Di zaman sekarang, anak muda mana yang tidak punya media sosial dan tidak mengakses media sosial setiap hari? Bisa dibilang, semua daerah yang telah terjangkau internet pasti bersentuhan dengan media sosial, terutama anak-anak muda. Data Kementerian Komunikasi dan Informatika menunjukkan bahwa tingkat penetrasi internet di Indonesia mencapai mencapai 210.026.769 jiwa atau setara dengan 77,02% dari total populasi Indonesia. Di Provinsi Sulawesi Selatan sendiri, angka penetrasi internet adalah 75,05%. Sementara itu, angka penetrasi internet berdasarkan demografi menunjukkan bahwa pengguna internet terbanyak adalah masyarakat di rentang usia 13-18 tahun yaitu 99,16%, disusul masyarakat usia 19-34 tahun sebanyak 98,64%. Konten internet yang paling sering diakses sendiri adalah media sosial sebanyak 89,15%.
Berdasarkan data-data yang ada, maka dapat disimpulkan bahwa sebagian besar masyarakat Indonesia, khususnya usia muda sangat dekat dengan internet dan mengakses konten di media sosial mereka setiap hari. Dengan begitu, kemungkinan mereka terpapar hoaks dan misinformasi pun sangat besar. Sayangnya, kecepatan berinternet terkadang tidak diiringi dengan kemampuan literasi digital yang baik. Literasi digital merupakan pengetahuan serta kecakapan pengguna dalam memanfaatkan media digital, seperti alat komunikasi, jaringan internet dan lain sebagainya. Kecakapan pengguna dalam literasi digital mencakup kemampuan untuk menemukan, mengerjakan, mengevaluasi, menggunakan, membuat serta memanfaatkannya dengan bijak, cerdas, cermat serta tepat sesuai kegunaannya.
Apa peran anak muda dalam penanggulangan hoaks dan misinformasi?
Anak muda di rentang usia 13-34 tahun merupakan pengguna internet terbanyak. Dengan begitu kemungkinan mereka terpapar, bahkan ikut menyebarkan hoaks, sangat besar. Padahal hoaks dapat menyebabkan kerugian bukan hanya bagi individu tapi dapat menjadi luas ketika informasi itu terus disebarkan. Ada berbagai penyebab menyebarnya hoaks ini, terkadang penyebabnya karena kita hanya terlalu malas untuk mencari tahu dan percaya begitu saja pada sebuah informasi. Hal ini mungkin dipengaruhi oleh kebiasaan yang membuat kita terjebak dalam kondisi demikian. Sangat disayangkan jika bonus demografi Indonesia di tahun 2030 nanti justru banyak diisi oleh orang-orang yang tidak cakap dalam bermedia sosial.
Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah dengan peningkatan literasi digital baik pada diri sendiri, maupun orang di sekitar kita. Menurut Yudha Pradana dalam Atribusi, Kewargaan Digital dalam Literasi Digital (2018), literasi digital memiliki empat prinsip dasar, yaitu:
- Pemahaman, artinya masyarakat memiliki kemampuan untuk memahami informasi yang diberikan media, baik secara implisit ataupun eksplisit.
- Saling ketergantungan, artinya antara media yang satu dengan lainnya saling bergantung dan berhubungan. Media yang ada harus saling berdampingan serta melengkapi antara satu sama lain.
- Faktor sosial, artinya media saling berbagi pesan atau informasi kepada masyarakat. Karena keberhasilan jangka panjang media ditentukan oleh pembagi serta penerima informasi
- Kurasi, artinya masyarakat memiliki kemampuan untuk mengakses, memahami serta menyimpan informasi untuk dibaca di lain hari. Kurasi juga termasuk kemampuan bekerja sama untuk mencari, mengumpulkan serta mengorganisasi informasi yang dinilai berguna.
Literasi digital dapat membawa banyak manfaat bagi kehidupan masyarakat. Manfaat tersebut di antaranya dapat menambah wawasan individu, meningkatkan kemampuan untuk lebih kritis dalam berpikir serta memahami informasi. Namun, literasi digital sendiri memiliki tantangan besar akibat arus informasi yang tidak terbendung. Masyarakat terlalu banyak menerima informasi di saat yang bersamaan sehingga sulit untuk memilah dan memahami informasi yang tepat dan benar. Sebenarnya dengan mengenali ciri-cirinya, ada beberapa cara untuk mengidentifikasi hokas, di antaranya:
1. Hati-hati dengan judul provokatif.
Berita hoax seringkali menggunakan judul sensasional yang provokatif, misalnya dengan langsung menudingkan jari ke pihak tertentu. Isinya pun bisa diambil dari berita media resmi, hanya saja diubah-ubah agar menimbulkan persepsi sesuai yang dikehendaki sang pembuat hoax. Oleh karenanya, apabila menjumpai berita dengan judul provokatif atau berlebihan, sebaiknya Anda mencari referensi berupa berita serupa dari situs online resmi, kemudian bandingkan isinya, apakah sama atau berbeda. Dengan demikian, setidaknya kita sebagai pembaca bisa memperoleh kesimpulan yang lebih berimbang.
