Perkawinan anak adalah kekerasan terhadap anak dan perempuan, karena tidak sedikit perkawinan anak adalah kemauan orang tua atau keluarga. Sebagian perkawinan anak adalah cara keluarga melepas tanggung jawab pada anak perempuan, dengan memindahkan tanggung jawab orang tua atau keluarga kepada suami atau keluarga suami.
Jumlah anak perempuan yang menikah lebih banyak dari pada anak laki-laki. Pada tahun 2018, sekitar 11% atau 1 dari 9 perempuan menikah sebelum berusia 18 tahun, dan hanya 1% atau 1 dari 100 laki-laki yang menikah sebelum berusia 18 tahun. Demikian juga usia anak perempuan lebih muda daripada anak laki-laki. Usia rata-rata anak perempuan yang dimohonkan dispensasi kawin adalah 14,5 tahun dan usia rata-rata anak laki-laki dalam perkara dispensasi adalah 16,5 tahun.
Jika melihat data tersebut, maka perkawinan anak bukan hanya soal kemiskinan dan orang tua atau keluarga mengkhawatirkan pergaulan berisiko yang dilakukan oleh anak, tetapi terkait dengan budaya dan struktur masyarakat yang menempatkan perempuan dan anak sebagai manusia subordinat yang dikuasai dan diatur oleh bapak atau laki-laki dan orang dewasa.
Perkawinan anak menempatkan perempuan pada posisi rentan dan berisiko menjadi korban dan sekaligus sebagai pelaku kekerasan. Perempuan yang masih berumur anak dan menjadi istri sangat rentan menjadi korban kekerasan yang dilakukan oleh suami dan keluarga suami. Sementara ketika menjadi ibu dari anak-anaknya, perempuan yang masih berusia anak tersebut rentan menjadi pelaku kekerasan terhadap anak-anaknya, karena tidak mempunyai pengetahuan dan keterampilan dalam pengasuhan, sekaligus sifatnya yang masih kekanak-kanakan.
Dampak perkawinan anak tidak hanya dialami anak dan perempuan yang menjalaninya, tetapi juga generasi masa depan yang lahir dari perempuan-perempuan yang dikawinkan pada usia anak. Anak-anak yang lahir dari perempuan-perempuan yang berusia anak dikhawatirkan mengalami kurang gizi, gizi buruk, dan tengkis (stunting), di samping rentan mengalami kekerasan dari ibunya yang masih terlalu muda. Pada tahap berikutnya, anak-anak juga mudah dieksploitasi secara ekonomis dan seksual oleh orang tuanya sendiri.
Karenanya sulit mengharapkan generasi masa depan yang lebih baik yang lahir dari ibu-ibu yang kawin di usia anak. Generasi berkualitas: toleran, anti kekerasan, dan inklusif tidak bisa lahir dari lingkungan yang diskriminatif dan eksploitatif, dengan menempatkan dan memperlakukan perempuan dan anak sebagai korban yang menyangga kehidupan.
Perkawinan Anak di Desa
Perkawinan anak dan kekerasan terhadap anak adalah dua masalah yang selalu muncul dan menempati posisi teratas, pada identifikasi masalah dalam berbagai kegiatan yang dilakukan oleh Yayasan BaKTI pada Program Penguatan Lingkungan Aman dan Ramah Anak (Strengthening Safe and Friendly Environment for Children-SAFE4C), yang didukung UNICEF (United Nations Children's Fund). Program yang dilakukan di Kota Makassar, Kabupaten Gowa, Maros dan Bulukumba di 34 desa dan 16 kelurahan tersebut, bertujuan untuk memperkuat kelembagaan dan mekanisme layanan kesejahteraan sosial dan perlindungan anak berbasis masyarakat.
Penguatan kelembagaan berbasis masyarakat di tingkat desa dan kelurahan sangat penting, karena lembaga layanan yang ada terpusat di perkotaan, sehingga berbagai kondisi rentan dan permasalahan anak yang terjadi di masyarakat tidak tertangani, bahkan tidak terpantau, termasuk perkawinan anak yang baru diketahui setelah dilangsungkan perkawinan.
Perkawinan anak menjadi permasalahan penting di semua desa, karena mengawinkan anak dianggap sebagai sesuatu yang biasa dan telah berlangsung lama. Anak perempuan yang tinggal di perdesaan dua kali lebih mungkin menikah sebelum berusia 18 tahun dibandingkan dengan anak perempuan di daerah perkotaan.
Perkawinan anak menjadi isu dan pembicaraan penting pemerintah dan masyarakat desa, ketika ada keluarga hendak mengadakan pesta perkawinan, dan di antara calon pengantinnya berusia anak. Tidak ada upaya dan mekanisme pemerintah dan masyarakat desa untuk mencegah dan menurunkan angka perkawinan anak di desa.
Memperkuat Kelembagaan
Program SAFE4C Yayasan BaKTI yang dilakukan di desa dan kelurahan di antaranya memperkuat kelembagaan perlindungan anak, dengan membentuk dan menguatkan lembaga yang ada, menyusun mekanisme berbasis masyarakat, dan Standar Operasional Prosedur (SOP) layanan kesejahteraan sosial dan perlindungan anak.
