Dari Mariance, Saya Belajar Bagaimana Penyintas Menghilangkan Traumanya

Konde.co menghadirkan “The Voice”: Edisi khusus para aktivis perempuan menulis tentang refleksinya. Ini merupakan edisi akhir tahun Konde.co yang ditayangkan 28 Desember 2022- 8 Januari 2023

Saya sungguh belajar dari Marinace, seorang penyintas yang belajar menenun untuk menghilangkan traumanya. Ini merupakan pekerjaan besar setiap tahun, bagaimana mendampingi penyintas untuk bangkit dari masa lalu dan traumanya

Saya terlibat dalam kerja-kerja pendampingan korban/penyintas perdagangan manusia sejak 2015 saat masih berstatus mahasiswa Fakultas Teologi, Universitas Kristen Artha Wacana, Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT). 

Saat itu, sebagai mahasiswi yang hendak melakukan studi lapangan (Collegium Pastorale), saya dan teman-teman lainnya terlibat mengerjakan survei buruh migran yang dilakukan oleh Fakultas Teologi bekerjasama dengan Gereja Masehi Injili di Timor (GMIT) dan Gereja Kristen Sumba (GKS). 

Survei ini merupakan respon atas kasus perbudakan Sarang Burung Walet Medan yang mengakibatkan dua anak perempuan asal Kabupaten Timor Tengah Selatan (Kab. TTS), Marni Baun dan Rista Bota meninggal dunia. Saat menjalani masa praktik lapangan, kami mendata anggota jemaat yang sedang bekerja di luar NTT, baik masih di dalam maupun luar wilayah Indonesia. 

Dari hasil survei di 50 jemaat baik di GMIT dan GKS diketahui 909 orang anggota jemaat bekerja di luar NTT, baik yang masih bekerja di dalam negeri seperti Kalimantan, Medan, dan Jawa, maupun di luar negeri seperti Malaysia, Singapura, dan Hong Kong. 68,2% adalah pekerja usia produktif yang bekerja di sektor informal seperti pekerja rumah tangga, buruh sawit, dan pekerja konstruksi bangunan.

Pengalaman perjumpaan dengan keluarga-keluarga pekerja migran, mendengar narasi para penyintas perdagangan manusia selama kurang lebih 7 tahun membuka mata saya tentang realitas pedih migrasi di NTT. Kemiskinan, kerusakan lingkungan, korupsi, perampasan lahan, hilangnya akses terhadap tanah dan air, krisis iklim, tingginya angka putus sekolah, kekerasan terhadap perempuan dan anak menjadi faktor pendorong orang bermigrasi. 

Kondisi rentan mereka ini kemudian dimanfaatkan para agen mafia untuk menjebak mereka. Penipuan, penculikan, pemalsuan dokumen dipakai para agen untuk merekrut mereka sebagai calon tenaga kerja. Sayangnya, ada begitu banyak pengalaman kekerasan, eksploitasi, dan bahkan kematian yang dialami oleh korban dan penyintas. 

Catatan Jaringan Anti Perdagangan Manusia di NTT, lebih dari 600 pekerja asal NTT meninggal dunia di tempat kerjanya dalam kurun waktu 8 tahun terakhir. Ini menjadikan NTT sebagai provinsi dengan angka kasus perdagangan manusia tertinggi di Indonesia.

Kondisi pekerja migran baik di dalam maupun luar negeri menjadi lebih memprihatinkan dalam situasi pandemi Covid-19, dan pasca siklon Seroja pada April 2021, khususnya di NTT. Kebijakan pembatasan sosial, penutupan wilayah perbatasan, bencana alam, dan deportasi berdampak buruk pada para pekerja. Di Indonesia sendiri, regulasi perlindungan pekerja rumah tangga (PRT) yang masih mangkrak di DPR selama 18 tahun, mengakibatkan nihilnya perlindungan pada PRT. Di masa pandemi, PRT rentan diberhentikan secara sepihak oleh pemberi kerja, upah tidak dibayar, mengalami kekerasan dan eksploitasi. 

Di Kota Kupang sendiri akibat bencana alam, beban berlapis dialami oleh perempuan PRT karena kehilangan rumah dan harta benda, serta mengalami kekerasan dari pasangannya. Perempuan PRT harus mengurus kebutuhan rumah tangga, pendidikan anak-anaknya juga bekerja di luar rumah.

