Suatu waktu, terjadi perdebatan dalam satu rapat, seorang ASN (Aparatur Sipil Negara) yang bertugas pada bagian hukum sekretariat daerah di sebuah kabupaten di Provinsi Sulawesi Selatan mempertanyakan, mengapa harus ada tenaga pendamping atau paralegal di tingkat desa/kelurahan, dan mengapa mereka harus diakui dan dilegalkan oleh pemerintah daerah. Menurut si ASN ini, dengan pengakuan yang diberikan oleh pemerintah, kemungkinan tenaga-tenaga sukarelawan ini akan memanfaatkan atributnya untuk mencari keuntungan pribadi.
Pertanyaan tersebut bisa dimaklumi, karena tidak semua orang mempunyai pengetahuan atau pengalaman yang sama dalam mengetahui dan menghadapi masalah tertentu. Namun, kekhawatirannya sangat berlebihan. Pasalnya orang-orang yang menjadi ‘klien’ atau didampingi oleh tenaga pendamping, umumnya adalah warga miskin dan marginal. Jadi yang terjadi bukan keuntungan ekonomi sebagaimana pengacara profesional, melainkan kerugian waktu, tenaga, dan materi.
Layanan di Komunitas
Istilah pendamping dapat ditemukan pada beberapa instrumen hukum nasional. Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU No. 12/2022) menyebutkan, pendamping adalah orang yang dipercaya dan memiliki kompetensi mendampingi korban dalam mengakses hak atas penanganan, perlindungan, dan pemulihan (Pasal 1 angka 14).
Pendamping merupakan organ penting dalam layanan berbasis komunitas (LBK). LBK adalah serangkaian upaya yang dilakukan komunitas untuk mewujudkan tersedianya layanan untuk perlindungan dan pemenuhan hak perempuan dan anak korban kekerasan di lingkungan sekitarnya. Komunitas yang dimaksud dapat berbasis wilayah (desa, kelurahan, negeri, lembang), berbasis kelompok dengan latar belakang tertentu (kelompok agama, organisasi profesi), ataupun berbasis institusi (sekolah, panti).
Sebagai organisasi di komunitas, LBK mempunyai posisi penting secara sosial, di mana lembaga layanan negara/pemerintah hanya tersedia di tingkat kabupaten/kota. Yayasan BaKTI melalui Program MAMPU (Kemitraan Australia Indonesia untuk Kesetaraan Gender dan Pemberdayaan Perempuan), yang kemudian dilanjutkan dengan Program INKLUSI (Kemitraan Australia Indonesia Menuju Masyarakat Inklusif) mendorong pembentukan dan penguatan kelompok di tingkat desa/kelurahan, di antaranya untuk memberikan pelayanan korban kekerasan dan perlindungan sosial.
Pembentukan kelompok yang disebut sebagai kelompok konstituen, forum pemerhati desa, atau kelompok kerja (Pokja) Inklusi, yang menjadi lembaga layanan di komunitas, tidak sekadar menambah jumlah lembaga/organisasi di tingkat desa/kelurahan, tetapi mengisi ruang kosong yang seharusnya merupakan tugas negara/pemerintah. Disebut “ruang kosong” karena negara/pemerintah tidak mempunyai aparat profesional di tingkat kecamatan dan desa/kelurahan yang dapat menangani korban kekerasan, terutama perempuan dan anak.
Negara/pemerintah telah mempunyai struktur hingga tingkat terendah semacam RT (rukun tetangga) dan RW (rukun warga). Namun, sebagai wakil pemerintah tingkat terendah, mereka tidak mampu, tidak mempunyai perspektif, bahkan tidak tahu, apa yang harus dilakukan ketika menemukan perempuan dan anak menjadi korban kekerasan, apalagi kalau kekerasan seksual.
Layanan Korban Kekerasan
Pemerintah telah membentuk UPTD PPA (Unit Pelaksana Teknis Dinas-Perlindungan Perempuan dan Anak) yang sebelumnya bernama P2TP2A (Pusat Pelayanan Terpadu Perlindungan Perempuan dan Anak) yang berada di tingkat kabupaten/kota dan provinsi. Terlepas dari kekurangan dan permasalahannya, UPTD PPA/P2TP2A di beberapa daerah telah menjadi lembaga layanan yang cukup baik untuk perlindungan perempuan dan anak.
Namun, UPTD PPA/P2TP2A tidak mempunyai petugas di tingkat desa/kelurahan. Karena itu, inisiatif-inisiatif yang dilakukan berbagai organisasi dan masyarakat untuk menyediakan layanan hingga di tingkat desa/kelurahan perlu didukung dan diapresiasi. Pasalnya, pengadaan layanan bukanlah perkara mudah dan tidak murah. Lembaga layanan membutuhkan tempat (sekretariat dan rumah aman/shelter) dan sumber daya manusia yang tidak hanya mumpuni, tetapi juga harus mempunyai empati dan pemihakan terhadap korban.
Pengalaman kelompok konstituen yang di dalamnya membentuk layanan untuk korban kekerasan dan layanan untuk perlindungan sosial, memberi pelajaran bahwa penyediaan layanan di tingkat komunitas membutuhkan kerelawanan, pengetahuan, dan keterampilan yang tinggi. Mereka-mereka yang telah mempunyai pengalaman dalam memberikan pelayanan terhadap warga, seperti Ketua RT/RW dan tokoh masyarakat, pun tidak mudah menjadi pendamping, karena penanganan kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan, anak, disabilitas, dan kelompok marginal, selain membutuhkan pengetahuan dan keterampilan, juga empati terhadap korban yang mempunyai permasalahan yang kompleks.
