Kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) masih menjadi persoalan yang membayangi kehidupan perempuan di Indonesia. Data Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemenpppa) menyebutkan terdapat 25.050 perempuan yang mengalami kekerasan sepanjang tahun 2022, 58% dari jumlah tersebut terjadi dalam lingkup rumah tangga.
Berdasarkan Survei Pengalaman Hidup Perempuan Nasional tahun 2021, satu dari empat perempuan usia 15-64 tahun pernah mengalami kekerasan sepanjang hidupnya, baik yang dilakukan oleh pasangannya atau bukan pasangannya. KDRT telah memberikan dampak yang cukup signifikan terhadap korban, mulai dari percobaan bunuh diri, luka fisik, terinfeksi penyakit menular seksual, kelumpuhan, gangguan kesehatan mental, gangguan jiwa, kehilangan kepercayaan diri, kehilangan pekerjaan hingga kriminalisasi.
Sayangnya, berdasarkan pengalaman organisasi pendampingan perempuan WCC Rifka Annisa, 90% korban KDRT memilih untuk kembali kepada pasangannya karena berbagai alasan. Termasuk di antaranya adalah ketakutan dengan status janda, ketergantungan secara ekonomi, dan adanya ancaman dari pelaku. Aparat keamanan juga masih menganggap upaya damai sebagai cara yang efisien untuk menyelesaikan masalah KDRT. Padahal, perdamaian tidak serta merta menyelesaikan permasalahan. Tidak jarang kekerasan terjadi berulang bahkan terjadi lebih parah.
Sangat perlu adanya perubahan mindset dalam diri korban akan pentingnya mencintai dan mementingkan diri sendiri, sehingga korban berani keluar dari hubungan toksiknya dan lepas dari pasangannya yang abusive. Namun, mengingat masih tingginya angka kemungkinan korban kembali ke pasangannya, perlu juga ada intervensi khusus kepada pelaku.
Program konseling pelaku KDRT
Sejak 20 tahun lalu, Indonesia telah memiliki Undang-Undang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (PKDRT) yang salah satu terobosannya adalah pengaturan pidana tambahan pelaku untuk mendapatkan program konseling. Namun, implementasi aturan tersebut masih jauh dari harapan.
Program konseling bagi pelaku memang masih belum banyak dikenal sebagai alternatif penyelesaian masalah KDRT. Hukuman penjara masih menjadi hukuman tunggal para pelaku KDRT. Aturan konseling juga belum diatur secara lebih rinci dalam perundang-undangan dan belum jelas lembaga mana yang bisa memberikan konseling itu.
Selama ini, konseling bagi pelaku baru dapat diakses melalui lembaga nonpemerintah yang menyediakan layanan demikian, yang jumlahnya masih sangat sedikit, salah satunya adalah WCC Rifka Annisa. Lembaga tersebut percaya perilaku kekerasan bisa diubah dengan proses belajar termasuk bagaimana cara mengelola emosi, membangun hubungan yang setara, serta bagaimana mencegah perilaku kekerasan. Konseling yang mereka tawarkan bertujuan untuk mendorong tanggung jawab laki-laki atas perbuatannya dan mengubah cara pandang mereka terkait kesetaraan gender.
Konseling untuk pelaku KDRT, yang mayoritasnya adalah laki-laki, dapat dilakukan dalam 12 tahapan. Diawali dengan adanya asesmen awal untuk menggali informasi latar belakang klien termasuk mengenai risiko untuk kembali melakukan kekerasan. Beberapa materi yang diberikan di antaranya tentang hubungan yang sehat, teknik berkomunikasi dengan pasangan, mengelola rasa marah, keterampilan menyelesaikan konflik, membangun hubungan positif, nilai-nilai gender dan lainnya.
Dalam konseling, tantangan yang paling sering dihadapi oleh konselor adalah tidak adanya budaya yang membiasakan laki-laki untuk bercerita tentang kehidupannya, sehingga pelaku tidak mengakui telah melakukan kekerasan, menyalahkan korban, dan menganggap remeh kekerasan yang dilakukannya. Meskipun begitu, terdapat dampak positif dari adanya konseling ini, yakni adanya perubahan pemahaman dan perilaku yang lebih positif terhadap pasangan. Pelaku menjadi paham bahwa kekerasan adalah perilaku yang salah dan pentingnya menghargai serta memahami kondisi psikologis pasangan, sehingga hubungan menjadi lebih asertif.
