Konsen untuk membahas topik ini berhubungan dengan adanya kenyataan (masa sebelumnya) bahwa sistem pendidikan nasional tidak sensitif secara kontekstual dan tidak fungsional[1] bagi Kawasan Timur Indonesia (KTI) dan oleh karenanya telah terjadi diskrepansi dalam berbagai dimensi dan mutu antarkawasan, dan dalam KTI sendiri. Akibatnya brain power KTI tidak teraktualisasi secara optimal untuk mengarahkan pendidikan, dan lebih penting lagi, memanfaatkan potensi sendiri dan produktivitas riset serta kekuatan ilmu pengetahuan abad XXI bagi kepentingan kemajuan yang diinginkan oleh dan untuk Kawasan Timur Indonesia. Kebijakan one-size fits all ternyata tidak menguntungkan secara nasional.
Dalam implementasinya kita belajar bahwa sistem nasional memiliki kapasitas yang terbatas untuk menjamin terjadinya delivery system yang berbobot-sama bagi semua kawasan. Di samping itu terdapat juga kemampuan distribusi dan redistribusi sumber-daya, sarana-prasarana dan terutama SDM penopang pendidikan yang tidak merata. Inilah penyebab utama yang turut menciptakan diskrepansi antar kawasan di Indonesia dalam performans pendidikan bangsa secara kolektif. Amanah Konstitusi NKRI tentang equality of educational opportunity for all (Kesetaraan kesempatan Pendidikan bagi semua) ternyata belum mampu disertai dengan kebijakan mengenai equity (keadilan) yaitu jaminan untuk memperoleh layanan dan topangan pendidikan yang sama bagi semua anak bangsa dalam semua dimensinya terutama proses pembelajaran yang bermutu pada semua jenjang dan jenis pendidikan.
Kerangka Acuan Webinar yang digagas dan dilaksanakan pada tanggal 29 Maret 2022 secara implisit mempersoalkan isu ini dan memberi nuansa kuat tentang pentingnya orientasi scientific yang pro Kawasan Timur Indonesia.
Unek-unek yang berkeberatan terhadap one-size-fits-all policy seharusnya sudah lama kita nyatakan sebagai usang dan memajangnya saja dalam museum sebagai suatu kebenaran sejarah.
Adalah lebih baik bagi kita untuk menggunakan semaksimal mungkin kesempatan yang tersedia tentang otonomi, desentralisasi, dan sekarang tentang dorongan Pemerintah untuk pengembangan talenta dijital melalui berbagai program seperti Gerakan Nasional Literasi Dijital, Digital Talent Scholarship, dan Digital Leadership Academy[2]. Kita harus manfaatkan hak berdemokrasi abad ke XXI ini dan menjadikannya sebagai kekuatan kolektif yaitu bargaining power berbasis pengetahuan moderen untuk dijadikan engine of growth bagi masa depan KTI yang self-propelling berbasis pendidikan yang kontekstual dan fungsional. Yang disebutkan terakhir ini adalah tantangan baru dan karenanya membutuhkan model yang tepat bagi Human Capital Formation untuk KTI.
Tetapi, harus kita ingat bahwa KTI sendiri amat luas dan beragam corak dan ciri-khasnya. Itulah sebabnya, siapakah yang dapat memberi satu peta-jalan sebagai solusi yang uniform bagi pembangunan Kawasan kita yang berdimensi jamak ini.
KTI dan Dimensi Pendidikan Masa Depan
Upaya membuat skenario pendidikan yang kontekstual dan fungsional bagi KTI untuk masa depan akan merupakan tantangan yang amat kompleks. Dengan mengemukanya peranan yang signifikan dari Artificial Intelligence kita disadarkan bahwa berbagai misteri kehidupan dapat diurai dan ditemukan solusinya dengan topangan penelitian dan ilmu pengetahuan. Secara singkat kehidupan kita dalam era revolusi industry 4.0 sekarang ini ditandai dengan tiga realitas dimana: (i) data merupakan currency atau basis pengembangan segala kebijakan utama; (ii) artificial intelligence menjadi faktor penentu bagi pengambilan keputusan, dan, (iii) otomasi menjadi norma. Inovasi yang berkesinambungan, bahkan disruptif, lahir dari sinergi, kemampuan dan kekuatan ketiga realitas tersebut yang memungkinkan integrasi antara teknologi, dunia maya dan manusia. Hasilnya adalah suatu kolaborasi jaringan yang memiliki kandungan data yang amat kaya. Tersedianya data yang sedemikian besar (big data) memungkinkan diadakannya analisis dan perhitungan dengan presisi yang tinggi untuk kepentingan berbagai rekayasa teknologi seperti simulasi otomatik dan intelligent robots untuk menopang produktivitas industri dan kepentingan pertumbuhan ekonomi global.
