• Ilustrasi: konde.co
    Ilustrasi: konde.co

Warna merah muda atau pink dahulunya netral gender, sama seperti warna lainnya. Hal ini bisa dilihat pada baju bayi pada abad 19. Baik laki-laki maupun perempuan sama-sama bisa memakai baju warna pink. Bahkan, dahulu gaun tidak hanya dikhususkan untuk perempuan. Pada awal abad 20, pink dan biru mulai dipromosikan sebagai penanda gender, tetapi tidak konsisten. Terkadang, pink ditujukan untuk laki-laki dan biru untuk perempuan, tapi terkadang sebaliknya. Ya, kamu tak salah baca, pink dipromosikan untuk laki-laki, karena itu dianggap lebih tegas dan kuat, dan biru dipromosikan untuk perempuan, karena Bunda Maria sering digambarkan menggunakan jubah berwarna biru.

Pada tahun 1950-an warna pink mulai dipopulerkan oleh seorang tokoh masyarakat bernama Mamie Eisenhower. Ia suka menggunakan warna pink, mulai dari gaun yang dipakai, sampai dekorasi kamar tidur. Statusnya sebagai Ibu Negara Amerika Serikat memiliki pengaruh yang kuat terhadap kepopuleran warna pink untuk perempuan. Pemaknaannya berubah, pink menjadi warna perempuan. Meski begitu, pada masa itu warna pink masih sering digunakan oleh laki-laki. Mungkin kondisinya seperti warna biru saat ini. Biru dianggap sebagai warna laki-laki, tetapi masih bebas dipakai oleh perempuan.

Tren fashion kembali berubah pada tahun 1960-1980-an. Pink kembali menjadi warna yang netral gender. Sebabnya karena para feminis menolak warna pink yang diasosiasikan dengan peran gender dan feminitas tradisional. Era ini disebut sebagai era unisex. Namun, kondisinya berbalik kembali pada pertengahan tahun 1980 sampai sekarang. Kondisi dimana pink dianggap sebagai warna perempuan dan biru sebagai warna laki-laki.

Salah satu hal yang mempengaruhinya adalah adanya tes kehamilan yang dapat mengetahui gender bayi sebelum lahir. Pada zaman saat jenis kelamin kandungan belum bisa diketahui, biasanya orang tua memakai warna netral untuk bayi-bayinya, seperti putih, pink, biru, dikombinasikan dengan warna pastel lainnya seperti kuning maize, hijau mint, ungu lilac, dan biru aqua. Namun, setelah adanya tes kehamilan yang bisa memberitahu 'bocoran’ jenis kelamin bayi, para orang tua pun ingin menyesuaikan pakaian dengan jenis kelamin bayi. Sehingga karena itu, pink dan biru digenderisasi.

Fenomena lainnya adalah pemasaran secara agresif yang menyasar anak perempuan dengan warna pink dan tema princess. Kombinasi dari hal tersebut pada akhirnya memperkuat citra pink sebagai warna yang eksklusif dan hanya diperuntukkan bagi perempuan.

Pengkhususan warna pink untuk perempuan mungkin tampak sepele, tapi sebenarnya dampaknya cukup besar. Itu karena pengkhususan warna ini turut membantu memperkuat stereotip gender. Akhirnya, peran gender sudah mulai dibentuk sejak manusia masih bayi. Cukup lumrah untuk melihat dekorasi kamar anak perempuan berwarna pink, atau mainan yang ditujukan untuk perempuan biasanya juga diwarnai pink, seperti mainan masak-masakan, Barbie, Hello Kitty, rumah-rumahan, setrika-setrikaan, jual-jualan, telepon-teleponan, mainan kebersihan, dan sebagainya.

