Data yang menggambarkan realita kehidupan perempuan dan anak Maluku di tahun 2018 dan hingga pertengahan 2019 memperlihatkan masih tingginya kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak di Maluku. Kekerasan seksual terhadap Anak menempati posisi tertinggi disusul Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Dalam kerangka penegakan Hak Asasi Manusia dan mandat konstitusi, negara wajib mengambil semua langkah sebagaimana kewajiban dan kewenangannnya untuk memastikan korban mendapatkan haknya antara lain perlindungan di hadapan hukum, pemulihan yang paripurna dan reintegrasi sosial. Sejauh ini, tanggung jawab negara terlihat pada penegakan hukum untuk kasus-kasus Kekerasan terhadap perempuan dan anak di kepolisian, kejaksaan dan lembaga peradilan, utamanya di Polres Pulau Ambon PP Lease. Dukungan Pemerintah Provinsi baru terlihat melalui pembentukan dan penetapan kembali P2TP2A pada tahun 2018, tanpa dukungan sumber daya. Dukungan penuh terhadap korban justru utamanya datang dari lembaga-lembaga layanan yang digerakkan oleh masyarakat sipil. Sudah saatnya peta dukungan ini harus berubah. Negara (dalam hal ini Pemerintah Provinsi Maluku) harus mampu menjalankan mandat dan tanggung jawabnya untuk melindungi warganya, terutama perempuan dan anak korban kekerasan, sebagaimana yang telah diamanatkan konstitusi dan segenap perundangan yang ada.
Korban yang dimaksudkan di sini adalah perempuan dan anak yang oleh sebab tertentu mengalami tindakan kekerasan baik fisik, psikologis, seksual maupun ekonomi baik di ruang privat atau domestik maupun publik. Tindakan yang merupakan pelanggaran terhadap hak asasi manusia dan perendahan terhadap martabat perempuan, sebagian diantaranya adalah berupa tindak pidana yang harus dipertanggungjawabkan secara hukum. Sementara, kebutuhan perlindungan dan pemulihan terhadap korban, tidak terbatas pada aspek hukum semata.
Hukum dan perundang - undangan yang melindungi hak-hak perempuan dan anak telah diinstitusionalisasikan dengan sangat baik. Penegakan hukum demi keadilan bagi korban sudah mulai ditata dan mengalami beberapa kemajuan. Kebijakan
penegakan hukum yang bersifat vertikal, memudahkan daerah menyesuaikan kemajuan yang terbangun di tingkat Nasional. Sayangnya kemajuan dari sisi penegakan hukum ini, belum sejalan dengan kebijakan pemulihan bagi korban yang utamanya ditopang oleh pemerintah. Soal birokrasi dan kerumitan koordinasi antar bidang, serta political will eksekutif, masih menjadi kendala bagi korban mendapatkan dukungan dari beragam aspek seperti medis, psikologis, sosial dan ekonomi.
Perempuan dan Anak Maluku Dalam Kumparan Kekerasan
Tindak kekerasan yang melilit kehidupan perempuan dan anak Maluku kian hari kian membentuk kumparan kusut. Data penanganan kasus dari Polres Pulau Ambon PP Lease sebagai satu-satunya sumber data kajian yang menghasilkan risalah ini, mengemukakan sebuah realita yang miris. Sejak Januari 2018 hingga Juni 2019, setidaknya 434 perempuan dan anak Maluku mengalami tindak kekerasan dalam berbagai bentuk.
Di tahun 2018, tercatat 264 laporan polisi yang ditangani oleh Unit Perlindungan Perempuan dan Anak (UPPA) Polres P Ambon PP Lease. Sementara jumlah laporan polisi yang masuk pada pertengahan tahun 2019 memperlihatkan kenaikan yang sangat signifikan dimana angkanya sudah melebihi separuh dari angka total tahun 2018 .
Rata-rata jumlah laporan tiap bulannya adalah pada kisaran 22 kasus. Ini berarti rata-rata setiap minggunya ada 4-5 kejadian kekerasan terhadap perempuan dan anak yang dilaporkan (lihat Grafik 2).
Kasus Kekerasan Terhadap Anak (KTA)
Total kasus KTA yang dilaporkan tahun 2018 adalah 169 kasus. Angka ini naik 15% dari tahun 2015. Jadi, setiap tahunnya terjadi kenaikan 5%. Grafik 1 memperlihatkan dominasi kasus KTA terhadap total laporan tahun 2018. Rata-rata 15 kasus diperkarakan setiap bulannya. Di dalam proporsi KTA, lebih dari separuhnya yaitu 57% adalah Kekerasan Seksual berupa Percabulan dan Persetubuhan terhadap anak. Sisanya adalah kekerasan fisik atau dalam dokumen laporan kepolisian dikategorikan sebagai tindak pidana penganiyaan.