Lembaga yang dibentuk dan diperkuat di desa atau kelurahan disesuaikan dengan kebutuhan dan permintaan pemerintah dan masyarakat, bisa berupa PATBM (Perlindungan Anak Terpadu Berbasis Masyarakat), Puskesos (Pusat Kesejahteraan Sosial), Shelter Warga, dan nama lainnya.
Tentu kelembagaan yang baru dibentuk dan diperkuat, tidak langsung berfungsi optimal dalam memberikan layanan kesejahteraan sosial dan perlindungan anak di perdesaan. Namun, sebagai lembaga di tingkat desa yang kepengurusannya terdiri dari kader dan tokoh masyarakat, lembaga tersebut diharapkan dapat mengidentifikasi anak rentan dan merujuk kasus-kasus yang tergolong berat ke lembaga layanan, seperti UPTD PPA (Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak), PKSAI (Pusat Kesejahteraan Sosial Anak Integratif), serta lembaga layanan milik OMS (Organisasi Masyarakat Sipil), organisasi kemasyarakatan, dan organisasi keagamaan.
Adanya lembaga yang dibentuk dan bertugas memberikan layanan kesejahteraan sosial dan perlindungan anak di desa, maka lembaga-lembaga tersebut juga dapat mengidentifikasi anak-anak dari keluarga rentan, mencegah berbagai permasalahan anak, dan memfasilitasi atau memediasi masalah-masalah anak yang dikategorikan sebagai kasus ringan, sehingga mencegah kriminalisasi dan stigmatisasi anak.
Pada pembentukan PATBM di Desa Sambueja, Kecamatan Simbang, Kabupaten Maros, Kepala Desa Sambueja, Darawati menyampaikan kepada peserta pertemuan bahwa, kasus-kasus anak yang terjadi di desa cukup banyak, termasuk perkawinan anak, yang seharusnya dapat dicegah dengan memperbanyak sosialisasi dan pertemuan sehingga para orang tua juga tahu dan berusaha untuk mengasuh dan mendidiknya anak-anak secara baik, melindungi anak-anak dari berbagai pengaruh pergaulan dan lingkungan yang buruk, dan tidak menikahkan anak-anaknya sampai mencapai umur sesuai dengan peraturan hukum. Itulah tugas pemerintah dan lembaga-lembaga di desa, terutama lembaga seperti PATBM.
Regulasi Pencegahan Perkawinan Anak
Pencegahan perkawinan anak di desa harus dilakukan secara terencana dan melibatkan berbagai pihak. Pembentukan dan penguatan kelembagaan juga harus diikuti dengan upaya lain yang dapat memperkuat dan melegitimasi kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh lembaga-lembaga yang ada.
Untuk itu, Program SAFE4C Yayasan BaKTI juga mendorong pembentukan regulasi atau peraturan di tingkat desa untuk pencegahan perkawinan anak, yang menjadi bagian dari regulasi perlindungan anak atau regulasi khusus untuk pencegahan perkawinan anak, tergantung dari kebutuhan pemerintah dan masyarakat desa. Jika di suatu desa telah dibentuk regulasi pencegahan perkawinan anak, maka Program SAFE4C Yayasan BaKTI mendorong implementasi melalui sosialisasi dan penyusunan program sesuai dengan perencanaan dan penganggaran desa.
Di Kabupaten Maros, telah disahkan Peraturan Bupati (Perbup) Maros Nomor 21 Tahun 2020 tentang Pencegahan Perkawinan Usia Anak. Perbup tersebut merupakan advokasi bersama Program MAMPU (Kemitraan Australia-Indonesia untuk Kesetaraan Gender dan Pemberdayaan Perempuan) Yayasan BaKTI dan AIPJ2 (Australia-Indonesia Partnership for Justice 2) dalam Program Implementation of Preventing Child Marriage through Strengthening Regional Regulation yang dilaksanakan oleh Institute Of Community Justice (ICJ).
Peraturan Bupati Maros tentang Pencegahan Perkawinan Usia Anak merupakan peraturan pertama di daerah setelah pengesahan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 (Perubahan Undang-Undang Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan) yang menaikkan usia perkawinan perempuan menjadi 19 tahun. Perbup Maros 21 Tahun 2020 dan instrumen lainnya dapat dirujuk pemerintah desa di Kabupaten Maros untuk membuat Peraturan Desa (Perdes) tentang pencegahan perkawinan anak, yang dapat mengatur perencanaan dan pelaksanaan pencegahan perkawinan anak lebih baik.
Beberapa desa di Kabupaten Maros telah membuat dan mengesahkan Perdes tentang pencegahan perkawinan anak. Pembentukan Perdes difasilitasi dan didukung oleh ICJ atas dukungan dari Program AIPJ2. Perdes pencegahan perkawinan anak yang telah dibentuk dapat dirujuk dan direplikasi untuk desa-desa yang lain untuk pencegahan perkawinan anak.
Program SAFE4C Yayasan BaKTI, selain mendorong pembentukan regulasi, memperkuat perencanaan dan penganggaran berbasis hak dan perlindungan anak di desa, juga mereplikasi beberapa praktik baik yang telah dikembangkan oleh Program MAMPU, Program AIPJ2-ICJ, dan program yang dikembangkan oleh pemerintah pusat dan pemerintah daerah