Menurut Organisasi Perburuhan Internasional (International Labour Organization, ILO) dan Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization), jumlah orang dengan disabilitas atau penyandang disabilitas di dunia mencapai 15% dari penduduk dunia. Merujuk data yang dikeluarkan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) bahwa penduduk dunia pada November 2022 mencapai 8 miliar orang, maka jumlah disabilitas atau difabel di dunia mencapai 1,2 miliar orang.

Jika mengacu pada ILO dan WHO maka jumlah disabilitas di Indonesia mencapai 41 juta orang dari 275 juta penduduk pada tahun 2022. Angka 41 juta orang dengan disabilitas adalah suatu jumlah yang sangat besar. 

Namun, disabilitas adalah kelompok minoritas, marginal, dan rentan di dalam masyarakat, bangsa, dan negara. Bahkan di dalam keluarga tertentu, anggota keluarga yang menyandang disabilitas mengalami berbagai perlakuan yang tidak manusiawi, seperti mengalami diskriminasi dan kekerasan, disembunyikan, tidak dimasukkan dalam anggota keluarga (misalnya dalam kartu keluarga), dan sebagainya.

Disabilitas mengalami diskriminasi berlapis karena selain menyandang disabilitas, mereka juga menyandang identitas lain, seperti sebagai perempuan, anak, suku minoritas, penganut agama minoritas, dan sebagainya. Seorang perempuan disabilitas dan miskin kemungkinan mendapatkan diskriminasi berlapis sebagai perempuan, sebagai disabilitas, sekaligus kemiskinannya.

Di dalam Konvensi Hak-hak Orang dengan Disabilitas (Convention on The Rights of Persons With Disabilities, CRPD 2006) disebutkan orang dengan disabilitas adalah mereka yang memiliki keterbatasan fisik, mental, intelektual, atau sensorik dalam jangka waktu lama di mana ketika berhadapan dengan berbagai hambatan, hal ini dapat menghalangi partisipasi penuh dan efektif mereka dalam masyarakat berdasarkan kesetaraan dengan yang lainnya (Pasal 1). 

Empat kategori keterbatasan yang disebut dalam CRPD itulah yang dikenal sebagai ragam disabilitas, yang diadopsi dalam Undang-Undang Penyandang Disabilitas (UU No. 8 Tahun 2016).  Undang-Undang Penyandang Disabilitas (UUPD) menyebutkan ragam penyandang disabilitas dapat dialami secara tunggal, ganda, atau multi dalam jangka waktu lama (Pasal 4 ayat 2).

Karena keterbatasan atau kesulitan yang dialami disabilitas, maka perlu afirmasi yang dilakukan oleh negara dan berbagai lembaga untuk pemenuhan hak-hak disabilitas, di antaranya adalah partisipasi disabilitas di ruang publik dan pembangunan. Di dalam CRPD terdapat prinsip partisipasi penuh, efektif, dan keikutsertaan dalam masyarakat, serta kesetaraan kesempatan. Sedangkan di dalam UUPD disebut partisipasi penuh, kesamaan kesempatan, dan kesetaraan.

1

Partisipasi adalah Hak
Penyandang disabilitas berhak untuk berpartisipasi secara efektif dan penuh dalam urusan publik tanpa diskriminasi dan atas dasar kesetaraan. CRPD dan UUPD mengamanatkan agar publik dapat mendorong dan membuka ruang agar disabilitas berpartisipasi dalam urusan publik, termasuk mendorong dan memfasilitasi pembentukan organisasi disabilitas untuk mewakili kepentingan disabilitas di tingkat lokal, regional, nasional, dan internasional. 
Yayasan BaKTI melalui Program INKLUSI (Kemitraan Australia Indonesia Menuju Masyarakat Inklusif) bekerjasama dengan organisasi disabilitas di Kabupaten Maros dan Pemerintah Kabupaten Maros memfasilitasi pembentukan organisasi disabilitas yang diberi nama Forum Disabilitas Maros (FORDISMA). Pengurus FORDISMA berasal dari berbagai organisasi disabilitas di Kabupaten Maros, di antaranya HWDI (Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia), SHG (Shelf Health Group), NPC (National Paralympic Committee), GERKATIN (Gerakan Tuna Rungu Indonesia), dan PPDI (Perhimpunan Penyandang Disabilitas Indonesia), serta perwakilan disabilitas dari desa-desa yang merupakan wilayah Program INKLUSI BaKTI dan SCF (Sulawesi Community Foundation) yang merupakan mitra dari Kemitraan dalam Program INKLUSI. 

1

Pembentukan FORDISMA bertujuan untuk: menjadi wadah berhimpunnya disabilitas (ragam disabilitas) di Kabupaten Maros; bertindak sebagai organisasi yang memperjuangkan pemenuhan hak-hak disabilitas; dan menjadi mitra pemerintah dalam pembentukan kebijakan terkait dengan disabilitas. 

