Pada 22-24 Oktober 2024, Konferensi Internasional tentang Agama Leluhur atau International Conference on Indigenous Religion (ICIR) yang keenam dilaksanakan di Institut Agama Kristen Negeri (IAKN) Ambon. ICIR keenam ini bertema Performing Democracy. Tema yang mengingatkan akan pentingnya memperkuat demokrasi, sekaligus menyentil betapa demokrasi di Indonesia saat ini berada di titik nadir.
Kegiatan ICIR keenam diisi dengan seminar, talk show, mini workshop, pemutaran film, dan pentas seni. Kegiatan ini menghadirkan narasumber lokal, nasional, dan internasional. Narasumber tersebut berasal dari berbagai latar belakang di antaranya komunitas adat, praktisi, akademisi, dan pemerintah untuk berbagi pengetahuan dan pengalaman.
ICIR merupakan konferensi yang diselenggarakan secara berkala setiap tahunnya dengan mengundang komunitas, akademisi, praktisi, dan pemerintah untuk berbagi pengetahuan dan informasi terkait Agama Leluhur. Isu yang dibahas tidak terbatas pada Agama Leluhur, masyarakat penghayat, dan masyarakat adat di Indonesia saja, tetapi juga isu yang lebih luas seperti kewargaan, demokrasi, pluralisme, dan inklusi sosial. Konferensi ini pertama kali dilaksanakan pada tahun 2019 dengan melibatkan Program Peduli, Yayasan SATUNAMA, CRCS UGM, dan Komnas Perempuan sebagai penyelenggara.
Tulisan ini tidak membahas ICIR dan ICIR keenam yang kegiatannya cukup padat. Tulisan ini akan membahas dua kegiatan yang menjadi bagian dari ICIR keenam di Ambon, yakni Nonton Bareng dan diskusi film Mentawai: Soul of The Forest dan Mini Workshop bertema “Media sebagai Alat Advokasi”.
Dua kegiatan tersebut dilaksanakan berkat kerja sama Kemitraan, Yayasan BaKTI, dan Rumah Generasi, yang didukung oleh Program INKLUSI. Nonton bareng dan diskusi film Mentawai: Soul of The Forest dilaksanakan pada 23 Oktober 2024 bertempat di Ruang Rapat Kantor Walikota Ambon. Jumlah penontonnya sekitar 50 orang dari berbagai komunitas, termasuk komunitas tuli di Kota Ambon, sehingga menghadirkan juru bahasa isyarat (JBI).
Film Mentawai: Soul of The Forest mengisahkan kehidupan Suku Mentawai di Kepulauan Mentawai. Suku Mentawai hidup selaras alam yang dipelihara secara turun-temurun. Mereka memanfaatkan sumber daya alam berupa hutan, tanah, dan air sesuai kebutuhan dan secukupnya. Mereka mengambil pangan dari alam dengan cara yang tidak merusak dan tidak berlebihan. Berbagai ritual dilakukan untuk menghormati dan menjaga alam.
Namun, kehidupan Suku Mentawai mulai berubah, ketika Pemerintah Indonesia menganggap berbagai praktik dan upacara yang dilakukan Suku Mentawai tidak hanya purba tetapi juga “syirik”. Mereka dianggap pemuja roh-roh dan benda-benda yang mempunyai kekuatan, yang dikategorikan sebagai animisme dan dinamisme.
Sebagaimana ditulis pada buku-buku pelajaran, penganut agama lokal, agama asli, atau agama leluhur dianggap sebagai pemuja roh-roh, tumbuhan, benda-benda, dan sebagainya. Mereka juga mengalami stigma sebagai kelompok yang belum beradab, tradisional, dan tidak rasional.
Kepercayaan dan praktik hidup penganut agama lokal dianggap menghambat kemajuan. Karena itu, agar penganut agama lokal mendukung pembangunan dan kemajuan, jalan yang ditempuh adalah mengubah kepercayaan dan praktik hidup mereka.
Konversi secara paksa dengan kekerasan tidak hanya menjauhkan penganut agama lokal dengan sistem kepercayaannya. Lebih dari itu, menjauhkan sekaligus menghilangkan pengetahuan dan kearifan lokal turun-temurun yang telah ribuan tahun teruji memelihara kelestarian alam.
Martison Siritoitet, seorang anak Mentawai yang menjadi salah satu produser film Mentawai: Soul of The Forest, dan menjadi narasumber pada diskusi tersebut menyatakan bahwa anak-anak Mentawai telah kehilangan jati diri, tidak mengetahui lagi bagaimana Suku Mentawai hidup selaras dan memelihara alam. Di sisi lain, sebagaimana ditunjukkan di dalam film Mentawai: Soul of The Forest, Suku Mentawai semakin terjepit oleh kerusakan hutan yang dilakukan perusahaan-perusahaan yang diberi konsesi oleh negara untuk menguasai dan melakukan penebangan.
