Di kaki gunung Kelimutu, yang berdiri kokoh di tanah Ende, Flores Timur, NTT terdapat sebuah desa kecil yang kaya akan potensi dan keunggulan. Kaya akan sumber daya alam pun dengan sumber daya manusianya. Desa tersebut bernama Detusoko. Sebuah desa yang beberapa tahun terakhir ini giat mengembangkan diri sebagai desa wisata.
Adalah Ferdinandus Watu atau yang akrab disapa Nando seorang anak muda desa dengan mimpi besar yang berhasil mengantar desanya menjadi salah satu desa maju yang semakin dikenal. Nando bersama Remaja Mandiri Community (RMC) yang dibentuknya melakukan kerja-kerja pembangunan yang dimulai dengan pengembangan kapasitas anak muda desa sebagai aset penggerak pembangunan kampung.
RMC merupakan komunitas yang bertumpu dan digerakkan oleh kaum muda. RMC memanggil kaum muda Detusoko untuk kembali ke kampung. Komunitas ini membangun kesadaran untuk mengenal lebih jauh potensi desa. Selanjutnya bersama-sama belajar mengolah produk-produk lokal. Termasuk pula menyentuh pariwisata dan kekayaan budaya setempat. Karena itu RMC mengedepankan konsep ecotourism yang berbasis kearifan lokal, pertanian dan kewirausahaan berkelanjutan.
Sebagai anak petani yang dibesarkan di desa, pengalaman mengubah motivasi dan cara pandang Nando. Pengalaman dan interaksinya dengan komunitas lokal dan internasional membuatnya menemukan makna bahwa pembangunan berkelanjutan berakar pada perspektif orang-orang lokal atau yang Nando sebut The Future we want is indigenous perspective and action. Bahwa cara pandang orang lokal adalah domain masa depan kita. Ia pun menyadari bahwa pembangunan berkelanjutan juga diarahkan pada pembangunan yang ramah lingkungan.
Nando pada sebuah kesempatan berkenalan dan berinteraksi dengan komunitas pangan lokal. Bersama Maria Loretha -salah satu pegiat pangan lokal di Flores- ia menghidupkan kembali pangan lokal. Ia diperkenalkan dengan Yayasan KEHATI. Bersama Yayasan KEHATI, ia ikut serta pada kunjungan ke India Selatan tepatnya di Megalaya konferensi internasional, kegiatan yang mengusung gerakan Slow Food. Di sana ia bertemu dan berinteraksi dengan banyak pemuda-pemudi dari seluruh dunia. Melalui interaksinya itu ia menyadari bahwa secara global pembangunan berkelanjutan adalah pembangunan ramah lingkungan. “Menurut saya SDGs rohnya ada di desa karena cara pandang orang desa jauh lebih holistik”. Banyak kearifan lokal di desa yang belum digali dengan maksimal. “Bicara pangan bicara tentang identitas”. Ini kemudian yang menggerakkan Nando. Banyak pemuda-pemudi Flores yang memilih merantau ke Jawa dan Bali. “Di kampung halaman, orang berpendidikan hilang. Energi pendidikan semua keluar. Desa butuh kehadiran kita, kehadiran pemuda” ungkapnya.
Kondisi Sosial Ekonomi Detusoko
Sebanyak 90 persen warga desa Detusoko adalah petani. Desa ini terdiri dari 213 KK. Detusoko menjadi trans, persinggahan wisatawan yang hendak menuju gunung Kelimutu. Hal ini dipandang sebagai sebuah peluang strategis karena wisatawan selalu melewati desa Detusoko. Detusoko mempunyai banyak potensi seperti padi, kakao, kopi dan banyak lagi lainnya. Tapi yang jadi persoalan selama ini adalah warga tidak tahu mau dijual kemana potensi ini, biasanya hanya dijual ke pasar, seperti diketahui ada permainan harga oleh tengkulak.
Ketika berbicara tentang lapangan pekerjaan, orientasi anak muda sebelumnya masih sebatas menjadi PNS. Mereka beranggapan jika bersekolah maka harus kerja di kantor. Selain itu komitmen dan motivasi anak muda desa lebih banyak ingin mencari pekerjaan di luar padahal menurut Nando di kampung sendiri banyak potensi yang belum dimanfaatkan. Kondisi ini kemudian menjadi panggilan baginya sebagai generasi penerus.
