Sejak 2014 program MAMPU (Kemitraan Australia-Indonesia untuk Kesetaraan Gender dan Pemberdayaan Perempuan) Yayasan BaKTI memantau pemberitaan media massa cetak untuk memperoleh gambaran berita yang berhubungan dengan isu-isu MAMPU. Pemantauan dan analisis berita dilakukan di wilayah program, dengan memantau media cetak yang memuat berita-berita untuk wilayah tersebut.
Sebanyak 21 media cetak yang terbit harian dimonitoring di tujuh wilayah. Empat media cetak yang dipantau di Kota Ambon, semunya terbit di Kota Ambon. Demikian juga empat media yang dipantau di Kota Kendari. Lombok Pos dan Suara NTB terbit di Mataram, sedangkan Radar Lombok terbit di Lombok Timur. Pare pos dan Lentera Merah terbit di Parepare, sedangkan Tribun Timur terbit di Kota Makassar.
Di Kabupaten Belu dan Tana Toraja, tidak ada media yang terbit di dua wilayah tersebut. Tiga media yang dipantau, yakni Pos Kupang, Victory News, dan Timor Eskpres semuanya terbit di Kota Kupang. Sedangkan Fajar, Koran Sindo, dan Berita Kota Makassar adalah media yang terbit di Kota Makassar, sedangkan Palopo pos terbit di Kota Palopo. Dengan demikian, berita mengenai Kabupaten Belu dan Tana Toraja yang dimuat oleh media-media yang tersebut sangat terbatas. Hanya peristiwa-peristiwa yang mendapat perhatian publik besar yang berpeluang menjadi berita di media.
Monitoring media cetak dilakukan untuk memantau isu-isu yang menjadi fokus program MAMPU, yaitu kekerasan terhadap perempuan, buruh migran, kesehatan perempuan, perlindungan sosial, dan akses terhadap pekerjaan. Satu isu lainnya yang dimonitoring program MAMPU BaKTI adalah parlemen, anggota DPRD (Dewan Perwakilan Rakyat Daerah) setempat.
Dari 21 media cetak yang di kliping selama 5 tahun (2015-2019) sebanyak 5.573 berita. Perlindungan sosial menduduki urutan pertama dalam pemberitan dengan 2.224 berita, disusul kekerasan terhadap perempuan sebanyak 1.314 berita, parlemen 880 berita, buruh migran 517 berita, kesehatan perempuan 494 berita, dan akses terhadap pekerjaan 144 berita. Tingginya pemberitaan mengenai perlindungan sosial berhubungan dengan pemberlakuan BPJS Kesehatan secara nasional yang dimulai Januari 2014. Berita perlindungan sosial lainnya yang banyak diliput media adalah pendidikan dan beras sejahtera (rasta) yang sebelumnya disebut beras miskin (raskin).
Berita mengenai kekerasan terhadap perempuan menduduki urutan kedua setelah isu perlindungan sosial. Tingginya berita mengenai kekerasan terhadap perempuan disumbangkan oleh media di Mataram, Lombok Timur, dan Ambon. Kekerasan terhadap perempuan, termasuk anak perempuan, di tiga wilayah tersebut mendapat porsi liputan yang cukup memadai (Tabel 2). Berita-berita mengenai kekerasan terhadap perempuan didominasi oleh berita kekerasan seksual yang mencapai 80%.
Kekerasan terhadap perempuan yang terjadi di Mataram, Lombok Timur, dan Ambon mendapat porsi liputan yang lebih tinggi dari daerah lain karena beberapa hal. Pertama, tingginya perhatian publik terhadap kekerasan perempuan dan anak di daerah-daerah tersebut, yang kemudian oleh media selalu menjadikannya sebagai berita penting. Beberapa lembaga internasional, pernah berprogram di Kota Ambon menjadikan isu kekerasan terhadap anak dan perempuan sebagai isu strategis bagi media. Sementara Lombok Timur adalah salah satu daerah pengirim TKI (tenaga kerja Indonesia) yang cukup banyak dan tingkat perkawinan anak yang tinggi, yang juga bisa dihubungkan dengan tingkat kekerasan terhadap perempuan dan anak.
Kedua, isu mengenai kekerasan terhadap perempuan dan anak menjadi fokus advokasi yang dilakukan oleh sejumlah LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat), termasuk program MAMPU-BaKTI. Di Mataram, Lombok Timur, dan Ambon beberapa LSM dikenal sebagai lembaga yang fokus pada isu-isu hak asasi manusia (HAM), termasuk isu perempuan, anak, dan penyandang disabilitas.