Forum ini dibentuk untuk menjadi wadah disabilitas dan organisasi disabilitas yang ada di Kabupaten Maros. Setelah dibentuk dan dikukuhkan pada Desember 2022, forum ini terlibat dalam beberapa kegiatan penting yang difasilitasi Program INKLUSI-BaKTI dan Pemerintah Kabupaten Maros. Selain pendataan disabilitas di Kabupaten Maros, forum juga terlibat penyusunan Peraturan Bupati Mengenai Penyandang Disabilitas sebagai turunan dari Peraturan Daerah (Perda) Kabupaten Maros No. 6 Tahun 2018 tentang Penghormatan, Perlindungan dan Pemenuhan Hak Bagi Penyandang Disabilitas. Penyusunan peraturan bupati diperlukan untuk menjadi rujukan bagi Pembentukan Komisi Disabilitas Daerah (KDD) Kabupaten Maros, sebagai amanah dari Peraturan Daerah (Perda) Kabupaten Maros No. 6 Tahun 2018 tentang Penghormatan, Perlindungan dan Pemenuhan Hak Bagi Penyandang Disabilitas dan Undang-Undang Penyandang Disabilitas.

1

Melalui Program INKLUSI, pengorganisasian disabilitas juga dilakukan di tingkat desa dan kelurahan. Mitra BaKTI di delapan kabupaten/kota (Kabupaten Tana Toraja, Maros, Kupang, Lombok Timur, Kota Parepare, Kendari, dan Ambon) mengorganisasikan pembentukan dan penguatan kelompok yang disebut sebagai Kelompok Konstituen (KK). Di Kabupaten Kupang diberi nama Forum Pemerhati Desa (KPD), dan Kelompok Kerja (Pokja) Inklusi di Kota Ambon. 

Pelibatan disabilitas sebagai pengurus dan anggota KK adalah langkah maju. Disabilitas, umumnya mengaku bahwa pelibatannya di dalam KK adalah pertama kalinya. Itu berarti, selama ini disabilitas tidak dianggap di dalam masyarakat, padahal jumlah mereka di desa/kelurahan tidak bisa diabaikan. Pendataan yang dilakukan di 102 desa/kelurahan, terdapat 15-30 orang dengan disabilitas tiap desa/kelurahan. Lebih dari itu, dan ini sangat fundamental bahwa, disabilitas adalah warga negara yang mempunyai hak yang sama dengan yang lainnya.

1

Suara Disabilitas dalam Kebijakan
Di Kota Parepare, musyawarah perencanaan pembangunan (Musrenbang) di tingkat kelurahan dan kecamatan telah melibatkan disabilitas sejak tahun 2023. Usulan-usulan disabilitas, sebagaimana juga usulan perempuan dan anak menjadi perhatian sejak Musrenbang di tingkat kelurahan. Pemerintah Kota Parepare juga telah mengalokasi dana yang disebut sebagai Pagu Indikatif Wilayah (PIW) untuk kelurahan, di dalamnya termasuk alokasi untuk disabilitas. Merujuk pada PIW, pemerintah kelurahan harus mengalokasikan anggaran sebesar 15% untuk perempuan, anak, dan disabilitas. 

Kebijakan PIW untuk mengakomodasi usulan Musrenbang di tingkat kelurahan bukanlah sesuatu yang baru, tetapi kebijakan Pemerintah Kota Parepare untuk menegaskan alokasi anggaran dalam PIW untuk disabilitas adalah kebijakan yang harus diapresiasi. 

Di Kota Ambon, pemerintah mengalokasikan anggaran untuk Kelompok Kerja (Pokja) Inklusi yang dimulai pada 2023. Kebijakan ini untuk mengakomodasi kebutuhan dan pemberdayaan kelompok yang di dalamnya menghimpun berbagai perwakilan, termasuk perempuan miskin, disabilitas, dan lanjut usia (lansia).

1

Apa yang dilakukan oleh Pemerintah Kota Parepare dan Kota Ambon barulah awal, tetapi itu telah membuka jalan dan contoh untuk pemenuhan hak-hak disabilitas. Membuat atau mengubah kebijakan untuk mengakomodasi suara disabilitas adalah keharusan dalam pemenuhan hak-hak disabilitas, bukan karena rasa iba atau kasihan. 

Pemerintah di daerah provinsi dan kabupaten/kota perlu membuat kebijakan khusus untuk pemenuhan hak-hak disabilitas. Selama ini kebijakan di provinsi dan kabupaten/kota yang tersedia tidak memadai untuk mengakomodasi pemenuhan hak-hak disabilitas, bahkan kebijakan yang ada masih sangat ableis atau prasangka yang mendiskriminasi dan merendahkan disabilitas. 


