Mengurai Kesulitan Akses Terapi bagi Anak Autis di Desa
Penulis : Rahiwati
  • Sumber: antaranews.com
    Sumber: antaranews.com

Jumlah anak yang terdiagnosa mengalami Autism Spectrum Disorder (ASD), atau biasa disebut Autis, di Indonesia terus meningkat hingga 500.000 anak per tahun. Namun, ketersediaan sumber daya dan fasilitas terapi belum sebanding dengan kebutuhan. Kendala ini semakin dirasakan oleh keluarga yang tinggal di desa, dimana pusat pusat layanan seperti Puskesmas maupun rumah sakit dari kabupaten hingga kecamatan umumnya tidak memiliki fasilitas terapi autisme.

Fasilitas kesehatan tingkat desa rata-rata tidak menyediakan terapi intervensi, seperti terapi wicara, terapi sensori integrasi, terapi behavior, maupun terapi kemandirian. Tanpa adanya layanan ini di desa, keluarga harus ke pusat kota di tingkat provinsi untuk mendapatkan layanan terapi. Tentu ini bukan hal yang mudah karena akan membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Belum lagi membutuhkan waktu yang lama dan tenaga untuk menjangkau tempat terapi yang tersedia. Tentu saja tidak semua orangtua dengan anak autis mampu melakukan ini.

Kurangnya pengetahuan masyarakat akan kondisi autis yang mempengaruhi cara seseorang berkomunikasi, berinteraksi sosial, dan berperilaku juga ikut mempengaruhi situasi di desa. Tidak sedikit yang masih percaya akan mitos penyakit mental sebagai tanda kurang iman atau kerasukan. Juga bahwa anak autis bisa disembuhkan dengan ruqyah atau ritual keagamaan lainnya. Pengetahuan mereka menganggap bahwa gangguan mental itu selalu berarti gila, hingga dibawa-bawa ke fenomena supranatural.

Akibat kurangnya pengetahuan dan tidak dilakukannya diagnosis dini berimbas pada penangan yang salah. Ketidaktahuan masyarakat sekitar sering berdampak buruk terhadap keluarga dan anak autis. Berbagai stigma yang muncul bisa membuat orang tua dari anak autis merasa mal, tertekan, hingga enggan mencari diagnosis resmi terhadap anaknya karena berbagai ketakutan. Sementara tanpa intervensi dini berupa terapi yang tepat, anak autis tidak akan mendapatkan dukungan yang penting untuk perkembangan kognitif dan sosialnya, juga perkembangan bahasa, motorik halus dan kasar, serta keterampilan kemandiriaan.

 

Sumber: serambinews.com

Kami dan perjuangan mendampingi anak dengan Autism Spectrum Disorder (ASD) 

Kami sekeluarga hidup berpindah-pindah, kadang hidup di desa dan kadang menetap di kota. Saat berusia empat tahun, diagnosa resmi dari dokter menyatakan bahwa anak kami mengalami autis. Sedangkan baru beberapa bulan menjalani terapi okupasi dan wicara, namun kami harus pindah ke desa. Desa itu berada di kampung halaman saya, tepatnya di Desa Sipakainge, Kolaka Utara. Di sana, jangankan di desa, Puskesmas di kabupaten kota saja tidak tersedia dokter spesialis tumbuh kembang ataupun poli rehabilitasi medik yang memberi layanan terapis.

Seperti yang kami khawatirkan, berbagai mitos pun dihubungkan dengan kami. Ada yang menghubungkan religiusitas kami dengan kondisi yang anak kami alami. Hingga anjuran-anjuran yang menyuruh kami membawa anak kami ke pesantren yang bisa melakukan ruqyah yang dipercaya bisa menyembuhkan anak kami. Kondisi ini mencerminkan bagaimana kurangnya pengetahuan masyarakat di desa, hingga adanya kepercayaan tradisional yang masih dipercayai. Hal ini tentu sangat mempengaruhi keluarga kami yang berusaha rasional memahami kondisi anak sebagai masalah neurologis yang dibawa sejak lahir.

