Mental Sehat, Generasi Hebat
Penulis : Arafah

Memiliki kesehatan mental yang baik adalah kunci untuk perkembangan yang baik pada anak dan remaja. Anak-anak membutuhkan kesehatan mental agar mereka dapat merasa nyaman dengan diri mereka sendiri, membangun hubungan yang sehat dengan orang lain dan menikmati hidup. Masa remaja dapat menjadi fase yang paling berisiko untuk mengalami masalah mental. Sebab, remaja harus mengalami berbagai macam perubahan dan tantangan dalam waktu yang relatif singkat. Hal ini juga terjadi saat otak remaja masih terus berkembang. Maka dari itu, anak-anak membutuhkan kesehatan mental yang baik agar dapat bertumbuh dan berkembang dengan optimal. Selain itu, mereka juga dapat membangun hubungan yang kuat dengan orang di sekitar mereka, beradaptasi dengan perubahan, serta menghadapi tantangan hidup. 

Kesehatan mental anak dapat dipengaruhi oleh banyak hal, diantaranya keadaan keluarga, kehidupan sekolah, dan peristiwa kehidupan. Oleh karena itu anak-anak dapat mengalami masalah kesehatan mental pada usia berapa pun. Sama halnya dengan orang dewasa, anak dan remaja memiliki hak yang sama terhadap penerimaan kesejahteraan secara emosional dan mental, selain itu memegang peranan yang cukup penting dimasa yang akan datang. Tidak hanya dibutuhkan peran orangtua/pengasuh akan tetapi semua pihak termasuk pemerintah dan bahkan teman sebaya perlu membantu mendukung kesehatan mental anak dan remaja selama proses perkembangannya. Menurut Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Amerika Serikat (CDC), anak yang sehat secara mental memiliki kualitas hidup yang cenderung baik. Mereka pun lebih mudah menjalankan fungsinya secara optimal baik di lingkungan rumah, sekolah, maupun masyarakat. 
Data dan Fakta tentang kesehatan Mental anak dan Remaja.

Secara global, World Health Organization (WHO) menyebutkan dalam lamannya terkait “World Mental Health Day 2021” bahwa satu dari tujuh anak berusia 10-19 tahun mengalami gangguan mental. Bahkan, setengah diantaranya bermula sejak usia 14 tahun namun tidak terdeteksi dan tertangani dengan baik. Generasi milenial atau dikenal juga dengan generasi Y lebih rentan terkena stres. Generasi milenial banyak didominasi oleh dewasa muda yang berusia 22-38 tahun (yang lahir mulai tahun 1980 – 1996). Sementara berdasarkan data Riskesdas (riset kesehatan dasar) 2018 menunjukkan prevalensi gangguan mental emosional yang ditunjukkan dengan gejala-gejala  depresi  dan  kecemasan  untuk  usia  15  tahun  ke  atas  mencapai  sekitar  6,1%  dari  jumlah  penduduk Indonesia atau setara dengan 11 juta orang. Peneliti bahkan menemukan adanya prevalensi dan peningkatan depresi paling tinggi pada kelompok remaja usia 15 hingga 19 tahun dibandingkan kelompok usia lain.
Berdasarkan data diatas dapat dikatakan bahwa masalah yang dihadapi oleh anak dan remaja tidak hanya terkait kondisi fisik dengan pemenuhan kebutuhan nutrisi, mendapatkan imunisasi lengkap, dan cara lainnya untuk mendukung tumbuh kembang anak secara fisik. Akan tetapi masalah lainnya yang terkadang terlupakan bahwa ada kesehatan lain yang tidak kalah penting, yaitu kesejahteraan emosional dan mental pada anak. Riset yang dilakukan oleh tim Divisi Psikiatri Anak dan Remaja (Tahun 2021), Fakultas Kesehatan di Universitas Indonesia, mencoba untuk memetakan keresahan mental remaja di periode transisi 16-24 tahun dari seluruh Indonesia. Sebanyak 95,4% menyatakan bahwa mereka pernah mengalami gejala kecemasan (anxiety), dan 88% pernah mengalami gejala depresi dalam menghadapi permasalahan selama di usia ini. Selain itu, dari seluruh responden, sebanyak 96,4% menyatakan kurang memahami cara mengatasi stres akibat masalah yang sering mereka alami.

