dalam setahun itu, juga ritual doa bersama yang dipusatkan di sekitar mata air Kali Molulu.
Secara kuantitas saat ini, warga Wagongira konsumsi padi lebih tinggi dibandingkan sagu, masa lalu merupakan hal sebaliknya. “Ini mungkin dipengaruhi inkulturasi atau pencampuran budaya dengan para pendatang yang lebih mengutamakan konsumsi nasi dibandingkan sagu.” Berdasarkan observasi, sebut Radios, pemerintah juga sering menyalurkan beras murah (raskin) kepada masyarakat Desa Wangongira seharga 3 ribu rupiah per kilogram. Selain untuk kebutuhan makanan utama dan ritual, padi juga sumber pakan bagi ternak masyarakat terutama yang diperoleh dari dedak.
Roem Topatimasang, pada catatan kaki, dalam Orang-Orang Kalah, Kisah Penyingkiran Masyarakat Kepulauan Maluku (2004) menyebutkan, dari beberapa legenda yang dikisahkan narasumber lokal, padi huma di daerah Orang Sahu, diduga berasal dari dataran tinggi Wangongira di tepi Danau Lina.
“Berdasarkan legenda dan fakta bahwa salah satu unsur pakaian adat orang Tobelo penduduk asli Wangongira dan Telaga Lina (bahkan di seluruh wilayah Tobelo) adalah selendang sarung Mandar. Diduga padi huma itu mungkin berasal dari kontak-kontak pertama penduduk asli setempat dengan para pedagang Bugis-Makassar dan Mandar yang membawa beras dan benih padi ke daerah itu sejak abad-15,” tulis Roem.
Maria, O’Hongana Manyawa, kini tinggal di pemukiman program pemerintah, di Desa Tutuling, Wasile Timur, Halmahera Timur mengatakan, pada tahun 90-an, menikah dengan pria O’Hongana Manyawa bernama Mei. Dalam perkawinan mereka, ada upacara adat untuk pria memberikan beberapa perlengkapan untuk pengantin perempuan. Salah satu alat-alat yang diberikan adalah kain Mandar.
“Saya masih simpan kain Mandar pemberian suami saya. Itu mas kawin kami,” kata Maria. Meski dia tak tahu Mandar itu di daerah mana. Selain menjaga pangan di Wangongira, di Halmahera bagian utara, Suku Tobelo juga menyebar di Halmahera bagian timur pun membuat Raki Ma’amoko—Dusun Raja, yang menjadi sumber pangan mereka.
Menurut Orang Tobelo Dodaga di Wasile, Halmahera Timur, sumber pangan yang disebut Dusun Raja mereka berada di Kali Meja, tepatnya di tengah-tengah daerah transmigrasi antara Satuan Pemukiman 3 dan Satuan Pemukiman 4.
Dimono atau tetua adat Madiki Higinik bilang, di Kali Meja itu ada dua Raki Ma’amoko, yakni sagu dan buah langsat. “Di situ sumber sagu dan buah langsat. Semua bisa panen bersama di situ,” kata Madiki.
]Dia bilang, sejak transmigrasi masuk, sebagian besar Dusun Raja Langsat tergusur untuk membangun Satuan Pemukiman 4. Menurut Kasiang, Tetua Suku Tobelo yang tinggal di Dusun Tukur-Tukur mengatakan, daerah transmigran dulu hutan lebat. Dusun Raja Langsat dan Dusun Raja Sagu adalah sumber kebun makanan yang harus dirawat bersama-sama untuk jaminan hidup sampai anak-cucu. Semua orang, katanya, bisa datang memanen langsat dan sagu untuk pemenuhan kebutuhan di rumah. Mereka, katanya, selalu bergotong-royong menjaga kebersihan Dusun Raja itu.
“Orang dari Maba, Buli bisa datang di Dusun Raja untuk ambil sagu dan langsat,” kata Kasiang. Pemilik Dusun Raja Langsa adalah kakek dari almarhum Lopa-lopa, warga sekitar. Saat ini, di Kali Meja, hanya ada tiga keluarga marga Bidos. Mereka yang masih memanfaatkan sagu untuk sumber pangan sehari-hari. “Jadi, kalau orang Tobelo dari Teluk Kao dan Orang Abdon sudah menyiapkan padi. Beberapa orang tua memasukkan padi ke lesung untuk ditumbuk. Ada Nenek Yohana Mongor bersama seorang ibu bersiap dengan memegang sosiru—alat untuk memisahkan sekam padi dengan beras.
Tak lama, beras mereka masukkan ke bambu kemudian dibakar. Aroma khas padi yang menjadi nasi pun terasa.
Kala senja, sesajian pun sudah siap. Abdon, para orang tua, dan beberapa orang muda menenteng sesajian menuju Kali Molulu. Di sana, Abdon memimpin doa dan puji-pujian kepada leluhur, menggunakan Bahasa Tobelo.
Roem Topatimasang dalam Orang-orang Kalah, Kisah Penyingkiran Masyarakat Adat Kepulauan Maluku (2004) menyebutkan, program pemukiman kembali, mulai dilaksanakan besar-besaran dan sistematis oleh pemerintah Indonesia sejak 1960-an. Pemukiman kembali orang-orang Tobelo Dalam di Halmahera juga didasari stereotip tentang kelompok masyarakat tradisional sebagai suku-suku terasing, terbelakang, primitif, dan animis.
Sejak tahun 1970-an, Pemerintah Indonesia sudah berupaya merelokasi orang Tobelo dari dalam hutan ke perkampungan, menetap melalui program resettlement. Para orang tua, menolak. Mereka menghargai arahan pemerintah, namun tak ingin meninggalkan sejarah dan menjaga sumber air. Dari situlah, para orang tua memilih keluar dari Telaga Lina dan menetap di Wangongira saja.
Syaiful Madjid, Dosen Universitas Muhammadiyah Maluku Utara, dalam penelitiannya mengklasifikasi Suku Tobelo menjadi dua, yakni O’Hongana Manyawa (Orang Tobelo yang tinggal di hutan) dan O’Hoberera Manyawa (Orang Tobelo yang tinggal di pesisir). Kata Togutil, adalah penyebutan orang luar terhadap orang Tobelo yang masih tinggal di dalam hutan.
Radios Simanjuntak, peneliti Etnobotani Masyarakat O’Hongana Manyawa Sub Etnis Tobelo, di Desa Wangongira, menyebutkan, masyarakat O’Hongana Manyawa memanfaatkan 153 spesies dari 54 famili tumbuhan yang dapat dikelompokkan dalam 12 tipe pemanfaatan. Tipe pemanfaatan terbesar untuk obat-obatan dan pangan yang mengindikasikan kemandirian masyarakat pada bidang kesehatan dan pangan.
Artikel bersumber dari website Mongabay Indonesia pada link https://www.mongabay.co.id/2020/12/19/orang-tobelo-benteng-terakhir-hutan-halmahera