Secara nasional, jumlah anak dengan autis yang  tinggal di desa dan tidak tertangani memang masih terbatas data spesifiknya. Namun fakta menunjukan bahwa Puskesmas dan rumah sakit daerah belum menyediakan layanan ini. Situasi ini menandakan kesenjangan serius dalam distribusi layanan terapi terutama di wilayah pedesaan.

Layanan terapi bagi anak autis seharusnya mudah di akses dan dekat dengan tempat tinggal keluarga. Sebab, terapi bukanlah kegiatan singkat yang selesai dalam hitungan minggu. Terapi adalah perjalanan panjang, butuh pendampingan bertahun tahun, bahkan mungkin saja seumur hidup. Konsistensi menjadi kunci utama dan konsistensi hanya bisa terjaga jika layanan terapi dapat dijangkau.

Bagi keluarga yang tinggal di desa, jarak menjadi hambatan besar. Jika layanan hanya ada di kota, orangtua harus menempuh perjalanan jauh bahkan harus berpindah demi mendapatkan layanan terapi di kota. Pengalaman saya pun membawa bertemu dengan banyak orang tua yang juga harus melalui proses panjang untuk dapat membawa anak mereka ke layanan terapi.  

Lebih dari itu, akses terapi yang jauh juga bisa mengubah tatanan kehidupan seluruh keluarga. Orang tua mungkin harus meninggalkan pekerjaan, anak lain dirumah terabaikan, dan beban keuangan semakin berat. Tak sedikit yang akhirnya menyerah melakukan terapi untuk anaknya. Padahal, anak autis berhak atas layanan yang berkelanjutan tanpa membuat keluarganya semakin terbebani. 

 Sumber: jawapos.com

Apa yang bisa dilakukan pemerintah?

Pemerintah dalam hal ini sebagai pelaksana pendistribusian kebijakan, perlu memastikan atau mewajibkan layanan terapi dasar di Puskesmas dan rumah sakit kabupaten. Pemerintah perlu memastikan adanya terapi wicara, terapi sensori, atau melakukan pendanaan khusus dan pelatihan profesi terapis harus disertakan dalam anggaran kesehatan daerah.

Pentingnya pelatihan kader kesehatan, seperti posyandu, sebagai titik intervensi awal. Studi Membuktikan bahwa pelatihan kader posyandu melalui film edukasi dapat meningkatkan kemampuan deteksi tanda autisme dari 35% menjadi 88% di Kalimantan Barat, model ini dapat direplikasi di desa lain untuk memfasilitasi diagnosis dini dan mengurangi beban perjalanan ke kota.

Kesulitan mengakses layanan terapi bagi anak autis di desa bukan hanya soal ketidak tersediaan fasilitas, tetapi juga soal minimnya  pengetahuan masyarakat, kepercayaan tradisional, stigma melekat dan beban psikologis keluarga meningkat.

Karena itu, yang bisa didorong di desa adalah program pendidikan inklusi dan kampanye anti stigma, pemerintah dan lembaga masyarakat sipil perlu melakukan edukasi inklusif melalui sekolah, kegiatan desa, dan media lokal untuk melawan mitos dan stigma. Undang undang Nomor 8 Tahun 2016 menegaskan bahwa anak berkebutuhan khusus berhak mendapat perlindungan dari diskriminasi, perlu ada pelaksanaan konkret di tingkat desa dan kecamatan.

Mendorong lulusan terapi untuk bekerja di daerah asal juga bisa dilakukan, banyak terapis terpaksa merantau ke kota karena di desa tidak ada lapangan kerja. Pemerintah daerah perlu menyerap dan mempekerjakan mereka dengan fasilitas kesehatan inklusif.

Agar anak autis dapat hidup dan berkembang dengan layak, diperlukan intervensi terpadu, dari penyediaan layanan terapi di tingkat desa, pelatihan kader, kampanye inklusi, hingga mempekerjakan lulusan  terapis di desa, dengan langkah-langkah ini, besar kemungkinan stigma bisa berkurang, akses terapi bisa merata, dan anak anak dengan autisme bisa tumbuh optimal meski tinggal di desa.

