Cara-Cara Sederhana Memahami Perspektif Gender dalam Kebijakan Publik
Penulis : Nopitri Wahyuni

Sebelumnya, saya ingin mengucapkan terima kasih kepada teman-teman di mana pun yang saat ini tengah memperingati 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan. Tentunya, 16 hari di penghujung tahun ini akan tetap menjadi momen penting untuk menengok dan merefleksikan kembali isu-isu gender dalam keseharian. Apalagi, pada situasi pandemi yang masih mengungkung kita dengan berbagai persoalan sosial ekonomi di masyarakat saat ini.

Sampai sekarang, pikiran kita mungkin masih mengganjal ketika membaca berita tentang: seorang tenaga kesehatan perempuan yang kesulitan waktu untuk memerah ASI bagi anak balitanya sebab ia harus berjaga penuh di rumah sakit penanganan COVID-19.  Atau, seorang anak perempuan yang seharusnya mengikuti belajar daring dengan aman, tetapi harus merasa was-was jikalau orangtuanya bertengkar dan melakukan kekerasan terhadap dirinya. Bahkan, cerita-cerita tersebut bisa jadi apa yang tengah kita alami atau pada orang-orang terdekat kita. Namun, dari berbagai persoalan sosial ekonomi di atas, masih terdapat celah-celah penanganan melalui kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah kita.

Ketika saya berpikir tentang hal di atas, ternyata memang masih banyak hal yang perlu ditempuh jika saya sedang memosisikan diri sebagai seorang peneliti sosial. Sebelum melangkah untuk memahaminya dengan sederhana, saya baru membaca sebuah tulisan menarik oleh Elizabeth Broderick yang bekerja sebagai seorang komisioner diskriminasi gender di Komisi Hak Asasi Australia. Sebagai seorang pegawai negeri sipil, ia memaparkan dengan jelas “apa maknanya menerapkan perspektif gender dalam kebijakan publik dan bagaimana terus memperbaikinya?”.

Tulisan tersebut merangkum tiga hal dasar yang dipahami untuk memahami perspektif gender dalam keseharian kita dan kebijakan yang terkait. Dengan berfokus pada why (mengapa), how (bagaimana) dan who (siapa), kita bisa memelajari “pentingnya meletakkan perspektif gender dalam penerapan kebijakan publik”, “bagaimana kita dapat melakukannya dengan baik”, serta “siapa yang harus bertanggung jawab melakukan hal tersebut”. Tiga hal dasar tersebut amat terkait dengan pendekatan yang saya gunakan sebagai seorang peneliti, yakni “konteks apa yang tengah terjadi dengan perspektif gender”, “kebijakan apa yang diberikan dan apa celahnya”, “apa yang bisa dilakukan dan siapa yang dapat bertanggung jawab melakukan hal tersebut”. Di sini, kita dapat memahaminya secara perlahan.

Memahami Pentingnya Menerapkan Perspektif  Gender Dalam Kebijakan
Terpaparnya berbagai isu dan penerapan kebijakan sosial pada masa pandemi, membuat saya mencari kembali pernyataan dasar mengapa begitu penting untuk menggunakan kaca mata gender dengan posisi ini. Memang apa yang akan terjadi jika sebuah kebijakan tidak mengindahkan perspektif tersebut? Jika ingin menjawab dengan sederhana, saya akan terang-terang menjawab: jelas seluruh kebijakan akan berdampak terhadap kehidupan laki-laki dan perempuan dengan cara yang berbeda. Lalu, mengapa demikian?

“Dengan adanya perbedaan kondisi sosial-ekonomi laki-laki dan perempuan, sebuah kebijakan publik akan berdampak terhadap mereka secara berbeda, baik dampak positif yang diinginkan maupun yang tak diinginkan sama sekali. Hanya dengan menggunakan pendekatan gender-lah, perbedaan tersebut dapat dilihat dan solusinya ditemukan.” (Chappell, Brennan & Rubenstein, 2012).

Pada konteks kebijakan sosial secara lebih khusus, Randles (2018), dalam tulisannya tentang Gender, Keluarga dan Kebijakan Sosial, juga mengatakan bahwa kebijakan akan melanggengkan struktur gender jika tidak melihat adanya perbedaan laki-laki dan perempuan dalam hal sosio-ekonomi maupun pengambilan keputusan, apalagi jika dikaitkan dengan isu disabilitas, suku dan ras, dan lain-lain. Kebijakan yang netral justru akan mengaburkan persoalan kompleks di dalamnya dan tak menjawab dengan solusi yang benar-benar dibutuhkan oleh masyarakat.

Praktik Untuk Menerapkan Perspektif  Gender

Untuk menerapkan perspektif gender secara praktikal, saya menyukai cara Broderick mengungkapkannya dalam tiga hal: 1) asking the woman question: apakah isu perempuan banyak tak dipertimbangkan dalam kebijakan, seperti apakah tidak dilibatkannya, bagaimana bisa diperbaiki, dan apa bedanya ketika hal tersebut diperbaiki; 2) asking the man question: pada posisi apa laki-laki pada situasi dan penerapan kebijakan tersebut, apakah situasi ini terjadi kepada seluruh laki-laki atau berdampak secara berbeda pada laki-laki; dan 3) interrogating institutions and structures: mempertanyakan celah seperti apa dari penerapan kebijakan secara institusional dan apakah perspektif gender telah diadopsi dalam kebijakan tersebut.