Hasil Survei yang dilakukan National Adolescent Mental Health Survey (I-NAMHS, 2022) menemukan 1 dari 3 remaja Indonesia memiliki masalah kesehatan mental. Gangguan mental berupa: gangguan cemas sebesar 3.7%, gangguan depresi mayor (1.0%), dan gangguan perilaku (0.9%), gangguan stress pasca-trauma, dan gangguan pemusatan perhatian dan hiperaktivitas (Attention Deficit Hyperactivity Disorder - ADHD) masing-masing sebesar 0.5%.  Sementara hasil penelitian (YouGov, 2019) menunjukan sebanyak 27% orang Indonesia telah memiliki pikiran bunuh diri. Wanita cenderung mengalami hal ini (33%) dibandingkan laki-laki (22%).  Remaja usia 18-24 tahun memiliki tingkat pemikiran  bunuh diri yang lebih tinggi (33%) dan terlibat dalam perilaku self injury sebanyak 36% dibanding usia 55 tahun ke atas (22%). 

Kemudian hasil studi yang dilakukan Yayasan Indonesia Mengabdi (YIM, 2022) pada siswa SMP dan SMA/SMK di Kota Makassar terkait masalah yang dihadapi siswa selama pandemi Covid 19 menunjukan bahwa sebanyak 72 % siswa sulit mengelola emosinya, 75% siswa mengalami stres dan sering menyalahkan diri sendiri, 1% kecenderungan ingin bunuh diri, 39 % siswa tidak memiliki teman cerita ketika mempunyai masalah, dan 61% siswa mengalami kesulitan belajar (sulit bagi waktu) selama pandemi. 

Yuk, Kenali Ciri-Ciri Kesehatan Mental pada Anak dan Remaja!
Menurut WHO, Kesehatan mental adalah kondisi dari kesejahteraan yang disadari individu yang didalamnya terdapat kemampuan-kemampuan untuk mengelola stress kehidupan yang wajar. Sederhananya, individu dapat bekerja secara produktif dan menghasilkan serta berperan di lingkungannya.  Setiap orang mempunyai coping strategy atau cara masing-masing dalam menyelesaikan masalah yang dihadapinya. Sebagian orang mampu menyelesaikan masalahnya dengan baik, namun ada juga yang tidak mampu menyelesaikan masalahnya dengan baik. Ketidakmampuan menyelesaikan masalah menyebabkan timbulnya distres yang dapat menimbulkan emosi negatif. Misalnya sedih, kecewa, putus asa, depresi, tidak berdaya, frustasi, marah, dendam dan emosi-emosi negatif lainnya. 
Hakikatnya penyaluran emosi bisa dilakukan dengan cara positif dan negatif. Contoh penyaluran emosi cara positif misalnya melakukan aktivitas yang disukai seperti olahraga, nonton film, pergi jalan-jalan dengan teman, membaca buku dan masih banyak lagi. Namun ada sebagian individu memilih untuk menyalurkan dengan cara negatif misalnya mengkonsumsi narkoba, minum-minuman beralkohol atau dengan cara menyakiti dirinya sendiri (self injury). 
Tanda gangguan Kesehatan mental pada anak dan remaja terkadang sulit diketahui oleh orangtua jika tidak diperhatikan dengan baik. Maka peran orangtua sangat dibutuhkan dalam menjaga Kesehatan mental anak dan remaja. Dibutuhkan kasih sayang, peran, dan kepedulian orangtua dan keluarga dalam membentuk mental yang sehat dan kuat pada anak dan remaja. Untuk itu kita perlu mengenali tanda dan ciri-ciri mental yang sehat dan gejala masalah kesehatan mental.  Anak yang memiliki kesehatan mental yang baik dapat dilihat dari ciri berikut ini: 