Belajar dari Australia
Program konseling bagi pelaku KDRT sudah diterapkan di beberapa negara, seperti Amerika Serikat, Australia, Kanada, Selandia Baru, dan Inggris. Di Australia, misalnya, implementasi program intervensi bagi pelaku KDRT mulai ditingkatkan sebagai strategi jangka panjang untuk meminimalisir kekerasan terhadap perempuan. Intervensi kunci untuk mengatasi kasus kekerasan dilakukan dengan membentuk program perubahan perilaku bagi laki-laki atau Men’s Behaviour Change Program (MBCP). Tujuan program ini adalah untuk meningkatkan keselamatan perempuan dan anak, memastikan adanya pertanggungjawaban pelaku atas perbuatannya, serta memfasilitasi adanya perubahan perilaku dari pelaku.
Di Victoria, MBCP juga berfokus pada kebutuhan korban misalnya dengan penyediaan layanan kesehatan, dukungan finansial, rumah aman, dan lainnya. Sebelum program dilaksanakan akan dilakukan asesmen kelayakan pelaku untuk mengikuti program. Durasi program minimal 40 jam selama minimal 20 minggu dan dilakukan secara berkala. Dalam program intervensi pelaku, keberadaan lembaga layanan seperti lembaga perlindungan anak, layanan kesehatan termasuk kesehatan mental, ikut ambil peran krusial. Itu semua telah diatur dalam standar minimum MBCP.
Di Queensland, salah satu praktik program MBCP di UnitingCare menawarkan program yang memberikan materi mendorong perkembangan sikap dan perilaku baru. Di setiap akhir sesi terdapat praktik teknis pernafasan dengan tujuan mengurangi stress, meningkatkan fokus, dan menangani emosi yang sulit. Setiap sesinya juga mengajarkan kemampuan untuk menjaga hubungan yang saling menghormati dan fokus pada pendekatan pembelajaran orang dewasa. Keberadaan advokat disediakan untuk menjalin hubungan dengan klien dan keluarganya dan bekerja dengan fasilitator untuk memastikan keselamatan perempuan dan anak selama jangka waktu enam bulan setelah program.
Studi terhadap program MBCP di Queensland menunjukkan program intervensi tersebut berhasil meningkatkan kemampuan pelaku dalam mengelola emosi dan berkomunikasi dengan pasangan. Pasangan dari pelaku yang mengikuti program melaporkan penurunan kekerasan fisik dan separuhnya melaporkan adanya peningkatan rasa aman. Salah satu tantangan dalam program intervensi di Australia adalah melibatkan laki-laki dalam diskusi tentang perubahan perilaku, karena pelaku seringkali defensif, meremehkan atau membenarkan perilaku kekerasan yang dilakukan. Hambatan lainnya adalah masih kurangnya sumber daya manusia yang memiliki kapasitas serta keberadaan pengawas profesional yang memahami isu kekerasan domestik dan program perubahan perilaku.
Apa yang diperlukan?
Pelaku KDRT memang layak mendapatkan hukuman setimpal. Namun, seringkali pidana penjara tidak secara signifikan efektif memberi efek jera dan menghentikan masalah KDRT. Sementara itu, siklus kekerasan yang terjadi dalam rumah tangga juga tidak dapat dihentikan hanya dengan fokus melakukan penguatan dan pendampingan kepada korbannya saja. Kekerasan merupakan perilaku yang dipelajari dari lingkungan, sehingga pentingnya untuk menghentikan tumbuhnya perilaku tersebut. Kekerasan, dengan demikian, bukanlah perilaku atau karakter yang tidak dapat diubah.
Dalam hal ini, konseling bagi pelaku dapat membantu mereka mengenali alternatif perilaku yang dapat dilakukan selain menggunakan kekerasan. Ini yang disebut sebagai pelibatan laki-laki dalam upaya penghapusan kekerasan terhadap perempuan dan mewujudkan kesetaraan gender. Meski demikian, program intervensi semacam ini membutuhkan kerja kolaboratif semua pemangku kepentingan, mulai dari pemerintah dalam hal kerangka aturan, layanan di kepolisian dan pengadilan, serta lembaga non pemerintah dan organisasi masyarakat sipil yang menyediakan layanan dukungan bagi perempuan dan anak.
Ini bisa dimulai membuat aturan teknis mengenai pidana tambahan konseling pelaku agar hakim memiliki referensi dalam menjatuhkan vonis bagi pelaku KDRT. Program intervensi juga sebaiknya diberikan melalui perintah pengadilan yang kemudian harus dipantau dan dievaluasi secara berkala. Koordinasi antara pemangku kepentingan juga perlu dilakukan untuk memastikan kepatuhan klien pasca program intervensi. Sumber daya pendanaan juga harus disiapkan oleh negara.
Melibatkan laki-laki menjadi salah satu kunci untuk menghentikan kekerasan terhadap perempuan. Indonesia perlu memiliki sistem yang lebih akuntabel untuk memastikan pelaku kekerasan bertanggung jawab atas perbuatannya dan menjaga keamanan perempuan dan anak dari kekerasan.