Penetrasi nilai-nilai baru yang menyatu dengan kemajuan teknologi akan terus terjadi dan mempengaruhi pola hidup manusia. Karena kenyataan tersebut tidak akan berhenti, maka kita membutuhkan rancangan pendidikan yang dapat mengakselarasi teknologi sedemikian rupa agar manusia dan teknologi memiliki sinergi yang dinamik dan positif. Dimensi ini antara lain menjadi dasar bagi Jepang untuk mengembangkan “masyarakat 5.0” dimana peranan teknologi moderen akan diintegrasikan secara bertanggung-jawab dan berkelangsungan dengan kualitas hidup. Dalam konteks masyarakat 5.0, kehidupan individual dan masyarakat akan ditopang oleh relasi manusia dan mesin. Relasi tersebut hanya bisa terjadi secara saling menopang apabila persepsi manusia berkembang secara benar dan ditopang pula oleh tingkat kognisi dan perilaku yang matang. Masyarakat yang berubah tersebut harus memperoleh jaminan dan perlindungan pemerintahnya pada aspek legal, etik dan keamanan dalam berbagai bentuk, terutama dalam relasi antar sesama manusia, dan antara manusia dan mesin. Itulah sebabnya Jepang mengantisipasi kesejahteraan masa depan berbasis teknologi yang human centric.
Mengapa masyarakat masa depan yang ditopang dengan transformasi dijital dikemukakan dalam kerangka pembicaraan tentang masa depan pendidikan di KTI – apakah tidak over-ambitious?
Kita jangan lengah sedikitpun terhadap kenyataan bahwa masa depan pun sudah hadir sekarang di KTI, oleh karena itu KTI tidak IMMUNE terhadap perubahan dan implikasinya yang mempengaruhi seluruh aspek kehidupan manusia, termasuk rancangan dan sistem pendidikan untuk KTI. Stock of knowledge dan experience dalam mengelola dan mengembangkan pendidkan di KTI selama ini tidak dengan begitu saja merupakan jaminan untuk diextrapolasi ke suatu masa depan KTI yang unprecedented. Model one step at a time progression tidak pernah akan membuat KTI menjembatani ketertinggalannya di masa depan yang berubah dengan sangat cepat. Bench-marking dengan sistem pendidikan yang telah maju juga hanya memperpanjang ketertinggalan kita karena yang di bench-marked tidak akan menunggu “kedatangan” kita, sebab ada kepentingan mereka untuk selalu memutakhirkan sistemnya sendiri. Berkejar-kejaran dengan masa depan yang berubah harus terjadi, sebab temuan penelitian yang mendorong pengembangan ilmu pengetahuan yang baru terjadi secara eksponensial – bukan hanya merombak body of knowledge yang eksis. Pengetahuan baru tersebut bahkan membongkar asumsi-asumsi lama dan membuatnya menjadi usang padahal itulah yang selama ini kita rujuk sebagai kebenaran yang dipercaya. Dalam hubungan ini, sangat menarik pendapat Luthfi Dzulfikar[3] tentang pentingnya kita membebaskan diri dari tradisi ikut-ikutan tren belaka. Harus ada gerakan dekolonisasi ilmu yang terlalu didominasi oleh pemikiran bangsa lain. Harus ada otoritas untuk menyelidiki sendiri agar dapat mengangkat derajat pengetahuan kita yang sudah ada berabad-abad lamanya (cf. candi Borobudur, dan lain-lain). Kita harus mampu keluar dari kemutlakan sains yang lahir dari proses dominasi bangsa tertentu saja.