  • Merasa lebih bahagia dan lebih positif tentang diri mereka sendiri dan menikmati hidup 
  • Bangkit kembali dari kekesalan dan kekecewaan 
  • Memiliki hubungan yang lebih sehat dengan keluarga dan teman 
  • Melakukan aktivitas fisik dan makan makanan yang sehat 
  • Terlibat dalam kegiatan memiliki rasa pencapaian 
  • Bisa bersantai dan tidur nyenyak 
  • Merasa nyaman di komunitas mereka.
  • Sementara gejala kesehatan mental dapat dilihat pada ciri-ciri berikut ini:
  • Gangguan tidur
  • Perubahan perilaku
  • Mood swing
  • Tidak memiliki semangat untuk menjalani hari-hari.
  • Lekas marah
  • Menarik diri dari lingkungan sosial
  • Makan berlebihan atau kehilangan selera makan.
  • Melakukan Tindakan impulsif.
  • Perasaan yang intens (takut berlebihan).
  • Gangguan Kesehatan
  • Menyakiti diri sendiri. 
  • Dan sulit konsentrasi.

Gejala kesehatan mental pada anak dan remaja umumnya akan berdampak pada perubahan pola pikir, suasana hati, perilaku, dan gangguan kesehatan. 

  • Perubahan pola pikir; anak dan remaja menjadi sulit berkonsentrasi serta sering berprasangka negatif. Selain itu anak juga sering menyatakan hal-hal negatif tentang dirinya sendiri, dan menyalahkan diri sendiri atas sesuatu yang terjadi diluar kendalinya. Jika sudah terjadi perubahan pola pikir, maka kondisi ini akan menggunggu prestasinya baik di sekolah maupun di lingkungan lainnya. 
  • Perubahan suasana hati; anak dan remaja cenderung menjadi lebih sensitif dan lekas marah, bereaksi berlebihan terhadap hal sepele, sering merasa kesepian, putus asa, sering cemas, khawatir, takut dan sedih.  
  • Perubahan perilaku; anak lebih cenderung menyendiri, melamun, sering menangis dan tidak punya minat untuk melakukan aktivitas yang sebelumnya dia sukai. 
  • Gangguan Kesehatan fisik; mereka akan mengalami sakit kepala, sakit perut, sakit leher atau nyeri di sekujur tubuh. 

Tips bagi Orangtua/Keluarga dalam Menjaga Mental Sehat dan Membangun Generasi Hebat
Peran orangtua dan keluarga sangat penting dalam menjaga kesehatan mental dan membangun generasi hebat.  Apa saja yang penting dilakukan oleh orangtua untuk menjaga kesehatan mental anak dan remaja jika terdapat tanda-tanda gejala kesehatan mental yang dialami oleh anak dan remaja? Di era teknologi dan informasi, orangtua memiliki akses yang relatif mudah untuk mendapatkan pengetahuan dan informasi tentang tips dan cara-cara mengatasi masalah kesehatan mental anak dan remaja. 

Sebagai langkah awal, orangtua perlu melakukan pengamatan secara tajam dalam memperhatikan berbagai perilaku dan perubahan yang terjadi pada anak. Gunakan informasi dan pengetahuan yang akurat atau segera berkonsultasi dengan tenaga profesional seperti psikolog dan psikiater untuk mencari tahu permasalahan kesehatan mental anak dan cara penanganan yang tepat. 
Berikut beberapa tips yang disampaikan oleh para narasumber pada kegiatan diskusi Inspirasi BaKTI yang didukung oleh UNICEF Indonesia melalui Program Lingkungan Aman dan Ramah Bagi Anak (Strengthening Safe and Friendly Environment for Children- SAFE4C) yang dilakukan pada tanggal 6 Desember 2022, antara lain: 

