Penangkapan ikan menggunakan bom dan sianida terlarang di Indonesia sejak tahun 2004. Sayangnya, di tengah berbagai upaya penegakan hukum tidak menutup kemungkinan nelayan melakukan tindakan ilegal ini. Padahal, melindungi ekosistem kelautan justru menjadi kepentingan nelayan.
Sepanjang tahun 2016 hingga 2018, sebagai peneliti ekologi manusia LIPI membawa saya ikut serta dalam penelitian di Kabupaten Kepulauan Selayar, Sulawesi Selatan, yang merupakan bagian dari Coral Triangle atau Segitiga Terumbu Karang, sebuah kawasan perairan yang terbentang di enam negara di Asia Tenggara dan Pasifik dan terkenal memiliki terumbu karang yang beragam dan unik.
Bersama tim Capturing Coral Reef Ecosystem Services (CCRES) saya berkesempatan untuk tinggal bersama komunitas pesisir di tiga desa untuk mempelajari mengapa dan bagaimana sebuah komunitas nelayan di Indonesia berhenti menggunakan bahan peledak dan sianida untuk mendapatkan ikan.
Penelitian kami menunjukkan bahwa beberapa individu yang sebelumnya menjalankan praktik perikanan yang merusak ternyata dapat bertransformasi menjadi pemimpin yang menginspirasi dan memengaruhi masyarakat untuk melindungi terumbu karang. Kami mengumpulkan kisah mereka yang mempraktikkan perikanan berkelanjutan, mulai dari mantan pelaku pengeboman ikan hingga para kepala desa dan pegawai pemerintahan yang telah bekerja melampaui apa yang menjadi tugas mereka demi melindungi laut.
Mereka memiliki kisah unik dan berbeda satu sama lain tentang bagaimana mengubah cara pandang mereka terhadap laut, dari yang merusak menjadi melindungi. Namun, benang merah dari kisah mereka adalah mereka menjalani transformasi setelah terlibat dalam program pemerintah yang dinamakan Program Pengelolaan dan Rehabilitasi Terumbu Karang/Coral Reef Rehabilitation and Management Program (COREMAP).
Yudi Ansar – kematian teman mendorong perubahan perspektif
Yudi Ansar melakukan praktik menangkap ikan dengan menggunakan bom sejak lulus sekolah menengah atas. Hingga suatu hari, ia menyaksikan empat orang temannya tewas menggunakan bom untuk menangkap ikan. Yudi yang kini berusia 38 tahun tidak dapat mengingat dengan pasti kapan insiden itu terjadi. Pada saat itu, ia dan teman-temannya belum mengetahui pelarangan penggunaan bom dan sianida untuk menangkap ikan.
Ia menambahkan bahwa saat itu penegakan hukum di Desa Batangmata Sapo, tempat tinggalnya yang terletak di pesisir timur Pulau Selayar, masih sangatlah lemah. Sehabis kecelakaan tersebut, Yudi berhenti menjadi nelayan dan mencari pekerjaan lain. Ia kemudian pindah ke Desa Patikarya, salah satu desa yang masuk ke dalam program COREMAP.
Ia lalu mengambil bagian dalam Lembaga Pengelola Sumberdaya Pesisir (LPSP), yang menyediakan program mata pencarian alternatif bagi nelayan yang ingin meninggalkan praktik perikanan yang merusak ekosistem laut. Program yang ditawarkan antara lain produksi ikan asin dan terasi. Saat ini, Yudi masih bekerja sebagai fasilitator dan Ketua LPSP bagi Desa Patikarya, sebuah peran yang membuatnya bisa menjadi influencer bagi nelayan lainnya untuk meninggalkan praktik menangkap ikan dengan pengeboman dan pembiusan.
Muhammad Arsyad – mantan mentor perikanan dengan bahan peledak dan sianida.
Muhammad Arsyad mulai menangkap ikan menggunakan bahan peledak sejak tahun 1987, sebuah praktik umum yang ada di desa asalnya di Kabupaten Sinjai. Selain menggunakan bahan peledak, Arsyad juga mempelajari pembiusan ikan dengan sianida dari sebuah perusahaan asing yang berbasis di Hong Kong. Ia dipekerjakan oleh perusahan tersebut menjadi pembeli ikan kerapu dan lobster hidup dari para nelayan di Desa Bontolebang, Selayar dan sekitarnya. Perusahaan tersebut meminta Arsyad agar mengajarkan nelayan lainnya menggunakan sianida.
Arsyad juga punya usaha sampingan membuat ikan asin/kering. Karena usahanya semakin berkembang, ia menghentikan kegiatan menangkap ikan pada tahun 2004. Pada tahun yang sama, ia menjadi aparat pemerintah Desa Bontolebang dan terlibat aktif dalam program COREMAP yang mulai dilaksanakan di desa tersebut. Melalui program tersebut, ia mulai menyadari tentang dampak negatif dari praktik menangkap ikan menggunakan bahan peledak dan sianida.