Pada kondisi yang sama, Koalisi Buruh Migran Berdaulat (KBMB) melakukan investigasi sejak Juni 2019 hingga September 2020 tentang kondisi pekerja migran di Sabah, Malaysia selama pandemi Covid-19 ditemukan sejumlah pelanggaran hak asasi manusia. Para pekerja migran tak berdokumen ini kehilangan pekerjaan karena diberhentikan secara sepihak. Mereka ditangkap, diinterogasi, diteror sebelum dideportasi kembali ke Indonesia. Para deportan ini hidup dalam kondisi depresi, trauma, sakit, bahkan sampai meninggal dunia di rumah detensi sementara atau yang dikenal sebagai ‘rumah penyiksaan’.

Pendampingan Berbasis Hak Asasi Manusia
Pendampingan litigasi dan non-litigasi terhadap korban/penyintas serta keluarganya berporos pada prinsip kemanusiaan. Korban/penyintas yang mengalami kekerasan, dan eksploitasi menderita secara fisik dan psikis. Dibutuhkan pendampingan yang bersifat holistik mencakup aspek sosial, spiritual, ekonomi, dan hukum untuk proses pemulihan baik secara individu maupun komunitas. 

Kepekaan terhadap kebutuhan pendampingan holistik ini menjadi tantangan tersendiri bagi para pendamping. Tentu proses ini membutuhkan banyak energi, waktu, dan tenaga. Oleh karena itu, membangun sinergitas yang kuat melalui jejaring lintas sektor seperti tokoh agama, psikolog, tenaga medis, dan aparat penegak hukum menjadi salah satu strategi advokasi.

Pendampingan berbasis hak memungkinkan para korban/penyintas mendapat ruang dan kesempatan untuk berdaya dan mandiri sehingga mereka berani menyuarakan ketidakadilan yang dialami. Salah satu kekuatan advokasi terletak pada keberanian korban/penyintas untuk bersuara. 

Pada titik ini kita akan menyadari bahwa tidak selamanya semboyan “we are the voice of the voiceless” dapat diterapkan. Mereka yang seringkali dianggap “the voiceless” sebenarnya mampu bersuara apabila mereka diberi ruang aman dan didukung sepenuhnya. Ini juga menjadi pengingat sekaligus auto kritik bagi para pendamping agar tidak menciptakan relasi kuasa dimana korban/penyintas menjadi sangat bergantung pada para pendamping. Di sisi lain, pendamping juga bisa mengalami trauma berlapis.

Dalam proses pendampingan berbasis hak, keterampilan yang dimiliki korban/penyintas dan keluarganya bisa menjadi sumber belajar bagi pendamping. Pengalaman ini saya dapat ketika berproses bersama penyintas Mariance Kabu di Komunitas Hanaf sejak 2021. Menenun adalah salah satu keterampilan yang dimilikinya. Dengan menenun, ia mendapat penghasilan ekonomi sekaligus menyintas traumanya yang masih berbekas hingga saat ini akibat kekerasan, ancaman, dan eksploitasi dari pemberi kerjanya di Malaysia.

Kelas menenun di Komunitas Hanaf menjadi raung aman bagi Mariance untuk menyuarakan ketidakadilan yang dialaminya. Ia membagikan pengalaman menenunnya pada perempuan-perempuan muda di Kota Kupang yang ingin belajar menenun. Lima orang perempuan muda menjadi muridnya, termasuk saya. 

Dalam proses belajar menenun, Mariance dengan semangat mengingatkan kami “Kita akan belajar dengan serius dan percaya diri. Tidak perlu merasa takut dan malu karena [menenun] itu akan menjadi satu kebanggaan untuk masa depan.” Rupanya, pengalaman menjadi seorang mentor/guru tenun memulihkan kepercayaan dirinya. “Saya rasa ke [seperti] dunia terbuka untuk saya supaya maju. Satu langkah lebih maju,” kata Mariance. 

Dari Mariance, saya belajar bahwa tenun adalah cara perempuan menyintas traumanya. Ia memberdayakan dirinya sekaligus sesama perempuan lainnya untuk melestarikan kekayaan nilai-nilai budaya sebagai warisan leluhur yang diabadikan melalui motif-motif kain tenun. Fokus, teliti, cermat, dan tekun sangat dibutuhkan dalam proses menenun. Begitu juga dengan seluruh anggota tubuh mulai dari kepala sampai kaki. Energi negatif yang tersimpan dalam tubuh juga tersalurkan ketika benang-benang dianyam dan dihentak dengan keras agar kainnya menjadi padat.