Ketiga, media setempat menjadikan isu kekerasan perempuan dan anak sebagai berita penting. Walaupun isu kekerasan perempuan dan anak tidak dijadikan sebagai berita utama, tetapi kasus-kasus kekerasan perempuan dan anak yang mendapat perhatian publik, dimuat pada halaman pertama media di Mataram, Lombok Timur, dan Ambon. Artinya, media-media tersebut menempatkan peristiwa kekerasan perempuan dan anak sebagai berita penting.
Diksi Bias dan Menjauhkan
Namun, jumlah berita kekerasan terhadap perempuan yang cukup tinggi di media, tidak selalu menguntungkan perempuan. Sebagian besar berita sangat bias dan menjauhkan pembaca dari fakta sebenarnya.
Berita-berita kekerasan seksual yang dipilih untuk dianalisis umumnya masih menggunakan diksi atau pilihan kata yang merugikan perempuan sebagai korban. Diksi untuk peristiwa kekerasan seksual, masih menggunakan kata-kata: “pelecehan,” “cabul,” “setubuh,” “digilir,” “digagahi,” “ditiduri,” dan sejumlah kata yang mengaburkan peristiwa kekerasan seksual. Diksi untuk korban juga menggunakan kata-kata yang menempatkan korban pada posisi dirugikan, misalnya “gadis,” “gadis belia,” “gadis polos,” “anak baru gede,” dan “gadis ABG.” Sedangkan diksi untuk pelaku adalah diksi yang sudah umum, sebagiannya merupakan bahasa resmi hukum, seperti “tersangka” dan “terdakwa.” (Tabel 3).
Sebuah berita berjudul “Lagi, Siswi di Lotim Diduga Alami Pelecehan Seksual”, padahal berita ini adalah perkosaan yang dilakukan oleh tiga pemuda. Penulis berita menggunakan kata “pelecehan seksual” pada judul berita maupun di dalam isi berita. Istilah lain yang digunakan adalah “digilir”, ABG, dan gadis ABG.
Istilah “pelecehan seksual” yang digunakan oleh jurnalis dan penegak hukum tidak tepat untuk menjelaskan kekerasan seksual atau gangguan seksual, sebagaimana di dalam bahasa Inggris disebut sexual harassment. Istilah yang tepat adalah perundungan dari kata “rundung” yang artinya mengganggu, menggoda, dan usilan. Perundungan seksual atau sexual harassment adalah tindakan yang mengganggu, menggonda, atau usilan yang berbau seksual, seperti berbicara/bercanda, bersiul, memberi tanda, atau bahasa tubuh yang berbau seksual, sengaja menyentuh bagian vital, mengirim sms/gambar porno, memperlihatkan kelamin
Namun, peristiwa di dalam berita berjudul ““Lagi, Siswi di Lotim Diduga Alami Pelecehan Seksual” tidak bisa disebut sebagai perundungan seksual. Berita tersebut adalah kekerasan seksual atau perkosaan. Jika penulis ingin mempertegas bahwa peristiwa itu adalah kejahatan yang merendahkan martabat kemanusiaan, maka lebih bijak menggunakan istilah kekerasan seksual terhadap anak, kekerasan seksual terhadap siswi, perkosaan terhadap anak, perkosaan terhadap remaja perempuan, atau perkosaan terhadap siswi.
Berita tersebut juga menggunakan istilah “digilir”, “ABG,” dan “gadis ABG”. Istilah “digilir”, sebagaimana istilah “digagah,” “ditiduri,” dan “melayani nafsu,” adalah pilihan kata yang amat menjauhkan pembaca dari kenyataan dan semakin mereduki fakta yang sesungguhnya perihal tragedi perkosaan. Tindak kejahatan perkosaan dikesankan sebagai perbuatan yang normal saja, bukan suatu tindak kejahatan yang menjadi tragedi menyedihkan, memilukan, dan tak terlupakan bagi korban. Perkosaan digambarkan hanya sebagai peristiwa sederhana, biasa, main-main, remeh atau bahkan peristiwa biasa. Berita perkosaan kemudian berubah menjadi berita hiburan segara bagi pembaca (Abar, 1998).
Istilah “ABG,” dan “gadis ABG” adalah akronim dari anak baru gede yang merupakan bahasa gaul. ABG atau gadis ABG juga merupakan kata-kata yang peyoratif, dan digunakan untuk menghina perempuan remaja yang disebut sebagai perempuan sulit diatur. Penggunan istilah atau kata-kata “pelecahan,” “digilir,” “ABG,” dan “gadis ABG,” serta isi berita ini terkesan menggiring pembaca membuat stereotipe dan menghakimi korban. Tidak ada penegasan di dalam berita mengenai kekerasan seksual atau perkosaan.