Tantangan Bagaimana Meyakinkan Warga Desa
Status sosial di Flores terutama di Ende masih sangat terpengaruh dari seberapa didengarnya kita. Tidak peduli setinggi apa pendidikannya. Cara pandang menggerakkan massa sering kali dianggap ada agenda khusus dibaliknya misalnya cari dana atau dukungan. Tantangan lainnya adalah warga desa selalu menuntut bukti, hasil dari kerja-kerja yang sudah dilakukan. Ketika ada hasil nyata maka ini akan menjadi alat ukur atau alat advokasi yang kuat. Cara yang ditempuh Nando mengatasi tantangan ini adalah dengan meningkatkan energi positif dari dalam diri, berani untuk memulai, dan seiring waktu proses pembelajaran pun terjadi.
Cara Mnggerakkan Warga untuk Bergabung dalam Remaja Mandiri Community
Di awal mulai bergerak, tidak mudah bagi Nando menemukan orang-orang dengan kesamaan visi. Selalu ada kecurigaan. Nando kemudian membentuk Remaja Mandiri Community (RMC) sebagai ruang diskusi, ruang berbagi. Kegiatan diawali dengan diskusi kecil dengan beberapa teman. Untuk memotivasi dan memperkenalkan ruang kegiatan bersama digunakan media sosial yakni facebook. Awalnya kegiatan dibuat di ruang kegiatan belajar gereja. Kegiatan awal berupa gerakan literasi dengan perpustakaan.
Kegiatan utama RMC adalah literasi, kemudian seiring waktu berkembang dengan kegiatan kursus bahasa inggris untuk pemuda desa. RMC memberi ruang untuk remaja membuka wawasan dan meningkatkan kapasitas. Salah satu kegiatan dalam komunitas adalah pengembangan produk unggulan desa seperti kopi. Komunitas memberi anak muda ruang luas untuk berinteraksi dengan banyak sumber ilmu pengetahuan.
Program utama RMC adalah pertama, menyediakan ruang literasi berupa perpustakaan ruang baca. Dalam ruang literasi ini dihadirkan kegiatan edukasi informal, seperti pelatihan, pengenalan informasi dan motivasi bagaimana mengakses beasiswa dan peluang-peluang pendidikan lainnya. Kerjasama dilakukan dengan beberapa mitra diantaranya dengan CoKalbe, untuk menyekolahkan anak desa sesuai latar belakang yang ada di kampung agar setelah selesai mereka bisa pulang dan membangun desa.
Program yang kedua adalah pertanian berkelanjutan dengan menghidupkan kembali pangan lokal seperti sorgum, jewawut, wijen dengan cara bekerjasama dengan Yayasan Kehati dan perhimpunan petani pangan lokal NTT.
Program ketiga adalah kewirausahaan sosial, kegiatannya berupa menciptakan aneka produk dari hasil pertanian Detusoko yang dikolaborasikan dengan beberapa mitra seperti Javara dan sekolah seniman pangan untuk menciptakan produk-produk pertanian bernilai ekonomis tinggi.
Yang keempat adalah decotourism atau Detusoko ecotourism, sebuah model kewirausahaan untuk menjual jasa paket-paket wisata. Di Desa Detusoko telah dibuat homestay dengan melibatkan warga desa. Jadi ketika wisatawan datang sudah tersedia fasilitas akomodasi untuk mereka. Saat ini sudah ada 17 homestay yang tersedia.
Keempat kegiatan RMC tadi berjalan secara terintegrasi. Misalnya ketika wisatawan datang ia punya waktu 1 jam berinteraksi berbagi pengalaman dengan anak, pemuda anggota komunitas RMC di kelas, lalu wisatawan juga bisa menikmati aktivitas di kampung seperti salah satu program one day be a farmer yang ditawarkan. Lalu dari hasil pertanian desa dibuat produk yang kemudian bisa dijadikan oleh-oleh bagi wisatawan. Paket wisata desa ini yang kemudian dikemas dan dipasarkan Nando bersama RMC.
Bekerja dalam Sistem
Selain membangun kampung melalui komunitas, pada tahun 2019, Nando terpilih sebagai kepala desa. Ia terpilih berkat kepiawaiannya dalam mengampuh RMC sehingga oleh warga dan tetua menaruh kepercayaan kepadanya. RMC memberikan Nando pondasi dasar untuk bisa menjadi pemimpin yang mampu membawa Detusoko ke arah yang lebih baik. Sebagai orang yang pernah terlibat aktif di LSM, Nando percaya bahwa 3 indikator yang dibutuhkan untuk membuat perubahan di masyarakat yaitu perubahan perilaku, sejauh mana regulasi mendukung ide dan dari sisi keberlanjutan serta sisi penganggaran. Ketiga indikator ini kemudian yang memotivasinya untuk merasa harus berada di dalam sistem, karena ia percaya dengan berada dalam sistem, tujuan-tujuannya akan lebih cepat tercapai.