Mayoritas kasus kekerasan fisik terjadi di sekolah. Sudah tentu pelakunya adalah guru. Sebab yang paling umum terlihat adalah ketidak mampuan guru dalam mengendalikan emosi menghadapi perangai anak-anak didik, dimulai dari yang aktif, nakal dan bahkan bandel. Ini diperburuk dengan anggapan umum bahwa anak yang nakal ataupun bandel hanya bisa ditertibkan dengan sikap keras dari guru.
Persentase kekerasan seksual pada anak jauh lebih besar dibandingkan pada perempuan dewasa, seperti terlihat pada grafik 2. Yang lebih memprihatinkan adalah ditemukannya 3 (tiga) kasus inses (pelaku adalah ayah kandung) di dalam kasus setubuh anak. Anak menjadi sangat rentan dibandingkan perempuan dewasa, bahkan di rumahnya sendiri.
Fenomena KTA tidak bisa dilihat hanya pada angka 169. Pandangan kita mesti diperluas pada kategori kasus yang lain, Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Kekerasan fisik maupun psikis yang dialami oleh ibu korban KDRT, berdampak langsung pada pengasuhan dan pendidikan anak. Apalagi pada kasus kekerasan ekonomi atau penelantaran dimana 8 dari 9 kasus yang dilaporkan melibakan anak (anak-anak) sebagai kelompok yang terpapar langsung terabaikannya tanggungjawab dari ayah. Dengan cara pandang yang demikian, secara akumulatif setidaknya ada 232 anak yang menjadi korban kekerasan.
Lebih dari separuh korban kekerasan berada pada kisaran usia anak (di bawah 18 tahun). Sebagian kecil dari mereka adalah anak-anak usia emas yang hilang senyum manis dan keceriaan kanak-kanak bahkan terbelenggu cacat fisik, trauma dan dampak lainya yang bukan tidak mungkin akan mengikuti mereka sepanjang hidup mereka ke masa depan. Kondisi mana membutuhkan pemulihan yang serius.
Mengenai pelaku, anak usia 12 tahun mulai teridentifikasi sebagai pelaku. 28 anak usia remaja terdata sebagai pelaku kekerasan seksual. Mereka merupakan korban dari lemahnya kontrol dan pendampingan orang tua (orang dewasa), sehingga terpapar dampak buruk pergaulan yang tidak sehat dan penggunaan teknologi komunikasi.
Proses hukum beberapa kasus tidak dapat diselesaikan karena berbagai alasan seperti kurang percaya diri ataupun ketakutan dari korban dan/atau keluarga, lemahnya pembuktian termasuk kesulitan mendapatkan saksi dan kelincahan pelaku menghilangkan jejak. Inilah yang menjadi sebab suburnya impunitas, yaitu pelaku terlepas dari tanggungjawab hukum, sosial dan ekonominya.
Impunitas juga dapat dimudahkan oleh jarak pelaporan yang terlalu jauh dari waktu kejadian perkara. Untuk kasus kekerasan fisik, tanda bukti dapat saja hilang sehingga pelaku tidak bisa dijerat. Sedangkan pada kasus persetubuhan anak, waktu pelaporan yang terlalu jauh sangat merugikan korban, apalagi bila tindakan persetubuhan itu berakibat pada kehamilan.
Potensi Kenaikan Pada Tahun 2019
Seperti telah disampaikan di bagian awal bagian 2 ini, pada tahun 2018 terdokumentasi 264 kasus yang dilaporkan. Pada semester pertama 2019 jumlah laporan telah mencapai lebih dari separuh jumlah kasus 2018, yakni sebanyak 170 kasus. Namun prediksi itu tentu bisa saja tidak terbukti, jika ada upaya-upaya preventif. Ini menjadi tantangan bagi Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Provinsi Maluku. Sebagai organisasi perangkat daerah yang punya dukungan mitra kuat sekelas pusat-pusat studi yang berbasis di berbagai perguruan tinggi dan LSM-LSM berpengalaman di Maluku, harusnya bisa melakukan upaya accelerative dan strategis untuk itu.
Risalah Kebijakan (Policy Brief)
Risalah ini memuat angka-angka yang mungkin saja akan mencengangkan. Namun ini bukan tentang angka yang tertulis semata. Ini sesungguhnya tentang realita di dalam atau di baliknya. Soal bagaimana kepentingan harkat dan martabat perempuan dan anak diperjuangkan, harkat dan martabat perempuan dan anak korban, bagaimana luka lahir batin yang diderita oleh perempuan korban (dan anak/anak-anaknya) dan anak korban, bagaimana mereka harus berjuang untuk bangkit dari korban (victims) menjadi penyintas (survivors). Bagaimana lebih fatal lagi situasi mereka yang harus mengalami kekerasan (viktimisasi) berkali-kali atau berlapis-lapis. Tidak semua realita dideskripsikan dalam narasi. Namun harapannya dapat dirasakan ekistensinya melalui angka-angka yang ada. Intinya, risalah ini ingin menggugah negara (Pemerintah Daerah) akan kewajiban yang mesti dipenuhi.