  1. Para orangtua perlu menunjukan cinta, kasih saying, serta perhatian pada anaknya. Hal ini berguna agar anak memiliki orang yang dapat dipercaya dan nyaman untuk mengadukan tentang kondisi yang sedang dirasakan.
  2. Membangun hubungan kelekatan. Hubungan ini tidak hanya kehadiran fisik, tetapi menghadirkan komunikasi dan emosional. Ikut serta dalam hidup anak, lalu berikan apresiasi saat mendapatkan prestasi dan memberikan dukungan saat anak merasa gagal.  Jadilah teman cerita yang baik. Saat anak sedih, dorong mereka untuk menceritakan masalahnya dan posisikan diri layaknya teman. Lakukan komunikasi yang mengalir, tanyakan setiap keluh kesahnya serta ciptakan situasi yang nyaman agar mereka terbuka. 
  3. Dengarkan anak dan hargai ide dan pendapat yang dikemukakan anak. Jangan sungkan untuk memberikan pujian atas pencapaian yang mereka lakukan meskipun hal sederhana. Berikan perhatian penuh dengan rutin menanyakan minat yang mereka inginkan dan bantu anak menetapkan tujuannya. 
  4. Buatlah rutinitas untuk menghabiskan waktu bersama anak-anak. Selalu bersikap terbuka agar anak mau menceritakan perasaannya, sehingga bisa bersama mencari solusinya. 
  5. Ajari anak cara menenangkan diri ketika mereka merasa kesal. Jika anak sudah cukup tenang maka coba mengajak mereka berbicara tentang masalahnya dan beri solusi bersama atas situasi yang dialaminya.  
  6. Ciptakan lingkungan yang positif untuk membantu anak dalam mengatasi kesehatan mentalnya. Hindari bertengkar atau membahas masalah keluarga di depan ank-anak. Perhatikan waktu anak dalam menggunakan layar, serti smartphone, televisi atau perangkat game. Jangan abaikan lingkungan mereka di media sosial maupun game online. 

Respons Pemerintah dalam mendukung Kesehatan Mental Anak dan Remaja
Sebagaimana yang tertuang dalam Undang-Undang Perlindungan Anak Pasal 21, negara dan pemerintah berkewajiban dan bertanggung jawab menghormati dan menjamin hak asasi setiap anak tanpa membedakan suku, agama, ras, golongan, jenis kelamin, etnik, budaya dan bahasa, status hukum anak, urutan kelahiran anak, dan kondisi fisik dan/atau mental.  Negara dan pemerintah berkewajiban dan bertanggung jawab memberikan dukungan sarana dan prasarana dalam penyelenggaraan perlindungan anak.  Layanan-layanan yang dapat dijangkau di Provinsi Sulawesi Selatan, Kota Makassar, kabupaten/kota antara lain: Unit Pelaksana Teknis Perlindungan Perempuan dan Anak (UPT PPA), Pusat Pembelajaran Keluarga (PUSPAGA), atau Lembaga layanan perlindungan anak yang tersedia di desa/kelurahan, misalnya Perlindungan Anak Terpadu Berbasis Masyarakat (PATBM), Pusat Kesejahteraan Sosial (Puskesos) dan lainya. 
Meskipun pemerintah sudah meningkatkan akses ke pelbagai fasilitas kesehatan, hanya sedikit remaja yang mencari bantuan profesional untuk masalah kesehatan mental mereka. Hanya 2,6% dari remaja yang memiliki masalah kesehatan mental menggunakan fasilitas kesehatan mental atau konseling untuk membantu mereka mengatasi masalah emosi dan perilaku mereka dalam 12 bulan terakhir (I-NAMHS, 2022). ****
 

Submission Agreement

Terimakasih atas  ketertarikan Anda untuk mengirimkan artikel ke BaKTINews. Dengan menyetujui pernyataan ini, Anda memberikan izin kepada BaKTINews untuk mengedit dan mempublikasikan artikel Anda di situs web dan situs afiliasinya, dan dalam bentuk publikasi lainnya.
Redaksi BaKTINews tidak memberikan imbalan kepada penulis untuk setiap artikel yang dimuat.  Redaksi akan mempromosikan artikel Anda melalui situs kami dan saluran media sosial kami.
Dengan mengirimkan artikel Anda ke BaKTINews dan menandatangani kesepakatan ini, Anda menegaskan bahwa artikel Anda adalah asli hasil karya Anda, bahwa Anda memiliki hak cipta atas artikel ini, bahwa tidak ada orang lain yang memiliki hak untuk ini, dan bahwa konten Artikel Anda tidak mencemarkan nama baik atau melanggar hak, hak cipta, merek dagang, privasi, atau reputasi pihak ketiga mana pun.

Anda menegaskan bahwa Anda setidaknya berusia 18 tahun dan kemampuan untuk masuk ke dalam kesepakatan ini, atau bahwa Anda adalah orang tua atau wali sah dari anak di bawah umur yang menyerahkan artikel.
 
Satu file saja.
batasnya 24 MB.
Jenis yang diizinkan: txt, rtf, pdf, doc, docx, odt, ppt, pptx, odp, xls, xlsx, ods.