Korban kekerasan, terutama perempuan dan anak, apalagi mereka juga merupakan masyarakat miskin dan marginal, tentu mempunyai permasalahan dan suasana psikologi yang sangat kompleks. Karena sebelum menjadi korban kekerasan, mereka telah menjadi korban karena stigma dan kondisi sosial yang dialaminya.
Karena itu, penguatan pendamping sebagai orang yang mendampingi dan menangani korban kekerasan tidak sekadar memberi pengetahuan dan keterampilan, tetapi harus mengubah perspektif dan sikap terhadap kelompok miskin, marginal, dan rentan. Perempuan dan anak yang menjadi korban kekerasan, apalagi jika menyandang disabilitas, maka dia telah menjadi korban yang kesekian kalinya, atau kekerasan yang dialaminya berlapis. Sehingga pendampingan dan penanganan yang diberikan oleh pendamping di kelompok konstituen sebagai LBK juga dapat memperkuat dan memberdayakan korban.
Layanan Perlindungan Sosial
Kelompok konstituen juga memberikan layanan terkait dengan perlindungan sosial, seperti membantu pengurusan/pembuatan KTP (kartu tanda penduduk), kartu keluarga (KK), akta kelahiran, dan BPJS Kesehatan.
Bagi sebagian orang, pengurusan surat-surat yang digunakan sebagai identitas kependudukan dan kewarganegaraan adalah hal yang mudah. Namun, bagi masyarakat miskin dan marginal, surat-surat tersebut merupakan barang mewah dan mahal. Apalagi kantor-kantor yang menerbitkan surat-surat itu harus dijangkau dengan mengeluarkan sejumlah biaya yang memberatkan bagi masyarakat miskin dan marginal.
Keberadaan kelompok konstituen menjadi jembatan untuk menghubungkan masyarakat miskin dan marginal. Dukungan kelompok konstituen yang melakukan pendataan, kemudian melakukan advokasi untuk penerbitan KTP dan KK bagi disabilitas, terutama disabilitas mental yang selama ini mengalami stigma dan disingkirkan, seperti ODDP (orang dengan disabilitas psikososial)/ODGJ (orang dengan gangguan jiwa), adalah sesuatu yang baik bagi pemenuhan hak dan perlindungan disabilitas mental sebagai warga negara.
Bekerja dengan Data
Kelompok konstituen yang menyediakan LBK diperkuat untuk bekerja dengan data. Dengan begitu kelompok melakukan advokasi berdasarkan bukti (evidence based). Pada tahap awal kelompok konstituen melakukan pendataan untuk kelompok miskin, marginal, dan rentan, seperti perempuan miskin, disabilitas, transgender, lanjut usia, suku minoritas, dan penganut agama lokal.
Data yang diperoleh kelompok konstituen berbeda dengan data yang dimiliki oleh pemerintah. Sebagai contoh, kelompok konstituen melakukan pendataan di 15 desa/kelurahan di wilayah program (kabupaten/kota), kecuali Kabupaten Maros sebanyak 12 desa. Data untuk jumlah penyandang disabilitas yang diperoleh sangat tinggi (Tabel 1), jauh di atas data disabilitas yang tercatat di pemerintah.
Perbedaan tersebut dapat dijelaskan dalam tiga faktor. Pertama, tenaga pendata adalah masyarakat setempat yang dilatih untuk menjangkau kelompok miskin, marginal, dan rentan, sehingga mereka dapat mengetahui siapa-siapa yang dikategorikan sebagai miskin, marginal, dan rentan. Kedua, pendataan yang dilakukan kelompok konstituen berbasis RT/RW yang merupakan unit terkecil administrasi kependudukan, sehingga memudahkan penjangkauan. Ketiga, pendataan menggunakan ukuran keragaman disabilitas yang diharapkan menjangkau disabilitas yang sebelumnya tidak pernah dijangkau oleh pemerintah. Ini terbukti karena selama ini pemerintah mengenal disabilitas dari melihat tongkat dan kursi roda.
Data yang diperoleh kelompok konstituen ketika diekspos mendapat respons yang beragam. Pemerintah Kabupaten Maros, mulai dari Bupati Maros, Chaidir Syam, Kepala Dinas Catatan Sipil dan Kepala Dinas Sosial mengapresiasi data tersebut. Kepala Dinas Sosial Kabupaten Maros, Nuryadi menggunakan format yang digunakan kelompok konstituen untuk melakukan pendataan bagi disabilitas di seluruh desa/kelurahan se Kabupaten Maros.
Di Kota Parepare, pemerintah dan DPRD (Dewan Perwakilan Rakyat Daerah) menggunakan data tersebut untuk mengubah PIW (Pagu Indikatif Wilayah) dengan memasukkan disabilitas sebagai faktor penghitung alokasi PIW, yang sebelumnya hanya mengakomodasi perempuan dan anak. Di dalam APBD (Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah) Parepare dikenal PIW sebagai alokasi anggaran yang merupakan usulan di tingkat kelurahan.
Sebagai organisasi di tingkat desa/kelurahan, Kelompok Konstituen dibentuk dan diperkuat untuk menjadi mitra pemerintah dalam pemenuhan hak-hak dan perlindungan warga, terutama mereka yang selama ini tergolong kelompok miskin, marginal, dan rentan. Karena itu, metode dan pendekatan yang digunakan kelompok konstituen harus berada pada kerangka kerja pemerintah. LBK sebagai layanan di komunitas yang dikembangkan oleh Kelompok Konstituen dihubungkan dengan lembaga layanan yang tersedia di negara. Karena itu, pendamping yang terlatih harus diakui oleh pemerintah.[]