Lima orang pria terlihat duduk di lantai kayu berlapis karpet plastik. Mereka tampak serius memandangi sebuah handphone yang terhubung ke pelantang. Di tangan mereka ada kertas-kertas putih dan alat tulis. Mereka adalah kader kampung dan perangkat kampung dari Kampung Buetkar, Distrik Agats, Kabupaten Asmat, Papua. Mereka sedang khidmat mengikuti pelatihan daring Kelas AKSI yang diadakan KOMPAK-BaKTI bekerja sama dengan Seknas FITRA dan pemerintah Provinsi Papua, Provinsi Papua Barat, serta Kedutaan Besar Australia.
Kelas AKSI adalah nama yang diberikan untuk pelatihan bagi kader dan perangkat kampung di lokasi implementasi program dukungan KOMPAK-Landasan di Papua dan Papua Barat. Pelatihan ini dikhususkan pada materi akuntabilitas sosial, yang terdiri dari transparansi anggaran dan pembangunan kampung serta pendidikan dasar-dasar jurnalistik untuk kader dan perangkat kampung.
Akademi Kampung Sinergi (AKSI) merupakan akademi yang bertujuan untuk meningkatkan pemahaman dan keterampilan kader di kampung, kelurahan dan distrik dalam berbagai aspek. Tempat belajar ini dapat dilakukan secara daring maupun luring dengan mengangkat berbagai tema seperti transparansi anggaran, jurnalisme, adminduk, kesehatan, pendidikan, ekonomi lokal dan lain-lain. Dalam pelaksanaan selanjutnya, AKSI akan bekerja sama dengan berbagai pihak terkait melalui koridor PROSPPEK OTSUS. Pada kelas awal AKSI, tema yang diangkat adalah: Transparansi Kampung.
Pelaksanaan Kelas AKSI akhirnya memang diadakan secara daring karena kondisi yang tidak memungkinkan untuk pelaksanaan luring atau tatap muka langsung. Setiap minggu ada dua hari pertemuan, sekali pertemuan waktu dibatasi maksimal tiga jam. Kelas ini total dilaksanakan dalam 10 hari pertemuan yang dibagi ke dalam lima minggu.
Tantangan Kelas Daring
Membuat kelas secara daring memang sudah jamak selama masa pandemi, namun untuk Papua dan Papua Barat, ini tentu menjadi tantangan tersendiri. Infrastruktur internet di Papua dan Papua Barat tidak merata, apalagi peserta sebagian besar tinggal di kampung dan biasanya tidak ada jaminan jaringan internet akan stabil sepanjang hari.
Tantangan lainnya adalah memastikan materi yang dibawakan bisa diserap oleh peserta. Membawakan materi dengan cara tatap muka saja, kita tidak bisa memastikan 100% peserta akan konsentrasi selama pelatihan, apalagi di pelatihan daring. Itu juga yang jadi alasan kenapa kelas dibatasi maksimal hanya tiga jam per hari. Tentu dengan pertimbangan untuk memastikan peserta tetap fokus.
Seknas FITRA sebagai penanggung jawab materi transparansi kampung dan tim BaKTI sebagai penanggung jawab materi jurnalisme kampung melakukan beberapa modifikasi pada modul dan materi yang dibawakan. Modul tentu disesuaikan dengan kondisi dan infrastruktur yang benar-benar menjadi tantangan. Intinya, jangan sampai peserta bosan dan malah tidak bisa menyerap materi.
Tanggal 24 Agustus 2021, kelas pertama digelar. John Theodore Weohau sebagai direktur implementasi KOMPAK, dan Legius Wanimbo sebagai perwakilan Provinsi Papua Barat membuka secara resmi kegiatan ini.
Waktu tra cukup!
“Maaf ibu, kita sinyal susah ini. Jadi keluar-masuk,” kata salah satu peserta di kolom chat aplikasi Zoom. Peserta lainnya mengeluhkan listrik yang tiba-tiba mati di tempatnya. Ada juga yang mengeluh, sinyal tiba-tiba hilang. Itu adalah beberapa tantangan yang muncul ketika kelas digelar.
Namun itu semua tidak mengurangi semangat peserta untuk tetap aktif selama pelatihan. Di setiap sesi diskusi ataupun sesi tanya-jawab, selalu ada banyak peserta yang seperti berebutan ingin memberi pendapat, bertanya, atau menjawab pertanyaan.
“Saya salut dengan para peserta Kelas AKSI, meski di tengah keterbatasan fasilitas mereka sangat antusias mengikuti kegiatan,” kata Badiul Hadi dari Seknas FITRA. Badiul Hadi juga membawakan beberapa materi terkait akuntabilitas sosial dalam pelatihan ini. Dia melihat sendiri bagaimana peserta sangat antusias mengikuti pelatihan di tengah berbagai keterbatasan yang mereka hadapi.
Sesi diskusi yang membagi peserta ke dalam beberapa grup kecil, suasana selalu ramai. Para peserta seperti tidak sabar untuk ikut memberikan pendapat, bahkan waktu diskusi yang dibatasi hanya satu jam seperti tidak cukup.