Aksesibilitas dan Akomodasi Layak
Partisipasi penuh di ruang publik dan pembangunan adalah hak disabilitas. Karena itu, baik individu maupun lembaga harus membuka ruang dan kesempatan untuk pelibatan dan partisipasi penuh disabilitas. Ketika melibatkan disabilitas maka perlu diperhatikan kebutuhan disabilitas untuk mengatasi hambatan dalam partisipasi di ruang publik. 

Di dalam CRPD dan UUPD dikenal istilah Aksesibilitas dan Akomodasi yang Layak. Aksesibilitas adalah kemudahan yang disediakan untuk penyandang disabilitas guna mewujudkan kesamaan kesempatan (Pasal 1 angka 8 UUPD). Sedangkan CRPD menyatakan, agar penyandang disabilitas mampu hidup secara mandiri dan berpartisipasi secara penuh dalam semua aspek kehidupan, maka diperlukan  kebijakan yang sesuai untuk menjamin akses bagi penyandang disabilitas, atas dasar kesetaraan dengan yang lainnya, terhadap lingkungan fisik, transportasi, informasi, dan komunikasi, termasuk teknologi dan sistem informasi dan komunikasi, serta terhadap fasilitas dan layanan lainnya yang terbuka atau tersedia untuk publik, baik di daerah perkotaan maupun pedesaan. Kebijakan-kebijakan ini harus meliputi identifikasi   dan   penghapusan kendala serta halangan terhadap aksesibilitas, harus diterapkan pada, antara lain: (a) gedung, jalan, sarana transportasi, dan fasilitas dalam dan   luar   ruang lainnya, termasuk sekolah, perumahan, fasilitas medis, dan tempat kerja; (b) informasi, komunikasi, dan layanan lainnya, termasuk layanan elektronik dan layanan gawat darurat (Pasal 9).

1

Aksesibilitas berhubungan dengan Desain universal. Di dalam CRPD disebutkan, Desain universal berarti desain produk, lingkungan, program dan pelayanan yang dapat digunakan oleh semua orang, semaksimal mungkin, tanpa   memerlukan   suatu adaptasi atau desain khusus. Desain universal tidak mengecualikan alat bantu bagi kelompok penyandang disabilitas tertentu pada saat diperlukan. Sedangkan Akomodasi yang layak adalah modifikasi dan penyesuaian yang perlu dan sesuai, dengan tidak memberikan beban tambahan yang tidak proporsional atau tidak semestinya, apabila diperlukan dalam kasus tertentu, guna menjamin penikmatan atau pelaksanaan semua hak asasi manusia dan kebebasan fundamental penyandang disabilitas berdasarkan kesetaraan dengan yang lainnya (Pasal 2).

Disabilitas dapat berpartisipasi dan terlibat dalam masyarakat untuk memperjuangkan dan mengadvokasi hak-haknya, jika lingkungan cukup aksesibel dan adanya akomodasi yang tersedia untuk disabilitas. Tempat pertemuan atau kegiatan memungkinkan disabilitas menjangkau dengan mudah, seperti jalan yang mempunyai jalur pemandu (guiding block) untuk disabilitas netra, terdapat bidang miring untuk disabilitas yang menggunakan kursi roda. Untuk disabilitas tuli atau bisu, dibutuhkan juru bahasa isyarat (JBI) atau pendamping yang dapat menerjemahkan bahasa isyarat dari disabilitas, dan sebagainya. 

Submission Agreement

Terimakasih atas  ketertarikan Anda untuk mengirimkan artikel ke BaKTINews. Dengan menyetujui pernyataan ini, Anda memberikan izin kepada BaKTINews untuk mengedit dan mempublikasikan artikel Anda di situs web dan situs afiliasinya, dan dalam bentuk publikasi lainnya.
Redaksi BaKTINews tidak memberikan imbalan kepada penulis untuk setiap artikel yang dimuat.  Redaksi akan mempromosikan artikel Anda melalui situs kami dan saluran media sosial kami.
Dengan mengirimkan artikel Anda ke BaKTINews dan menandatangani kesepakatan ini, Anda menegaskan bahwa artikel Anda adalah asli hasil karya Anda, bahwa Anda memiliki hak cipta atas artikel ini, bahwa tidak ada orang lain yang memiliki hak untuk ini, dan bahwa konten Artikel Anda tidak mencemarkan nama baik atau melanggar hak, hak cipta, merek dagang, privasi, atau reputasi pihak ketiga mana pun.

Anda menegaskan bahwa Anda setidaknya berusia 18 tahun dan kemampuan untuk masuk ke dalam kesepakatan ini, atau bahwa Anda adalah orang tua atau wali sah dari anak di bawah umur yang menyerahkan artikel.
 
Satu file saja.
batasnya 24 MB.
Jenis yang diizinkan: txt, rtf, pdf, doc, docx, odt, ppt, pptx, odp, xls, xlsx, ods.