Kita sudah dapat mendeteksi adanya kecenderungan untuk mengembangkan teori wawasan ilmiah dari konteks sendiri yang harus memiliki derajat yang sama dan setara dalam produksi pengetahuan secara global di kalangan intelektual kita. Dengan sendirinya model pendidikan KTI di masa depan juga harus sensitif terhadap perkembangan mutakhir ini, terutama dalam rangka produksi pengetahuan yang kontekstual dan fungsional bagi KTI. Keharusan ini ini akan selalu menempatkan KTI dalam critical tension yang menarik.
Menjembatani ketertinggalan dalam masyarakat yang sedang bertransformasi secara dijital bukanlah merupakan hal yang sederhana. Walaupun upaya tersebut pasti dilaksanakan secara serius terutama dengan pemerintah sebagai ujung-tombaknya, kesenjangan dijital akan semakin melebar karena tidak ada jaminan terjadinya digital dan technological equality di antara bangsa-bangsa. Kesenjangan dalam gap dijital turut menciptakan kesenjangan antara individu, etnis, ras, bangsa sampai pada rumah-tangga. Bangsa-bangsa yang mampu menggunakan teknologi maju sebagai pemicu pertumbuhan ekonomi biasanya menguasai juga industri dan bisnis, dan mereka menunjukkan kesejahteraan materil secara menyolok berbeda dengan negara yang masih menjadi konsumer dari kemajuan teknologi tersebut. Dalam satu negara sendiri perbedaan dan disparitas antar kawasan, pusat dan daerah, kota dan desa sangat kentara karena tidak meratanya distribusi infrastruktur dan teknologi yang menopang berbagai pembangunan sektor kehidupan seperti sosial-ekonomi, kesehatan, pendidikan, dan lain-lain. Itulah sebabnya banyak negara berkembang, termasuk Indonesia mulai mengadakan investasi dalam teknologi moderen termasuk teknologi informasi dan komunikasi sebagai salah satu solusi yang kritikal untuk menjembatani kesenjangan di atas. Dalam hubungan dengan itu hanya layak apabila pembangunan KTI menjelang masa emas Indonesia 2045, juga akan, dan harus dipengaruhi oleh ke 3 ciri masyarakat industrial 4.0 yang telah disebutkan sebelumnya, yaitu: (1) data adalah currency bagi pembangunan ; (ii) AI penentu bagi pengambilan keputusan dan (iii) Automasi adalah norma.
Pendidikan adalah salah satu sektor yang mendapat perhatian luar biasa dari negara dan provinsi di Indonesia karena pentingnya pengadaan SDM yang akan mengisi keperluan pembangunan di masa depan. Berbagai program pendidikan lanjut keluar dan di dalam negeri dipromosikan bahkan ditambahkan syarat penting untuk memilih Pergruan Tinggi terbaik dan bermutu. Ini menandai komitmen untuk mencapai dan meraih puncak-puncak kemajuan ilmu dan teknologi - tidak lain agar kesenjangan yang menyebabkan keterbelakangan dalam berbagai sektor teratasi.
Memasuki Era Indonesia Maju menjelang NKRI berusia 100 tahun (2045), Quantum-leap dalam percepatan Human Capital Formation untuk KTI juga tidak dapat dihindari. Itulah sebabnya kesempatan yang disediakan untuk mengembangkan brain-power KTI harus digunakan secara terencana antara lain dalam memilih bidang keahlian yang relevan dengan SDA, tipologi geografis wilayah, komposisi demografis dan aspirasi masyarakat kita. Hal yang amat penting diingat dalam pengembangan SDM KTI di luar negeri, adalah return strategy yang tepat sasaran. Ini berhubngan dengan pengalaman yang selalu terjadi apabila para pakar yang kembali ke daerah tidak difungsikan secara optimal dan efektif. Brain gain yang kita mimpikan dengan mudah dapat berubah menjadi brain-drain dan brain-train karena mereka yang under-utilized dan tidak direspek dengan selayaknya, dengan mudah dapat melompat ke gerbong-gerbong transportasi modern yang dapat membawa mereka ke padang lain yang berumput hijau dengan mata air yang tenang dan menyegarkan kehidupan mereka dan keluarganya.