2. Cermati alamat situs
Untuk informasi yang diperoleh dari website atau mencantumkan link, cermatilah alamat URL situs dimaksud. Apabila berasal dari situs yang belum terverifikasi sebagai institusi pers resmi -misalnya menggunakan domain blog, maka informasinya bisa dibilang meragukan. Menurut catatan Dewan Pers, di Indonesia terdapat sekitar 43.000 situs di Indonesia yang mengklaim sebagai portal berita. Dari jumlah tersebut, yang sudah terverifikasi sebagai situs berita resmi tak sampai 300. Artinya terdapat setidaknya puluhan ribu situs yang berpotensi menyebarkan berita palsu di internet yang mesti diwaspadai.
3. Periksa fakta
Perhatikan dari mana berita berasal dan siapa sumbernya? Apakah dari institusi resmi dari lembaga terkait? Sebaiknya jangan cepat percaya apabila informasi berasal bukan dari ahli atau tidak melalui wawancara langsung. Perhatikan keberimbangan sumber berita. Jika hanya ada satu sumber, pembaca tidak bisa mendapatkan gambaran yang utuh. Hal lain yang perlu diamati adalah perbedaan antara berita yang dibuat berdasarkan fakta dan opini. Fakta adalah peristiwa yang terjadi dengan kesaksian dan bukti, sementara opini adalah pendapat dan kesan dari penulis berita sehingga memiliki kecenderungan untuk bersifat subjektif. Kini ada banyak sekali situs atau aplikasi cek fakta yang bisa kita gunakan seperti cekfakta.com, turnbackhoaks.id, aplikasi Hoax Booster Tools, Google Reverse Image, dan masih banyak lagi.
4. Cek keaslian foto
Di era teknologi digital saat ini, bukan hanya konten berupa teks yang bisa dimanipulasi, melainkan juga konten lain berupa foto atau video. Ada kalanya pembuat berita palsu juga mengedit foto untuk memprovokasi pembaca. Salah satu cara untuk mengecek keaslian foto bisa dengan memanfaatkan mesin pencari Google, yakni dengan melakukan drag-and-drop ke kolom pencarian Google Reverse Images. Hasil pencarian akan menyajikan gambar-gambar serupa yang terdapat di internet sehingga bisa dibandingkan.
5. Ikut serta grup diskusi anti-hoax
Di media sosial terdapat sejumlah grup diskusi anti hoax. Di grup-grup diskusi ini, kita bisa ikut bertanya apakah suatu informasi merupakan hoax atau bukan, sekaligus melihat klarifikasi yang sudah diberikan oleh orang lain. Biasanya semua anggota bisa ikut berkontribusi sehingga grup berfungsi layaknya fungsi pencarian informasi yang memanfaatkan tenaga banyak orang.
Lalu apa yang harus dilakukan jika setelah mengecek, kita tahu bahwa itu berita hoaks. Pertama-tama tentu jangan ikut menyebarkan, tapi sampaikan kepada orang atau kerabat yang menyebarkan berita bahwa informasi itu keliru. Anak muda yang juga tumbuh bersama teknologi memiliki kemampuan yang sangat cepat dalam belajar memanfaatkan teknologi tersebut. Sangat dimungkinkan bagi mereka untuk mengecek kebenaran sebuah berita dan melaporkan berita atau situs-situs penyebar hoaks tersebut.
Melibatkan anak muda dalam dalam penanggulangan hoaks dan misinformasi di Program SBC UNICEF-BaKTI
Program SBC kerja sama UNICEF dan BaKTI berfokus pada penanggulangan hoaks dan misinformasi kesehatan melalui peningkatan literasi digital masyarakat. Program yang akan berlangsung pada Januari-Mei 2023 ini adalah kerjasama UNICEF-BaKTI dengan Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan. Program ini akan dijalankan di empat wilayah di Provinsi Sulawesi Selatan yaitu Kota Makassar, Kabupaten Maros, Kabupaten Bone dan Kabupaten Wajo.