“Waktu su habis, baru tong masih diskusi,” kata peserta sambil memprotes waktu yang dirasanya sangat singkat. Itu sebagai bukti saja kalau mereka masih sangat antusias.
Tidak jarang juga, waktu yang hanya dibatasi maksimal pukul 13:00 WIT harus diulur karena kelas masih ramai. Ini tentu sangat menggembirakan mengingat kekuatiran panitia di awal terkait tantangan infrastruktur internet dan masih kurangnya pengalaman membuat kelas daring.
Antusiasme peserta itu juga diakui oleh Lasmaria Sihombing, jurnalis dan copywriter yang membawakan materi tentang memberikan judul dan keterangan foto dengan dasar-dasar jurnalistik.
“Kelasnya menarik dan seru. Pesertanya juga responsif, mau bertanya dan mau memberikan contoh-contoh liputan foto berita dan judul berita yang mereka miliki,” kata Lasmaria.
Pelatihannya Menarik
Selama pelatihan berjalan, antusiasme memang terasa dari para peserta. Hingga minggu ketiga atau pertemuan keenam setidaknya ada 60-an lebih peserta yang tercatat mengikuti pelatihan. Sebagian memang mengikutinya sendiri-sendiri menggunakan perangkat seperti laptop maupun handphone. Namun sebagian juga berkumpul di satu tempat, seperti yang dilakukan peserta di Kampung Buetkar, Asmat dan kampung Marsi, Kaimana, Papua Barat.
Dari respon peserta menurut polling yang diberikan, 64,8% peserta mengaku mereka senang mengikuti pelatihan ini karena ini memang ilmu yang mereka butuhkan. Sementara itu 14,8% peserta mengaku sangat bersemangat mengikuti pelatihan namun terkendala internet yang memang lambat dan lumayan mempersulit mereka.
Materi yang menurut mereka menarik dan memang dibutuhkan itu membuat 74,1% peserta akan mengajak rekan mereka di kampung untuk mengikuti kelas yang sama bila di kemudian hari akan dilaksanakan lagi. Ada 18,5% lainnya yang mengatakan mungkin akan mengajak rekan mereka yang lain di kampung.
“Pelatihannya berguna sekali untuk kita kader kampung ini, bisa membantu pekerjaan kita di kampung,” Kata Sakni Falden, salah satu peserta pelatihan dari Kampung Tanama, Fakfak, Papua Barat. Sehari-harinya, Sakni adalah kader kampung dan dia mengaku mengikuti pelatihan bersama tiga orang temannya di kantor desa.
Sakni mengakui pelatihan ini beserta seluruh materi yang didapatkan sangat membantunya dalam menjalankan pekerjaan sebagai kader kampung. Namun, dia juga menyayangkan waktu pelatihan yang sempit. Sakni berharap di lain waktu akan ada pelatihan yang sama yang diperuntukkan bagi mereka, kader kampung di Papua dan Papua Barat.
Sebuah Pengalaman Baru
Meski awalnya sempat ragu mengingat ini untuk pertama kalinya pelatihan diadakan secara daring dengan peserta dari Papua dan Papua Barat, namun ternyata semua terbukti tetap bisa berjalan dengan baik. Tantangan infrastruktur memang membuat beberapa peserta cukup kesulitan, tapi semangat mereka bisa mengalahkan rintangan itu.
“Pelatihan ini di luar kebiasaan kita, tapi ternyata sangat luar biasa dan bisa dilakukan di tanah Papua,” kata Dewi Malik, perwakilan dari KOMPAK yang sekaligus menjadi “kepala sekolah” untuk Kelas AKSI.
Badiul Hadi dari Seknas FITRA juga memberi tanggapannya, “Ini tentu juga menjadi pengalaman baru bagi para peserta Kelas AKSI, ketika pelatihan diadakan secara online. Semoga tidak mengurangi semangat mereka, dan pengetahuan yang didapat bisa bermanfaat dalam mewujudkan peningkatan partisipasi warga dalam pembangunan kampung, meningkatkan transparansi, akuntabilitas dan pelayanan pemerintahan kampung - termasuk Bamuskam - untuk kesejahteraan warga kampung,” katanya.
Pelatihan daring memang jadi salah satu pilihan di masa pandemi ini ketika pertemuan tatap muka dibatasi. Kelas AKSI yang akan berjalan sampai akhir bulan September 2021 ini membuktikan bahwa kelas daring juga tetap bisa dilakukan di tanah Papua. Tentu dengan penyesuaian modul dan waktu dengan memperhitungkan tantangan infrastruktur internet tanah Papua yang tidak sebagus daerah Jawa atau Sulawesi, misalnya.
Semangat para kader kampung dan perangkat kampung di tanah Papua cukup bisa mengimbangi tantangan infrastruktur tersebut. Semangat mereka tentu menjadi semangat untuk mendorong pembangunan kampung di tanah Papua lebih baik lagi.