Ketika Perempuan dari Kasta Bangsawan dan Hamba di Sumba Bersiasat Memutus Rantai Perbudakan (Bagian 1)
Penulis : Martha Hebi

“Sebelas kilogram,” sebut Tamu Rambu Margaretha (71) kepada petugas kesehatan di pos pelayanan terpadu (posyandu) yang berada di salah satu bagian rumahnya.

Hari itu, pertengahan September 2022, ia sibuk mengatur timbangan gantung sambil membantu mengangkat anak batita dan balita yang akan ditimbang.

Sudah 30 tahun Mama Margaretha, ia biasa disapa, mengabdi sebagai kader posyandu. Selama itu pula, ia aktif memanggil dan menegur para orangtua di Kampung Prailiu, Sumba Timur, yang tidak memeriksakan perkembangan anak mereka di posyandu.

Sebagai perempuan keturunan bangsawan di Kampung Prailiu, Mama Margaretha tidak ingin rantai perbudakan tradisional terus hidup di Sumba Timur.

Perbudakan tradisional masih sangat kental baik di perkotaan maupun pedesaan di Sumba Timur. Di sana, terdapat tiga kasta: maramba atau golongan bangsawan, kabihu atau golongan merdeka, dan ata atau golongan hamba.

Ata biasanya disebut juga dengan tau la umma, dari Bahasa Kambera, Sumba Timur, yang artinya orang dalam rumah (hamba). Istilah kabihu dalam makna yang lain adalah klan. Ketiga kasta tadi, juga memiliki kabihu (klan) masing-masing.

Ata terbagi dalam tiga golongan yakni ata ngandi, ata ndai, dan ata pakei. Ata ngandi adalah perempuan hamba yang dibawa oleh perempuan bangsawan saat menikah. Ata ndai adalah hamba yang dimiliki secara turun-temurun oleh keluarga bangsawan. Ata pakei adalah hamba yang dibeli oleh keluarga bangsawan dari keluarga bangsawan lainnya.

Mama Margaretha, ibu, dan neneknya memiliki ata ngandi saat menikah dengan suami mereka. “Mama saya, dia bawa sepuluh orang hamba, satu laki-laki dan sembilan perempuan,” kata Mama Margaretha.

Ibu dari Mama Margaretha, Rambu Padu Jabu, berasal dari Bulubokat, Maradesa, yang saat ini secara administrasi negara masuk ke dalam Kabupaten Sumba Tengah. Ketika menikah, Rambu Padu Jabu tinggal dan menetap di Rakawatu, Sumba Timur, di kediaman sang suami dengan membawa ata ngandi-nya.

Menurut penuturan Mama Margaretha, dari sembilan perempuan hamba yang dibawa ibunya, ada satu orang yang akhirnya menjadi ngara hunga.

Ngara hunga dalam Bahasa Kambera, Sumba Timur, berarti nama yang muncul. Dalam konteks perbudakan, ngara hunga berarti nama seorang bangsawan yang dipakai dan menjadi panggilan keseharian yang mengikuti nama hambanya.

Misalnya, ibu dari Mama Margaretha adalah Rambu Padu Jabu. Nama panggilan kesehariannya adalah Rambu nai Hana (Rambunya Hana) yang artinya perempuan bangsawan yang memiliki hamba bernama Hana.

“Kalau appu (nenek Mama Margaretha) dari Lawonda, Sumba Tengah, namanya Rambu Newa. Saya kurang tahu dia bawa hamba berapa dulu. Ngara hunga-nya  appu Rambu nai Lingga,” Mama Margaretha menambahkan.

Sementara itu, Mama Margaretha ketika menikah dengan almarhum suaminya, Tamu Umbu Ndjaka, ia membawa enam orang hamba. Almarhum suami Mama Margaretha adalah bangsawan yang menjadi tuan di Kampung Raja Prailiu.