Harapan: Peningkatan Perlindungan
Salah satu dampak dari pendampingan litigasi dan nonlitigasi berbasis hak bagi korban/penyintas dan keluarganya ialah bagaimana mendorong pemerintah untuk meningkatkan perlindungan. Krisis perlindungan negara bagi pekerja migran baik dalam negeri maupun luar negeri yang terjadi selama ini, mencerminkan ketidakseriusan negara pada tugas dan tanggung jawabnya untuk melindungi, menghormati, dan memenuhi hak-hak masyarakat sipil. Ini termasuk pelanggaran HAM.  

Jika ditakar, kontribusi pekerja migran untuk memajukan perekonomian bangsa sangatlah signifikan. Harusnya, ketika negara menyebut mereka sebagai pahlawan devisa, maka pada saat yang sama juga negara perlu buktikan keseriusannya mengoptimalkan upaya perlindungan. 

Hal ini termasuk pengesahan regulasi perlindungan PRT di Indonesia yang sudah diperjuangkan selama lebih dari 18 tahun oleh masyarakat sipil, PRT, dan LSM. Begitu juga dengan penanganan kasus-kasus kekerasan yang dialami pekerja migran di luar negeri, tanpa memandang status legal atau ilegal/berdokumen atau tidak berdokumen. Penanganan kasus secara tuntas juga bagian dari memberantas mafia perdagangan manusia. 

Jika dalam tubuh negara/pemerintah ada oknum-oknum tertentu yang terlibat dalam jaringan mafia maka oknum tersebut tentu harus diproses secara hukum. Tujuannya agar tidak lagi terjadi impunitas. Ini penting karena impunitas yang seringkali terjadi dalam penanganan kasus Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) memberi lampu hijau bagi para mafia. 

Upaya perlindungan negara yang holistik bagi pekerja migran memperkuat sistem tata kelola migrasi yang aman sejak proses keberangkatan hingga kepulangan. Ruang-ruang kecurangan, penipuan, manipulasi dalam setiap tahapan proses pengiriman hingga pemulangan pekerja migran perlu ditindak tegas. 

Jika calon pekerja migran berangkat bekerja dalam kondisi sehat, harusnya mereka pulang dengan kondisi yang sama pula karena setiap orang, tanpa terkecuali berhak untuk hidup aman di tempat kerjanya. Harapannya adalah tidak ada lagi jenazah-jenazah pekerja migran yang dikembalikan setiap tahun ke Indonesia (NTT). Demikian juga mereka yang pulang dalam keadaan hidup, tidak lagi mengalami sakit dan trauma yang berkepanjangan.

Kerja-kerja untuk proses advokasi berbasis hak bagi korban/penyintas dan keluarganya memang membutuhkan energi dan kekuatan jejaring di tingkat lokal, nasional dan global. Mengingat mafia perdagangan manusia bekerja secara sistematis dan merupakan kejahatan lintas negara. Dalam kerja jejaring, pemerintah, tokoh-tokoh agama dan masyarakat, publik, LSM, dan komunitas akar rumput memainkan peranan penting untuk edukasi publik, advokasi kebijakan, kampanye, penguatan kapasitas, pemberdayaan ekonomi, dan reintegrasi sosial. 


Artikel ini bersumber dari: https://www.konde.co/2023/01/dari-mariance-saya-belajar-bagaimana-penyintas-menghilangkan-traumanya.html/

Submission Agreement

Terimakasih atas  ketertarikan Anda untuk mengirimkan artikel ke BaKTINews. Dengan menyetujui pernyataan ini, Anda memberikan izin kepada BaKTINews untuk mengedit dan mempublikasikan artikel Anda di situs web dan situs afiliasinya, dan dalam bentuk publikasi lainnya.
Redaksi BaKTINews tidak memberikan imbalan kepada penulis untuk setiap artikel yang dimuat.  Redaksi akan mempromosikan artikel Anda melalui situs kami dan saluran media sosial kami.
Dengan mengirimkan artikel Anda ke BaKTINews dan menandatangani kesepakatan ini, Anda menegaskan bahwa artikel Anda adalah asli hasil karya Anda, bahwa Anda memiliki hak cipta atas artikel ini, bahwa tidak ada orang lain yang memiliki hak untuk ini, dan bahwa konten Artikel Anda tidak mencemarkan nama baik atau melanggar hak, hak cipta, merek dagang, privasi, atau reputasi pihak ketiga mana pun.

Anda menegaskan bahwa Anda setidaknya berusia 18 tahun dan kemampuan untuk masuk ke dalam kesepakatan ini, atau bahwa Anda adalah orang tua atau wali sah dari anak di bawah umur yang menyerahkan artikel.
 
Satu file saja.
batasnya 24 MB.
Jenis yang diizinkan: txt, rtf, pdf, doc, docx, odt, ppt, pptx, odp, xls, xlsx, ods.