Bagian lain dari critical tension yang disebutkan sebelumnya adalah hasil perbuatan kita sendiri. Karena collective performance dari sistem pendidikan nasional yang masih bermutu rendah bagi sebagian besar anak bangsa, maka telah dan akan terjadi kesenjangan sosial-ekonomi dan pendidikan yang mempengaruhi status dan kesejahteraan, yang berkelanjutan di antara anak bangsa sendiri. Itulah sebabnya menerawang ke masa depan KTI kita perlu merumuskan perencanaan pendidikan yang lebih fundamental untuk mewujudkan no child will be left behind di KTI.
Ada beberapa konsep kritikal yang dapat diidentifikasi di sini.
Revitalisasi amanah “mencerdaskan kehidupan (anak) bangsa”. Rancang bangun pendidikan KTI harus memiliki fondasi yang tepat dan kokoh dengan visi yang transformatif
Amanah konstitusi kita tidak hanya mengutamakan prinsip equality of education for all, tetapi juga equity dan quality. Kecerdasan anak bangsa adalah potensi yang intrinsik dan karenanya harus direvitalisasi kapasitasnya. Dapat diidentifikasi 4 kapasitas belajar pada setiap anak yang perlu diaktualisasikan secara optimal. Kapasitas intelektual berhubungan dengan anugerah untuk mengembangkan intelektualitas manusia. Kita telah mengetahui bahwa inteligensi manusia ternyata tidak ada batas yang menghalangi penerawangannya. Itulah sebabnya perlu diaktualisasikan kapasitas yang melekat pada anak manusia yaitu kapasitas sosial untuk menumbuhkan rasa solidaritas terhadap sesama, dan alam semesta. Solidaritas tersebut amat penting untuk mengabdikan ilmu pengetahuan dan teknologi bagi kepentingan dan kesejahteraan bersama agar tidak terjadi digital dictatorship dalam mengatur kehidupan bersama. Pilihan-pilihan yang benar perlu mendasari keputusan intelektual dan sosial karenanya membutuhkan pertimbangan nurani yang jernih yang bersumber pada kata-hati. Itulah sebabnya proses pendidikan perlu mengaktualisasikan kapasitas nurani pada anak manusia. Akhirnya semua keputusan untuk bertindak oleh manusia harus didasarkan pada kesadaran yang agung bahwa perilakunya suatu hari akan dipertanggung-jawabkan pada Tuhan. Ini menjadikan aktualisasi kapasitas sipiritual pada anak didik sangat penting.
Ki Hadjar Dewantoro (KHD) dengan sangat tepat merumuskan bahwa cara yang paling tepat untuk mengaktualisasikan kapasitas anak manusia ialah melalui pendekatan yang non-intrusif[4] dalam proses pembelajaran. Sahihnya prinsip dan pendekatan KHD tidak dapat disangkal terutama dalam mengkonstruksi discipline of mind pada para siswa. Hanya saja dalam kehidupan konkrit sehari-hari, berpihak kepada yang benar, yang baik dan yang adil, selalu akan berhadapan dengan berbagai tantangan yang unprecedented. Itulah sebabnya institusi pendidikan harus memiliki strategi pembelajaran yang perkasa untuk meramu dan kemudian mengemas prinsip non-intrusif KHD dengan prinsip non-apolojetik, dan non-kompromistik. Non-intrusif menghargai kebebasan untuk membentuk pendirian tanpa paksaan; non-apolojetik mempertahankan pendirian tanpa maaf; dan non-kompromistik mendemonstrasikan kebenaran dan keadilan tanpa kompromi. Dimensi ini menguatkan pendapat sebelumnya tentang pentingnya proses dekolonialisasi pengetahuan yang mendominasi kebiasaan kita dalam merencanakan pendidikan kita selama ini.