Sementara pada 24 Oktober 2024 berlangsung mini workshop bertema Media sebagai Alat Advokasi di Ruang Multimedia, IAKN Ambon. Mini workshop diisi oleh tiga narasumber anak muda, yakni Martison Siritoitet (salah satu produsen Film Mentawai: Soul of The Forest), Piet Manuputty (pekerja film), dan Jhon Laratmase (content creator). Diskusi dipandu oleh Diana Dika Songjanan.
Sebagai anak muda yang hidup di era internet dan media sosial, ketiganya melihat media sebagai alat efektif untuk advokasi, mengubah dan memperbaiki kondisi sosial dan kehidupan bernegara. Piet Manuputty menyebut film telah digunakan sebagai media untuk mendorong berbagai perubahan di berbagai belahan dunia. Produksi film pun dapat dilakukan oleh siapa saja dengan menggunakan smartphone. Sedangkan teknik pembuatannya dapat dipelajari di berbagai media sosial. Setelah dibuat, film dengan mudah diedarkan di kanal-kanal media sosial yang ada. Piet menyebut film Mentawai: Soul of The Forest yang diproduksi oleh Martison Siritoitet adalah contoh bagaimana film dapat menginformasikan suatu kondisi sekaligus menggugah orang-orang seperti kita di Kota Ambon yang jauhnya ribuan kilometer dari Mentawai.
Sebagai pembuat konten, Jhon Laratmase mengimbau kepada anak-anak agar menggunakan smartphone yang dimilikinya untuk memproduksi sesuatu yang berguna, termasuk bagaimana mengkampanyekan hak-hak penyandang disabilitas, hak-hak perempuan, hak-hak anak, dan hak-hak kelompok marginal, masyarakat adat, penganut agama asli, dan lainnya. Konten-konten pendek mengenai demokrasi dan kemanusiaan dapat diproduksi dengan mudah, yang kemudian disebar dengan harapan dapat dilihat lalu menginspirasi dan mengubah orang.
Sementara Martison Siritoitet sebagai aktivis dari Mentawai menceritakan bagaimana dirinya ingin mengenalkan berbagai sisi lain Mentawai ke dunia luar. Karena menurutnya, selama ini Mentawai yang dikenal orang luar, umumnya hanya untuk kepentingan pariwisata, sehingga Mentawai yang dikenal hanya baik-baik saja. Kondisi Mentawai dan Suku Mentawai sebenarnya tidak banyak dikenal oleh dunia luar. Kriminalisasi dan marginalisasi yang berkepanjangan terhadap Suku Mentawai, menyebabkan orang-orang Mentawai tidak hanya semakin miskin dan memprihatinkan, tetapi anak-anak muda Mentawai semakin kehilangan jati dirinya.
Ketiga orang yang menjadi pemantik diskusi sepertinya bersepakat bahwa diperlukan upaya-upaya bersama dan berkesinambungan untuk mengangkat ke permukaan kelompok-kelompok masyarakat yang selama ini mengalami kriminalisasi dan marginalisasi. Piet Manuputty menyebut di Indonesia, termasuk di Maluku terdapat berbagai masyarakat adat yang harus mendapatkan hak-hak mereka, tidak sekadar dijadikan objek tontonan dalam pariwisata. Jhon Laratmase mengimbau kepada generasi muda untuk peduli pada kelompok-kelompok yang selama ini mengalami marginalisasi dengan menggunakan media sosial. Sedangkan Martison Siritoitet menyebut generasi muda harus ikut terlibat pada berbagai kegiatan positif untuk kepentingan masyarakat, terutama masyarakat adat yang hak-haknya semakin hilang dan dihilangkan.
Nonton bareng dan diskusi Film Mentawai: Soul of The Forest dan mini workshop bertema Media sebagai Alat Advokasi adalah suatu upaya kecil yang mungkin kontribusinya juga kecil untuk mengajak dan mendorong warga, terutama generasi muda untuk mengupayakan kehidupan yang inklusif. Suatu kehidupan yang mengajak dan melibatkan semua pihak, tanpa melihat latar belakang.
Kehidupan yang inklusif dapat memberi kebebasan dan ruang bagi penganut agama lokal, agama asli, agama leluhur, dan masyarakat adat untuk hidup sebagai warga negara yang dilindungi, mengembangkan potensi, dan menjalankan kepercayaan atau keyakinan mereka. Sebagaimana dikemukakan oleh Heiner Bielefeldt (2010), di bawah hukum hak asasi manusia (HAM), negara-negara diwajibkan tidak saja untuk menghormati kebebasan beragama atau berkeyakinan, tetapi juga melindungi kebebasan itu dari campur tangan yang tidak diperlukan.