Atau jika semua hal itu diatas begitu sulit diwujudkan kita bisa mencontoh salah satu model layanan negara lain, yaitu pelatihan bagi orang tua di Inggris, misalnya. Pemerintah  daerah rutin mengadakan program parent carer training, yaitu pelatihan strategi komunikasi, manajemen perilaku, hingga teknik terapi sederhana yang bisa diterapkan dirumah. Dengan cara ini orang tua tidak hanya bergantung pada layanan terapi di kota provinsi. Tetapi juga mampu melanjutkan stimulasi sehari-hari di rumah atau terapi mandiri. Sistem ini terbukti bisa memperkuat kepercayaan diri keluarga dan juga bisa menjaga konsistensi intervensi.

Contoh lain bisa kita lihat dari Australia, khususnya daerah pedesaan. Mereka mengembangkan model fasilitator lokal. Mereka orang-orang yang tinggal di komunitas setempat dan mendapat pelatihan khusus dari terapis profesional. Fasilitator inilah yang kemudian mendampingi ana-anak autis di desa atau wilayah terpencil. Sementara terapis dari kota memberi arahan dan supervisi jarak jauh. Model ini sederhana namun efektif, karna menjawab keterbatasan jarak dan biaya akses yang mahal jika harus ke kota.

Indonesia bisa mengadaptasi dua pendekatan ini, dengan melatih orang tua dan menyiapkan fasilitator di desa. Dengan demikian, akses terapi tidak lagi berpusat di kota besar. Dengan begitu, anak-anak autis yang tinggal di desa pun berkesempatan mendapatkan pendampingan berkelanjutan, sementara keluarga tetap bisa menjaga keseimbangan hidup sehari-hari tanpa terbebani perjalanan jauh maupun biaya besar untuk mengaksesnya.

 

Info lebih lanjut:

Rahi Wati adalah penulis, pegiat literasi, dan aktivis pendidikan yang fokus pada isu keadilan sosial. Sejak 2007, ia mendirikan sekolah bagi anak-anak pemulung dan jalanan serta aktif memperjuangkan akses pendidikan yang inklusif. Ia juga seorang ibu dari anak dengan autisme yang memperkaya pandangannya tentang kemanusiaan, empati, dan perjuangan hidup. Rahiwati dapat dihubungi melalui rahiwatis@gmail.com

Submission Agreement

Terimakasih atas  ketertarikan Anda untuk mengirimkan artikel ke BaKTINews. Dengan menyetujui pernyataan ini, Anda memberikan izin kepada BaKTINews untuk mengedit dan mempublikasikan artikel Anda di situs web dan situs afiliasinya, dan dalam bentuk publikasi lainnya.
Redaksi BaKTINews tidak memberikan imbalan kepada penulis untuk setiap artikel yang dimuat.  Redaksi akan mempromosikan artikel Anda melalui situs kami dan saluran media sosial kami.
Dengan mengirimkan artikel Anda ke BaKTINews dan menandatangani kesepakatan ini, Anda menegaskan bahwa artikel Anda adalah asli hasil karya Anda, bahwa Anda memiliki hak cipta atas artikel ini, bahwa tidak ada orang lain yang memiliki hak untuk ini, dan bahwa konten Artikel Anda tidak mencemarkan nama baik atau melanggar hak, hak cipta, merek dagang, privasi, atau reputasi pihak ketiga mana pun.

Anda menegaskan bahwa Anda setidaknya berusia 18 tahun dan kemampuan untuk masuk ke dalam kesepakatan ini, atau bahwa Anda adalah orang tua atau wali sah dari anak di bawah umur yang menyerahkan artikel.
 
Satu file saja.
batasnya 24 MB.
Jenis yang diizinkan: txt, rtf, pdf, doc, docx, odt, ppt, pptx, odp, xls, xlsx, ods.