Lulusan dari institusi pendidikan di KTI apapun jenjang dan jenisnya harus dipersiapkan menjadi pilar utama yang mampu mempengaruhi the forces of change dan bukan sekedar seorang pakar maintenance dari roda pembangunan berbasis ilmu-pengetahuan dan teknologi. Tampak jelas bahwa hal tersebut menuntut akuntabilitas guru dalam proses meretas improved student learning.
Masih ada satu dimensi lagi yang berhubungan dengan pandangan mendasar yang dikemukakan sebelumnya, yaitu perlunya market ideology yang terus mempenetrasi konsep dan praktek dunia pendidikan dan dapat mempengaruhi arah Human Capital Formation (HCF). Selalu akan dituntut kompatibilitas pendidikan dengan tuntutan dunia kerja moderen yang menjunjung tinggi performativitas yaitu penguasaan kompetensi yang menjamin kinerja yang efektif dan efisien untuk meningkatkan produktivitas industri dan dunia usaha. Kecenderungan ini dapat mereduksi pembentukan HCF menjadi sempit dan akhirnya turut mengembangkan new breed of economic monsters yaitu mereka yang menjunjung spirit of self-seeking individualism yang mengejar kompetisi untuk meraih status sosial dan ekonomi dengan renumerasi yang tinggi.
Sistem pendidkan di KTI sebaiknya setuju dengan kalangan yang kritis terhadap adnya pengembangan HCF yang reduktif. Kalangan yang kritis ini kemudian menonjolkan sebagai ciri khas pendidikan abad XXI yaitu pengembangan daya imajinasi. Mereka setuju dengan pendirian Friedman[5] dkk. (2011) bahwa:
“going forward we are convinced, the world increasingly will be divided between high imagination-enabling countries which encourages and enable the imagination and extras of their people and low-imagination-enabling countries which suppress or simply fail to develop their people’s creative capacities and abilities to spark new ideas, start up new industries and nurture their “extra”.
Mereka mengajak kita untuk berkeyakinan bahwa hanya komitmen yang konkrit untuk mengembangkan daya imajinasi yang berbasis pada pemikiran kreatif sajalah yang dapat menjadikan bangsa (dalam hal in penduduk di KTI) menjadi produktif secara berkelangsungan. Dalam hubungan dengan pengembangan daya saing, proses tata-kelola komponen intelektual dalam institusi pendidikan harus dirancang secara eksplisit. Ini berhubungan dengan kepentingan sentral yaitu pengembangan kemampuan berpikir kritis. Hal tersebut merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari upaya membangun disiplin diri dan penggunaan daya analisis dan rasional untuk mebuat keputusan etikal.
Manajemen sistem instruksional yang demikian memerlukan pendekatan paedagogik yang cukup kompleks. Metodologinya perlu menggunakan disain pembelajaran berbasis penelitian (research-based-teaching-and learning). Saya menggusulkan agar KTI memlilih learning-paths dalam koridor yang demikian.
[1] Dalam model yang sederhana, pembelajaran menjadi kontekstual apabila literasinya disesuaikan dengan lingkungan habitat anak, misalnya masyarakat nelayan – pembelajaran tersebut menjadi fungsional jikalau pembelajaran berhitung dihubungkan dengan kegiatan ibunya berjualan ikan di pasar. Bahkan dimensi nilai dapat diselipkan, misalnya tentang kerja keras ayahnya melaut dan menangkap ikan. Demikian juga kejujuran dan ketegasan ibunya dalam interaksi tawar-menawar harga dengan pembelinya. Semua itu dengan sendirinya harus merupakan pendidikan yang bersifat “knowledge-based”.
[2] Hartarto Airlangga Menko Perekonomian, Pos Kupang 12 Maret 2022. apa ada judul artikel dan linknya?
[3] Luthfi.dzulfikar@the conversation.com (16 Maret 2022) apa ada judul artikel dan linknya?
[4] Ing ngarso sung tulodho, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani.--> bisa diberikan terjemahannyakah?
[5] Thomas Friedman & Michael Mandelbaum (2011), That Used to be Us : How America Fell Behind in the World and How we can come back, NY: Farral, Straus & Giroux.