Mama Margaretha sebetulnya juga memiliki ngara hunga. Namun, ia lebih sering dipanggil dengan namanya sendiri, Rambu Etha atau Rambu Margaretha. “Waktu kami menikah, ‘anak-anak dalam rumah’ sudah ikut serta. Kita tidak bisa menolak mereka. Itu budaya kita dulu. Tetapi kita juga harus pikirkan bagaimana masa depan mereka sekarang,” kata Mama Margaretha.

Buku Penataan Nusa Tenggara Pada Masa Kolonial 1915-1950 karya I Ketut Ardhana (2005) menggambarkan bahwa rantai perbudakan di Sumba Timur sudah ada sejak abad ke-16. Kebanyakan dari mereka adalah anak berusia 8-14 tahun.

Lambat laun, perbudakan menjadi tradisi yang penting untuk dilanjutkan. Selain sebagai tameng untuk melanggengkan tenaga kerja tak berbayar, sejumlah studi juga menyebut kehadiran hamba juga sebagai status sosial seorang bangsawan. Poin terakhir ini yang kemudian menunjukkan betapa pentingnya keberadaan sosok hamba dalam struktur sosial di Sumba.

Pendidikan Sebagai Siasat
Mama Margaretha dan suaminya memiliki prinsip yang keras dalam hal pendidikan anak-anak mereka. Pasangan ini memiliki delapan orang anak dan semuanya menyelesaikan kuliah di Yogyakarta. “Dari SD sampai SMA, semua jalan kaki ke sekolah. Kalau sudah terlambat ke sekolah baru kami kasih uang bemo. Uang jajan juga kadang saja. Kami juga hidup seperti orang lain,” katanya.

Mama Margaretha melawan stigma yang menyebut keluarga maramba pasti hidup dengan mewah. Sebaliknya, menurut Mama Margaretha, mereka juga harus bekerja, bertani, beternak, dan menenun.

Suami Mama Margaretha yang dulu mengurusi lahan pertanian dan ternak mereka – sapi, kerbau, dan kuda. Mama Margaretha yang akan mengurusi rumah, tenun, dan ternak kecil seperti babi dan ayam. Dari kerja-kerja ini, mereka mampu menyekolahkan anak-anak mereka dan anak-anak dalam rumah. 

Mama Margaretha tetap fokus mengurus tenun, selepas kepergian suami pada 2008. Semua urusan pekerjaan suaminya diambil alih oleh anak kelima, seorang laki-laki paling bungsu. Mama Margaret memiliki delapan anak, 3 laki-laki dan 5 perempuan. Dua anak laki-laki paling tua sudah bekerja di tempat lain dan tidak lagi tinggal serumah dengan Mama Margaret.

“Semua yang tinggal di rumah harus sekolah, mau anak kandung, anak-anak dalam rumah, ya, harus sekolah,” kata Mama Margaretha. Ia merasakan betul pentingnya pendidikan dalam membentuk cara berpikir.

Margaretha muda hanya mampu menempuh jenjang pendidikan hingga kelas tiga sekolah menengah pertama. Pada masa itu, keluarga bangsawan tidak menyekolahkan anak-anak perempuannya karena khawatir bertemu jodoh yang bukan dari golongan sama.

“Saya hanya sampai kelas tiga SMP, saya tidak lulus. Kalau mama sampai kelas tiga SR,” kata Mama Margaretha, seraya menjelaskan SR atau Sekolah Rakyat setara dengan SD saat ini.

“Mama keras sekali dulu. Waktu saya kelas satu SD, saya pernah malas-malasan ke sekolah. Saya pake alasan badan lemas karena malam makan nasi jagung dan sayur saja, pagi juga begitu. Aiih, Mama marah, dia suruh saya siap memang ke sekolah. Dia ambil kayu kejar saya.”

“Lalu Mama dari belakang antar saya ke sekolah, kalau saya jalan lambat sedikit kena habok (pukul) dengan kayu. Tapi saya lebih kuat lari,” kisahnya sambil tertawa.

Mama Margaretha mulai menyekolahkan anak-anak dalam rumahnya pada tahun 1980an, ketika itu anak laki-laki keduanya juga mulai memasuki usia sekolah. Situasi ini sangat jarang, karena yang terjadi anak-anak maramba didampingi ata saat berangkat sekolah, bukan ata ikut bersekolah.