Untuk memahami hal di atas, kita gunakan sebuah konteks begini: ada seorang ibu dengan dua anak balita yang harus berdagang kecil-kecilan di rumah karena suaminya mengalami pemutusan hubungan kerja akibat pandemi. Memang nampaknya ini terdengar baik. Jika digali lagi, dampak ekonomi dari krisis sebenarnya dirasakan oleh seluruh anggota keluarga, tetapi dampak sosial lebih banyak dirasakan oleh perempuan yang diharapkan mampu menjalankan peran domestik. Tentunya, ibu tersebut akan sangat berusaha membagi waktunya untuk mengurus suami dan kedua anaknya bersamaan dengan peran baru menjalani usahanya sehingga alokasi waktu untuk mengembangkan usaha tidak berlangsung optimal.

Jika sebuah kebijakan yang ditujukan untuk usaha kecil tidak melihat perbedaan hal tersebut, akan sangat mungkin memunculkan kesenjangan dalam penerapannya. Netral gender pada penerapan kebijakan pada situasi di atas, membuat perempuan mengalami kesulitan dalam mengakses berbagai dukungan, seperti bantuan permodalan, pelatihan usaha ataupun keterlibatan dalam jaringan usaha. Baik sebab keterbatasan waktu, tidak ada akses informasi maupun persyaratan administrasi yang masih menyulitkan dari segi kualifikasi usaha dan hal-hal. Pada akhirnya, dukungan tersebut tak banyak sampai kepada pelaku usaha perempuan yang semakin memperlambat upaya pemulihan ekonomi pada masa pandemi.

Ini masih satu isu. Kita pun bisa menemukan isu kebijakan lain dengan banyak menggali tiga pertanyaan dasar di atas menggunakan perspektif gender dan bagaimana implikasinya terhadap upaya mengoptimalkan kesempatan perempuan dan laki-laki dan menekan kesenjangan dan diskriminasi berdasarkan gender.

Pihak-pihak yang Dilibatkan dan Kesimpulan

Siapa yang bertanggung jawab untuk memastikan bahwa perspektif gender diterapkan dalam kebijakan publik? Dari segi pemangku kepentingan, tentu peran-peran berbagai aktor, baik pemerintah, swasta, akademisi maupun lembaga non-pemerintah memiliki peran yang signifikan. Namun, secara fundamental, jawaban yang paling sederhana adalah setiap dari kita bertanggung jawab untuk memastikannya. Membayangkan setiap dari kita di setiap lembaga apapun memiliki kesadaran gender dan menerapkan prinsip-prinsip kesetaraan akan menjadi komitmen yang tulus, baik secara individual maupun institusional, untuk mendorong pemenuhan hak-hak perempuan sebagai bagian dari hak asasi manusia.

Momen 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan tahun ini amatlah penting untuk melihat kembali sekeliling kita secara sosial dan ekonomi. Bagaimana pandemi berdampak terhadap ayah dan ibu, anak maupun saudara perempuan dan laki-laki, teman perempuan dan laki-laki kita, secara berbeda. Apakah kebijakan melihat perbedaan tersebut dan jika tidak, apa yang bisa diperbaiki lagi dan lagi. Pertanyaan dasar ini sangatlah sederhana untuk memahami penerapan perspektif gender dan benar-benar berusaha menghidupkannya dalam melihat kebijakan yang ada saat ini.

Artikel ini bersumber dari: https://www.theindonesianinstitute.com/cara-cara-sederhana-memahami-perspektif-gender-dalam-kebijakan-publik

Submission Agreement

Terimakasih atas  ketertarikan Anda untuk mengirimkan artikel ke BaKTINews. Dengan menyetujui pernyataan ini, Anda memberikan izin kepada BaKTINews untuk mengedit dan mempublikasikan artikel Anda di situs web dan situs afiliasinya, dan dalam bentuk publikasi lainnya.
Redaksi BaKTINews tidak memberikan imbalan kepada penulis untuk setiap artikel yang dimuat.  Redaksi akan mempromosikan artikel Anda melalui situs kami dan saluran media sosial kami.
Dengan mengirimkan artikel Anda ke BaKTINews dan menandatangani kesepakatan ini, Anda menegaskan bahwa artikel Anda adalah asli hasil karya Anda, bahwa Anda memiliki hak cipta atas artikel ini, bahwa tidak ada orang lain yang memiliki hak untuk ini, dan bahwa konten Artikel Anda tidak mencemarkan nama baik atau melanggar hak, hak cipta, merek dagang, privasi, atau reputasi pihak ketiga mana pun.

Anda menegaskan bahwa Anda setidaknya berusia 18 tahun dan kemampuan untuk masuk ke dalam kesepakatan ini, atau bahwa Anda adalah orang tua atau wali sah dari anak di bawah umur yang menyerahkan artikel.
 
Satu file saja.
batasnya 24 MB.
Jenis yang diizinkan: txt, rtf, pdf, doc, docx, odt, ppt, pptx, odp, xls, xlsx, ods.