Kasus-kasus kekerasan, eksploitasi, penelantaran, dan perlakuan salah terhadap anak, umumnya terjadi di dalam keluarga dan pelakunya adalah orang-orang terdekat, seperti orang tua, pengasuh, dan keluarga. Anak juga mengalami kekerasan di lingkungan sekolah, berbagai tempat belajar dan pelatihan, hingga rumah ibadah, yang pelakunya adalah guru/pendidik, tutor/pelatih, hingga orang-orang yang mengurus dan mengkhotbahi jamaah di rumah-rumah ibadah.
Dengan demikian, kekerasan terhadap anak terjadi di ranah domestik dan lingkungan yang menjadi tempat anak beraktivitas. Kasus-kasus yang terjadi di area domestik merupakan kasus yang sulit teridentifikasi dan terjangkau oleh pekerja sosial atau tenaga layanan, baik karena “tertutup” maupun karena dianggap sebagai wilayah domestik atau masalah keluarga sehingga oleh orang-orang yang melihat dan mengetahuinya pun mendiamkan.
Sementara anak yang mengalami kekerasan di sekolah, tempat belajar hingga rumah ibadah, sering ditutupi oleh orang yang melihat dan mengetahuinya, untuk menjaga nama baik orang-orang tidak baik yang menjadi pelakunya. Orang-orang dewasa lupa, tidak sadar, atau tidak mempunyai pengetahuan, bahwa pelaku kekerasan terhadap anak adalah orang-orang dewasa yang mempunyai hubungan tidak setara dengan anak, sehingga anak mempunyai posisi rentan dan dengan mudah dimanipulasi oleh pelaku.
Masyarakat merespon kekerasan terhadap anak dengan berbagai cara. Ada yang ‘memaklumi’ dan menganggapnya sebagai masalah keluarga atau rumah tangga. Ada yang menyalahkan korban sebagai anak yang harus dididik dengan cara kekerasan. Sebagian besar permisif dan menganggapnya sebagai hal biasa saja. Dan hanya sedikit yang mencoba mencegah, membantu korban, hingga melaporkan kepada lembaga layanan. Yang terakhir ini biasanya dilakukan oleh tokoh masyarakat, aparat pemerintah, atau kader-kader desa yang mempunyai kepedulian.
Pengasuhan Tradisional
Beragamnya bentuk respon terhadap anak yang mengalami kekerasan dan membutuhkan pertolongan, sangat berhubungan dengan cara berpikir dan cara mengasuh anak di masyarakat. Masyarakat masih menempatkan anak sebagai hak milik, properti, tidak tahu apa-apa, harus menurut, dan harus menjadi anak baik versi orang tua, pengasuh, dan orang dewasa. Anak yang ke luar dari cara pandang dan penempatan tersebut harus “diluruskan” dan ditarik kembali ke jalan yang benar versi orang tua, pengasuh, dan orang dewasa.
Masalahnya, orang tua, pengasuh, dan orang dewasa yang ada tidak selalu mempunyai perspektif yang tepat mengenai anak. Mereka juga mempunyai pengetahuan dan keterampilan yang terbatas mengenai pengasuhan, yang diwarisi secara turun-temurun. Di sisi lain, perubahan sosial dan perkembangan teknologi menempatkan anak sebagai individu yang membutuhkan ruang ekspresi yang lebih besar, yang tidak tepat jika direspon dengan pola pengasuhan tradisional atau konvensional.
Pengasuhan tradisional yang sangat baik adalah pola pengasuhan anak di dalam keluarga besar, dimana tanggung jawab mengasuh, membesarkan, dan melindungi anak berada di dalam keluarga besar. Bahkan di desa-desa, pengasuhan dan perlindungan anak dilakukan bersama oleh masyarakat desa. Namun, pola-pola pengasuhan tradisional menempatkan anak sebagai objek yang mengalami kekerasan.
Anak-anak yang dianggap nakal dan sulit ditangani, akan mengalami kekerasan bertingkat karena mengalami kekerasan di dalam keluarga dan masyarakat. Anak juga mengalami stigma di dalam keluarga dan masyarakat sebagai anak kurang ajar dan pembuat onar, sehingga ditempatkan sebagai objek dan dianggap sah mengalami kekerasan.
Padahal orang tua/keluarga dan masyarakat tidak mempunyai pengetahuan dan keterampilan dalam mengasuh dan menangani anak-anak yang dianggap nakal dan sulit ditangani. Hasilnya adalah anak mengalami kekerasan, eksploitasi, penelantaran, dan perlakuan salah.
Mekanisme Berbasis Masyarakat
Pengasuhan tradisional yang menempatkan anak sebagai tanggung jawab keluarga besar, komunitas, dan masyarakat, perlu dilestarikan, karena tetap relevan dengan moral pemenuhan hak dan perlindungan anak saat ini. Jika anak kehilangan orang tua atau pengasuh utama, maka anak tidak boleh dipisahkan dari komunitas atau lingkungannya, kecuali untuk kepentingan terbaik bagi anak.