Sebelumnya, program SBC telah memberikan Penguatan Kapasitas Komunikator untuk Penanggulangan Hoaks dan Misinformasi Kesehatan dengan Teknik Komunikasi Antar Pribadi. Dalam kegiatan ini, para komunikator yang terdiri dari tenaga kesehatan, kader masyarakat dan perwakilan kelompok-kelompok masyarakat memperoleh pengetahuan dan mempraktekan teknik Komunikasi Antar Pribadi (KAP) yang berguna untuk membangun komunikasi yang efektif dengan masyarakat. Selain itu, para peserta juga memperoleh penguatan literasi digital meliputi pengenalan internet dan media sosial, perlindungan data pribadi dan identifikasi informasi benar dan hoaks. Sejumlah 519 orang komunikator dari empat wilayah program terlibat dalam kegiatan ini.
Setelah memperoleh pengetahuan melalui Penguatan Kapasitas Komunikator untuk Penanggulangan Hoaks dan Misinformasi Kesehatan dengan Teknik Komunikasi Antar Pribadi, para komunikator kemudian mengedukasi masyarakat di sekitar mereka tentang cara menanggulangi hoaks dan misinformasi kesehatan. Hingga April 2023, sejumlah 30.354 orang di empat wilayah program telah terpapar informasi dan teredukasi mengenai cara menghadapi hoaks dan misinformasi kesehatan.
Kali ini, Sebagai upaya melibatkan kaum muda dalam kampanye penanggulangan hoaks dan misinformasi, sebagai pengguna internet dan media sosial terbanyak, maka dilaksanakan kegiatan Talk Show Penanggulangan Hoaks dan Misinformasi Kesehatan dengan mengusung tema “Saring Sebelum Sharing”. Kegiatan ini dikemas dengan konsep dialog antara pembicara dan peserta untuk berbagi pengalaman menghadapi hoaks dan misinformasi, cara kerja internet dan media sosial, pentingnya melindungi data pribadi di media sosial, dampak dan bahaya hoaks, serta cara mengidentifikasi berita hoaks dan fakta. Kegiatan yang berlangsung di Kota Makassar, Kabupaten Maros, Bone dan Wajo pada April-Mei 2023 ini diikuti oleh 250 orang perwakilan komunitas pemuda yang ada di wilayah tersebut. Para pembicara sendiri hadir dari berbagai unsur diantaranya pemerintah, akademisi, komunitas literasi maupun tokoh pemuda di wilayah program.
“Hal pertama yang harus ditanamkan kepada generasi muda khususnya yang tergabung dalam komunitas atau forum-forum di sini ialah agar ke depannya kita harus menulis dan membuat berita yang benar, bukan hoaks. Karena bisa dibilang, semua di sini adalah penulis berita, melalui media sosial masing-masing. Tanamkan dalam diri dan forum masing-masing bahwa komunitas kita ialah komunitas anti hoaks. Dengan demikian, upaya kesadaran muncul dari dalam pribadi dan kelompok kita terlebih dulu.” Ungkap Andi Syafri Chaidir S.Ip., M.H. Bupati Kabupaten Maros yang menjadi salah satu pembicara pada rangkaian Talk Show ini.
Sejalan dengan itu, para perwakilan pemuda di wilayah program, melalui kegiatan ini mengajak para anak muda untuk belajar meningkatkan kemampuan literasi digital. “Sebenarnya sesimpel anak muda jangan malas membaca dan jangan malas mencari tahu sebuah informasi saja, agar kita benar-benar bisa jadi generasi anti hoaks. Setelah itu, anak muda yang saat ini cenderung banyak berkomunitas harus terlibat dalam berbagai kegiatan edukasi masyarakat untuk meningkatkan daya nalar dan kritis, paling tidak di komunitas masing-masing.” Ungkap Citra Rosalyn Anwar, salah satu Relawan MAFINDO Makassar.
Melibatkan berbagai unsur masyarakat, termasuk anak muda, adalah upaya untuk menanggulangi hoaks dan misinformasi yang memiliki banyak dampak negatif di masyarakat. Seluruh kalangan perlu berkolaborasi untuk upaya ini, tak terkecuali anak-anak muda. Pengguna internet dan media sosial adalah kita semua, jadi kita masing-masing bertanggung jawab atas apa yang kita tulis dan sebarkan di media sosial.