Karena setiap yang berwarna pink ditujukan untuk perempuan, maka mainan yang ditujukan untuk laki-laki tidak pernah atau sangat jarang diwarnai pink. Lihat saja robot-robotan, pistol-pistolan, action-figure, pesawat-pesawatan, mobil-mobilan, dan sebagainya. Ada pemisah mana mainan laki-laki dan mana mainan perempuan, baik dari segi jenis mainan maupun warna mainannya. Jadi, jangan heran kalau saat dewasa, laki-laki menghindari urusan memasak, beres-beres, dan komunikasi (seperti saat main boneka). Hal itu karena sejak kecil, laki-laki sudah dibentuk pola pikirnya kalau itu bagian perempuan.

Pembedaan barang laki-laki dan perempuan juga mengakibatkan “pink tax”. Ini tidak secara literal merujuk pada warna pink, tetapi lebih pada harga yang lebih mahal pada barang yang ditujukan secara eksklusif untuk perempuan (sebagaimana warna pink eksklusif untuk perempuan). Misalnya, produk alat cukur pada suatu merek memiliki harga yang lebih tinggi untuk versi perempuan dibandingkan laki-laki.

Terkadang masyarakat tidak bisa membedakan mana konstruksi sosial dan mana kodrat. Kesukaan perempuan ke warna pink mungkin dianggap kodrat. Padahal kalau lingkungan sosial tidak memaksa pengkhususan warna, gender apapun boleh saja suka pink dan kita tidak terarahkan dari lahir untuk menyukai warna pink.

Kalau warna harus diasosiasikan dengan gender, justru sebenarnya lebih cocok jika warna pink untuk laki-laki dan biru buat perempuan. Warna pink dapat diasosiasikan dengan warna daging, seperti merah diasosiasikan dengan darah. Sedangkan biru dapat diasosiasikan dengan langit dan laut.

Biasanya yang diidentikkan dengan agresivitas adalah laki-laki, berdasarkan kadar hormon testosteron yang lebih tinggi. Logikanya lebih konsisten kalau pink menjadi warna laki-laki, karena pink adalah versi terangnya merah. Sifat tenang biasanya diidentikkan dengan perempuan, sesuai dengan arti warna biru.

Namun, meskipun secara logika masuk akal kalau pink lebih cocok buat laki-laki, sebagian dari kita mungkin tidak bisa membayangkan hal itu, karena ketika kita melihat pink, secara otomatis otak kita teringat dengan hal-hal yang dilabeli feminin, seperti Barbie, Hello Kitty, boneka, dan produk-produk perempuan lainnya. Ini memberi kita kesadaran bahwa pemahaman akan suatu hal berubah seiring berkembangnya zaman. Kita adalah produk zaman.

 

Sumber: https://jurno.id/dahulu-pink-bukan-untuk-perempuan

 

Submission Agreement

Terimakasih atas  ketertarikan Anda untuk mengirimkan artikel ke BaKTINews. Dengan menyetujui pernyataan ini, Anda memberikan izin kepada BaKTINews untuk mengedit dan mempublikasikan artikel Anda di situs web dan situs afiliasinya, dan dalam bentuk publikasi lainnya.
Redaksi BaKTINews tidak memberikan imbalan kepada penulis untuk setiap artikel yang dimuat.  Redaksi akan mempromosikan artikel Anda melalui situs kami dan saluran media sosial kami.
Dengan mengirimkan artikel Anda ke BaKTINews dan menandatangani kesepakatan ini, Anda menegaskan bahwa artikel Anda adalah asli hasil karya Anda, bahwa Anda memiliki hak cipta atas artikel ini, bahwa tidak ada orang lain yang memiliki hak untuk ini, dan bahwa konten Artikel Anda tidak mencemarkan nama baik atau melanggar hak, hak cipta, merek dagang, privasi, atau reputasi pihak ketiga mana pun.

Anda menegaskan bahwa Anda setidaknya berusia 18 tahun dan kemampuan untuk masuk ke dalam kesepakatan ini, atau bahwa Anda adalah orang tua atau wali sah dari anak di bawah umur yang menyerahkan artikel.
 
Satu file saja.
batasnya 24 MB.
Jenis yang diizinkan: txt, rtf, pdf, doc, docx, odt, ppt, pptx, odp, xls, xlsx, ods.