Demikian juga, jika anak mengalami kekerasan atau eksploitasi yang dikategorikan sebagai kasus berisiko ringan, maka kasus tersebut dapat diselesaikan secara kekeluargaan di tingkat masyarakat atau pemerintah terdekat (RT, RW, kepala dusun, kepala desa/lurah). Ini untuk mencegah terjadinya kasus berulang dan melindungi anak dari publikasi dan stigma di masyarakat.
Demikian pula, untuk kasus dikategorikan sebagai kasus serius dan berat, sehingga anak harus membutuhkan pertolongan, penanganan, dan perlindungan di lembaga layanan, maka harus ada orang-orang yang menyediakan waktu dan tenaganya untuk melakukan pertolongan pertama, perlindungan sementara, dan merujuk anak tersebut di lembaga layanan, yang berada di tingkat kabupaten atau kota.
Karena itu, komunitas atau masyarakat harus diperkuat sehingga menjadi lingkungan yang kondusif bagi pengasuhan anak, sekaligus responsif terhadap perlindungan anak. Perlu adanya orang-orang tertentu yang mempunyai kemampuan untuk melakukan pencegahan, mengidentifikasi, dan merujuk korban di lembaga layanan.
Untuk itu, Yayasan BaKTI atas dukungan UNICEF (United Nations Children's Fund) melalui Program Penguatan Lingkungan Aman dan Ramah Anak (Strengthening Safe and Friendly Environment for Children-SAFE4C) melakukan kegiatan-kegiatan untuk memperkuat kelembagaan perlindungan anak di tingkat desa dan kelurahan di Kabupaten Maros, Gowa, Bulukumba, dan Kota Makassar, di antaranya melalui pembentukan dan penguatan kelembagaan kesejahteraan sosial dan perlindungan anak.
Salah satunya adalah melalui pengembangan mekanisme, penyusunan standar operasional prosedur (SOP), dan pengujian layanan berbasis masyarakat di tingkat desa/kelurahan. Pengembangan mekanisme dan SOP yang ada diharapkan menjadi panduan bagi lembaga layanan di tingkat desa/kelurahan.
PATBM dan Shelter Warga
Sejak tahun 2018 Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) mengembangkan PATBM (Perlindungan Anak Terpadu Berbasis Masyarakat) sebagai lembaga perlindungan anak terpadu di tingkat desa dan kelurahan. Sementara dimulai tahun 2017 Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DPPPA) Kota Makassar mengembangkan Shelter Warga sebagai lembaga perlindungan perempuan dan anak terpadu di tingkat kelurahan, dan merupakan lembaga yang terhubung dengan UPTD PPA (Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak) Kota Makassar. Shelter Warga adalah lembaga layanan yang berbasis masyarakat.
Yayasan BaKTI melalui Program SAFE4C membentuk dan memperkuat PATBM dan Shelter Warga sebagai lembaga kesejahteraan sosial dan perlindungan anak berbasis masyarakat di desa dan kelurahan. Pembentukan dan penguatan PATBM dan Shelter Warga di tingkat desa dan kelurahan adalah dukungan terhadap program pemerintah provinsi dan kabupaten/kota untuk memperkuat pelayanan kesejahteraan sosial dan perlindungan anak berbasis masyarakat.
Di sisi lain, sejumlah desa dan kelurahan yang telah memiliki kelembagaan perlindungan anak atau program dan kegiatan perlindungan anak, memperoleh dukungan untuk semakin memperkuat program dan kegiatan perlindungan anak. Sebagaimana dikemukakan oleh Sultan, Kepala Desa Bonto Tallasa, Kabupaten Maros bahwa, pemerintah desa membutuhkan dukungan dan dampingan dari pemerintah kabupaten dan lembaga-lembaga seperti Yayasan BaKTI dan UNICEF agar perlindungan anak di desa dapat dipercepat dan tepat. Sementara Darawati, Kepala Desa Sambueja, Kabupaten Maros, menyebut desanya diharapkan menjadi desa yang memberikan perlindungan terhadap perempuan dan anak, karena itu pemerintah desa dan masyarakat membutuhkan dukungan untuk pengembangan dan penguatan kelembagaan.
Pembentukan dan penguatan PATBM, Shelter Warga, atau nama lainnya di tingkat desa harus disesuaikan dan mengakomodasi potensi dan sumber daya yang ada di desa. Sebagai lembaga berbasis masyarakat, kekuatannya terletak pada kader desa, tokoh masyarakat, dan pemerintah desa, yang selama ini telah berperan dalam kegiatan-kegiatan di desa, termasuk di dalam perencanaan dan penganggaran di desa.
Karena itu, mengakomodasi pihak-pihak tersebut juga merupakan bagian dari advokasi untuk perencanaan dan penganggaran desa yang berpihak pada kesejahteraan sosial dan perlindungan anak di desa.