Berita mengenai kekerasan seksual banyak sekali menggunakan kata “cabul” dan “pencabulan”. Penggunaan diksi “cabul,” dan “pencabulan” ini terasa menyederhanakan fakta kekerasan seksual, seperti perkosaan. Kata cabul mengasosiasikan orang pada perbuatan asusila, tidak senonoh, tidak sopan, atau tidak patut. Padahal kekerasan seksual adalah kejahatan terhadap fisik, psikis, dan harga
diri.
Pembaca bisa terkecoh dengan kata-kata “cabul,” “pencabulan,” “digagah,” “ditiduri,” dan “melayani nafsu,”. Kekerasan seksual, apalagi terhadap anak yang pelakunya orang dewasa, bisa dimaknai sebagai perbuatan biasa saja karena kata-kata yang digunakan jurnalis dalam mengemas berita menjadi peristiwa kejahatan menjadi peristiwa biasa. Berita juga menggunakan istilah “spontan” seakan-akan kekerasan tersebut terjadi secara kebetulan, padahal pemerkosaan terjadi berulang-ulang.
Dalam perspektif hak dan perlindungan anak, setiap perlakuan seksual terhadap anak adalah kekerasan. Karena orang dewasa mempunyai kemampuan dan kekuatan untuk memaksa, membujuk, melakukan tipu muslihat, melakukan kebohongan, dan memanfaatkan kerentanan anak (Kordi, 2015).
Berita perkosaan juga menggunakan kata “setubuh,” “menyetubuhi,” dan “persetubuhan”. Kata “setubuh” berarti berhubungan badan atau bersenggama. Kata “bersetubuh” atau “persetubuhan” bermakna hubungan badan tanpa kekerasan. Karena itu jika digunakan untuk menjelaskan peristiwa tragis semacam kekerasan seksual atau perkosaan terhadap perempuan atau anak perempuan, akan mereduksi peristiwa, menyederhanakan fakta, dan menjauhkan pembaca dari kejadian sebenarnya.
Menurut Abar (1998) bagi kaum perempuan, terutama mereka yang menjadi korban perkosaan, penggunaan diksi yang demikian sesungguhnya semakin menempatkan kaum perempuan ke dalam kelompok yang tidak berdaya dalam struktur kekuasaan laki-laki. Sebab berbagai kekerasan terhadap kaum oerempuan, seperti perkosaan, dibahasakan secara halus dalam jurnalisme (maskulin). Sehingga apa yang menjadi tragedi bagi kaum perempuan tidak direkonstruksi secara utuh dalam bahasa pers, dan sebaliknya justru cenderung berubah menjadi hiburan semata. Dengan demikian, selain tidak edukatif berita perkosaan dengan diksi-diksi tersebut sulit melahirkan keprihatinan, empati dan simpati masyarakat terhadap korbannya. Sebab, masyarakat beranggapan bahwa perkosaan dianggap sesuatu yang biasa, remeh, dan lucu. Akhirnya, berita-berita perkosaan hanya akan menumpulkan daya kritis dan rasa solidaritas kemanusiaan pembaca terhadap perempuan-perempuan korban perkosaan.
Kekerasan seksual adalah peristiwa tragis dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Apalagi pelaku kekerasan seksual umumnya adalah orang dekat. Dari 10 berita kekerasan seksual yang menggunakan istilah-istilah yang sangat merugikan perempuan, hanya satu kasus kekerasan seksual, di mana korban tidak mengenal pelakunya. Sembilan berita lainnya, dimana pelaku adalah orang dekat dan mengenal korban, termasuk orang yang seharusnya melindungi korban.
Berita-berita kekerasan seksual yang di kliping umumnya sudah menggunakan nama inisial, tidak memuat foto korban dan pelaku anak. Namun, masih ada berita yang mencantumkan alamat korban sehingga bisa ditebak atau diketahui oleh pembaca.
Beberapa berita, dalam jumlah kecil telah menggunakan kata perkosaan atau pemerkosaan, walaupun masih mencampur aduk dengan kata “pencabulan” dan “persetubuhan”. Namun, tidak menggunakan kata “kekerasan seksual”, dan “kejahatan seksual”. Penulis berita nampaknya terpengaruh dengan aturan hukum di dalam Undang-Undang Perlindungan Anak (UU No. 35 Tahun 2014) dan KUHP, yang juga mencampur aduk penggunaan istilah “perkosaan,” “kekerasan,” “pencabulan,” dan “persetubuhan.”.[]