Kedisiplinan keluarga Mama Margaretha dalam pendidikan juga berlaku bagi para perempuan hamba.

“Bapa (suaminya) sudah siap memang kayu atau rotan. Ini rotan yang biasa pake pukul kuda waktu pacuan. Begitu tahu ada yang tidak pergi sekolah kena lop (pukul) sudah. Kalau saya hanya nasehat saja,” kisahnya sambil menyebutkan nama beberapa anak yang pernah “mendapatkan” rotan.

Ia bercerita perempuan hamba di rumahnya rata-rata lulus SD, SMP, SMA bahkan ada yang juga kuliah. Mereka bahkan bebas menentukan pilihan setelah lulus, ada yang jadi pegawai BUMN, ada yang memiliki usaha sendiri, dan ada yang memutuskan untuk pergi keluar Sumba untuk bekerja.

“Waktu Rambu Raing (anak pertama) kuliah ke Yogya, kami juga kasih sekolah satu anak (hamba) ke Kupang. Orangtuanya juga dukung waktu dia kuliah bukan hanya kami saja,” kata Mama Margaretha.

Mama Magaretha menjadi satu dari sedikit keluarga bangsawan yang menyekolahkan hambanya. Tradisi umum yang ada adalah keluarga maramba enggan menyekolahkan hambanya karena khawatir mereka menjadi pintar lalu melarikan diri.

Tradisi itu yang ingin diputusnya, salah satunya melalui seni

Saat mewawancarai Mama Margaretha, di samping rumahnya begitu banyak anak-anak yang sedang berlatih menari tradisional, menyanyi beraneka lagu dan bermain permainan anak Sumba.

Rupanya, anak perempuan Mama Margaretha, Rambu Ana mengorganisir anak-anak di Kampung Prailiu lewat berbagai kegiatan seni. Bagi keluarga besar Mama Margaretha, seni mampu menembus batas relasi tuan dan hamba sekaligus membawa anak-anak untuk mengenal budaya mereka.

Hal ini juga didukung menantunya, suami Rambu Ana, yang turut mendukung upaya keluarga untuk mengenalkan tradisi seni kepada generasi muda di Sumba.


Artikel ini bersumber dari: https://projectmultatuli.org/ketika-perempuan-dari-kasta-bangsawan-dan-hamba-di-sumba-bersiasat-memutus-rantai-perbudakan/
 

Submission Agreement

Terimakasih atas  ketertarikan Anda untuk mengirimkan artikel ke BaKTINews. Dengan menyetujui pernyataan ini, Anda memberikan izin kepada BaKTINews untuk mengedit dan mempublikasikan artikel Anda di situs web dan situs afiliasinya, dan dalam bentuk publikasi lainnya.
Redaksi BaKTINews tidak memberikan imbalan kepada penulis untuk setiap artikel yang dimuat.  Redaksi akan mempromosikan artikel Anda melalui situs kami dan saluran media sosial kami.
Dengan mengirimkan artikel Anda ke BaKTINews dan menandatangani kesepakatan ini, Anda menegaskan bahwa artikel Anda adalah asli hasil karya Anda, bahwa Anda memiliki hak cipta atas artikel ini, bahwa tidak ada orang lain yang memiliki hak untuk ini, dan bahwa konten Artikel Anda tidak mencemarkan nama baik atau melanggar hak, hak cipta, merek dagang, privasi, atau reputasi pihak ketiga mana pun.

Anda menegaskan bahwa Anda setidaknya berusia 18 tahun dan kemampuan untuk masuk ke dalam kesepakatan ini, atau bahwa Anda adalah orang tua atau wali sah dari anak di bawah umur yang menyerahkan artikel.
 
Satu file saja.
batasnya 24 MB.
Jenis yang diizinkan: txt, rtf, pdf, doc, docx, odt, ppt, pptx, odp, xls, xlsx, ods.