Dampak
Kerja-kerja Nando dan RMC berbuah manis, banyak hal baik sudah terjadi di Detusoko. Secara internal untuk RMC sendiri sebagai sebuah komunitas adalah peningkatan kapasitas para anggota. Kapasitas dari sisi akademis, kemampuan berorganisasi dan tentunya keterampilan. Kini dari tangan-tangan terampil kaum muda dan penduduk Detusoko tercipta produk-produk unggulan desa bernilai ekonomis sebut saja peanut butter atau selai kacang, Moni Marmalade, Koro Dagalai Sauce, kopi dan produk lainnya.
Geliat kegiatan ecotourism, pengembangan produk lokal tentunya berdampak pula pada ekonomi masyarakat. Sebut saja penghasilan yang diperoleh warga dari biaya sewa homestay saat ada kegiatan pelatihan, peserta menginap di rumah penduduk dan ini menjadi pemasukan bagi warga pemilik dan tentunya penghasilan dari penjualan produk lokal desa.
Konsep kewirausahaan juga diaplikasikan di BUMDes. Dibuat pasar online desa yakni pasarkita.bumdes.mart.id. Pembeli dapat memesan lewat WA store, seminggu dua kali. Pandemi membuat warga Detusoko berpikir adaptif untuk memasarkan produk secara online. Sejauh ini omset per bulan mencapai 35 jutaan. Tentunya dari hal ini ada penyerapan tenaga kerja juga dari anak muda, kerjasama juga dilaksanakan dengan 4 pemilik kendaraan pickup, ojek sekitar 15 unit, kerjasama dengan 60an petani sebagai pemasok di 3 kecamatan. Konsep kewirausahaan yang diusung memberi banyak manfaat untuk banyak orang di desa.
Kekuatan Mimpi
Sebagai komunitas, RMC terbilang sudah maju. Kedepannya Nando punya mimpi untuk membuat Detusoko Creative Hub yang punya sistem informasi yang memungkinkan warga desa mengakses informasi tingkat nasional. “Karena kami di desa masih terbatas akses informasi misalnya info beasiswa ke luar negeri, info program-program kreatif” ungkap Nando. Ia berharap anak-anak Ende bisa menuntut ilmu lebih jauh sesuai potensi yang ada di desa.
Keberlanjutan
Tim dalam organisasi pemerintahan desa Detusoko sendiri didominasi oleh anak muda. Saatnya banyak anak muda bergabung dalam sistem untuk melanjutkan estafet pembangunan. Strategi yang dikembangkan Nando adalah menggerakkan/mengarahkan anak-anak muda agar setelah selesai sekolah kembali ke kampung. Mereka bisa bergabung dalam sistem desa, bisa masuk dalam kepengurusan BUMDes, koperasi atau kelompok tani. “Kita perlu membangun ruang untuk anak desa sekembalinya mereka ke kampung” kata Nando. Menurut Nando secara anggaran itu sangat memungkinkan. Ia berharap kita jangan terlalu apatis dengan sistem yang ada di desa, karena desa adalah halaman depan bangsa. Perubahan benteng NKRI ada di desa, masuklah bermain dalam sistem yang ada di desa. Hal ini adalah salah satu upaya membangun desa.
Detusoko saat ini menjadi pusat belajar banyak komunitas di NTT. Orang-orang datang belajar di Detusoko. Pengajar dan narasumber adalah warga desa yang sudah terlatih. Tak jarang, malah warga desa yang diundang untuk memberi pelatihan di tempat lain.
Nando membuktikan bahwa dirinya bisa membangun desa dengan kemampuan yang dimiliki dan potensi yang ada di desa. Bersama warga ia membangun dengan mengoptimalkan sumber daya desa. Ia pulang meninggalkan kota untuk kembali membangun desa, membangun kampung halamannya. Diperlukan lebih banyak lagi Nando-Nando yang lain karena desa adalah halaman depan bangsa, bertumbuhnya bangsa ini dimulai dari menumbuhkan halaman depan.
Untuk informasi lebih detail mengenai inisiatif cerdas ini silakan menghubungi:
Ferdinandus Watu
Email: fernandowatu70@gmail.com