Tahun 2008, Arsyad terpilih menjadi Kepala Desa Bontolebang. Menggunakan pengaruhnya sebagai kepala desa dan mantan ‘bos’ bagi komunitas nelayan di daerah tersebut, Arsyad mencoba memengaruhi ‘bos-bos’ lainnya untuk menghentikan pengeboman ikan dan berhasil.
Ia juga turut melibatkan para istri dan anak nelayan untuk meningkatkan kesadaran akan pentingnya terumbu karang dan mata pencaharian lain. Perpustakaan desa dipenuhinya dengan buku-buku tentang fungsi terumbu karang, cara pemrosesan ikan, cara membuat kerajinan, dan cara beternak ayam.
Mappalewa – dipenjara karena bom ikan, kini jurkam untuk perikanan berkelanjutan
Mappalewa, telah ditangkap tiga kali karena menangkap ikan dengan bahan peledak dan sianida. Kini, Mappalewa menjadi ketua dari Lembaga Pengelolaan Sumberdaya Pesisir (LPSP). Ia mulai menggunakan bahan peledak untuk menangkap ikan di tahun 1980-an setelah mengetahui penangkapan ikan dengan bom mendapatkan hasil yang jauh lebih banyak. Pada tahun 2000-an, ia mulai menggunakan sianida karena melihat nelayan lain mampu mendapatkan ikan berukuran besar dalam jumlah yang banyak.
Pada saat itu, setelah pemerintah melarang pemboman dan sianida untuk menangkap ikan, Mappalewa justru berusaha menyuap oknum petugas lokal agar bebas dari hukuman saat melakukan praktik merusak tersebut. Belakangan ia menghentikan kegiatan dan upaya yang buruk tersebut. Sebagai ketua LPSP, ia mengampanyekan ke nelayan lainnya bahwa penangkapan ikan dengan menggunakan bahan peledak dan sianida, selain melanggar hukum, juga secara finansial tidak akan berkah.
Andi Hidayati – pemimpin desa perempuan yang menghentikan perikanan merusak
Andi Hidayati, yang berasal dari keluarga ‘bangsawan’ bagi penduduk Desa Bungaiya, awalnya memberantas praktik penangkapan ikan secara ilegal karena melihat nelayan di luar desanya yang seenaknya melakukan pengeboman dan pembiusan ketika menangkap ikan di perairan desanya.
Ia lalu menemukan bahwa sekitar 30 persen dari 246 nelayan di Desa Bungaiya ternyata terlibat dalam praktik pengeboman dan pembiusan tersebut. Selama ia menjadi Kepala Desa Bungaiya, salah satu wilayah kerja Program COREMAP. Akhirnya mengetahui bahwa masyarakatnya tidak mengetahui bahwa praktik penggunaan bahan peledak dan sianida untuk menangkap ikan merupakan praktik ilegal.
Kala itu, penduduk desa beralasan bahwa apabila tidak menggunakan bom untuk menangkap ikan, maka akan berpengaruh terhadap pendapatan mereka. Hal ini disebabkan oleh kompetisi dengan nelayan desa tetangga untuk berebut ikan. Meski demikian, ia berhasil meyakinkan penduduk Desa Bungaiya untuk bisa mengadopsi pilihan mata pencarian lainnya yang diperkenalkan melalui program COREMAP agar penghidupan mereka tetap terjaga, seperti produksi bakso ikan, makanan kecil, dan produk lainnya yang berbahan dasar ikan.
Lebih lanjut, Hidayati juga menggunakan pengaruhnya sebagai kepala desa untuk mengeluarkan peraturan desa (Perdes) tentang daerah perlindungan laut, yang isinya mengatur zona penangkapan, jenis-jenis alat pancing yang boleh digunakan, hingga sanksi yang akan dikenakan jika melanggar Perdes tersebut.
Untuk memberantas dan mencegah praktik perikanan yang destruktif/ilegal, ia juga aktif dalam melakukan patroli dan pengawasan laut yang dilakukan bersama aparat hukum dan kelompok masyarakat pengawasan.
Profil tokoh ini telah dipublikasikan di “Pengaruh sosial pada perlindungan terumbu karang: tokoh dan strategi mereka dari Selayar, Indonesia” yang diterbitkan oleh CCRES, sebuah proyek yang mengembangkan model, toolkit dan karya ilmiah lainnya untuk membantu pemerintah, pembuat kebijakan, dan perencana untuk mengelola ekosistem pesisir dan, dengan ini, dapat menjamin keberlanjutan penerima manfaat/fungsi ekosistem oleh komunitas pesisir.
Sumber: https://theconversation.com/kisah-para-pahlawan-pesisirindonesia-dari-merusak-menjadi-melindungi-124316?