Menstruasi menjadi proses alamiah bagi tubuh seseorang yang memiliki rahim. Proses menstruasi melambangkan kesuburan seseorang yang seharusnya menjadi momen berharga dan dirayakan. Namun, membicarakan kesehatan seksual dan reproduksi, termasuk menstruasi, masih banyak diacuhkan atau dianggap tabu.
Pengalaman Menstruasi Pertama
Suara lari kaki Melani memecah kesunyian di rumah sederhana milik keluarga Sorabut di jantung Kota Wamena. Siang itu, hanya sang mama yang berada seorang diri di rumah, menunggu kepulangan anak-anaknya dari sekolah.
Tergesa Melani memasuki rumah, mengacuhkan mama lantas memburu kamar mandi. Seketika ia terkesiap menatap nanar pada celana dalamnya.
“Saya akan meninggal ini,” kata Melani dalam hati.
Ia membuka pintu kamar mandi, memanggil lirih mamanya dan menceritakan kekhawatirannya dengan haru. Sang mama justru bereaksi sebaliknya. Girang.
Mama menghilang sebentar ke kamarnya, mengambil sesuatu yang dibungkus plastik putih tipis.
“Mama tutup pintu kamar mandi rapat-rapat lalu ajar saya bagaimana caranya pasang di celana dalam. Mama juga bilang harus cuci bersih habis pakai pembalut baru dibuang,” imbuh Melani.
Membicarakan kesehatan seksual dan reproduksi, termasuk menstruasi, cenderung dianggap acuh atau tabu. Alhasil individu yang bermenstruasi kalut menemukan sekresi darah menstruasi pertama kali.
Rode Wanimbo di Jayapura, misalnya. Ia mengalami menstruasi pertamanya saat duduk di bangku kelas 6 SD.
“Ini kenapa? Saya tidak ada luka kok jadi berdarah. Panik. Waktu itu saya SD kelas 6,” kata Rode.
Sang mama luput mengajaknya berdiskusi terkait ihwal proses pubertas yang dilalui perempuan. Buatnya bukan menjadi soal, sebab mamanya belajar hal yang sama dari neneknya – bahwa perempuan belum punya kesempatan untuk belajar tentang ketubuhan, dibandingkan saat ini.
“Mama saya generasi pertama mengenal pendidikan, sampai SMP lalu menikah. Mereka juga sedikit sekali mendapatkan pengetahuan dan informasi. Sekarang pun perempuan muda masih terbatas informasi yang didapatkan, termasuk menghitung siklus menstruasi. Saya baru tahu kemarin ketika ikut workshop,” kata Rode melanjutkan
Vei, bukan nama sebenarnya, perempuan pelajar lain di Wamena terpaksa absen dari sekolah selama tiga hari, saking takutnya mengamati cairan berwarna merah mengalir di pangkal pahanya.
“Saya waktu itu duduk di kelas 3 SMP. Betul-betul bingung dan takut.. Kenapa bisa begini? Bagaimana jika darah keluar terus? Akhirnya saya pilih tinggal di rumah,” kata Vei.
Berdiam di rumah juga dilakukan pada Mauri Wandikbo, seorang mama yang usianya 16 tahun di atas Vei. Penggemar musik reggae ini mengakui pengalaman menstruasinya terasa amat menyakitkan di bagian perut bawahnya.
Mauri merupakan salah satu pengambil inisiatif yang mengorganisir perempuan Gereja Injili di Indonesia (GIDI) berpartisipasi dalam workshop kesehatan menstruasi dan menjahit pembalut kain di Wamena.
“Tiga hari saya hanya tidur di kamar. Saya tidak cerita tapi mama dan saudara-saudara perempuan datang, bawa makanan. Mungkin mereka sudah tahu tapi memang tidak tanya,” kata Mauri.
Sikap Kolektif Terhadap Menstruasi
Sikap diam mama dan saudara perempuan Mauri menjadi buntut dari reaksi umum masyarakat terhadap menstruasi.
Rode adalah anak perempuan pertama di keluarganya. Ia menghabiskan masa kecilnya di Wamena, lantas berpindah menuju ibukota Papua mengikuti sang ayah berkuliah. Pengalamannya peduli terhadap isu perempuan membangkitkan refleksinya terhadap budaya berdiam diri di honai selama menstruasi.
“[Saya] melihatnya dua sisi… perempuan jadi punya waktu untuk berdamai dengan dirinya, beristirahat di honai (rumah adat) selama 5-7 hari. Namun, di sisi lain, mungkin ia ada keinginan berinteraksi dengan orang lain, teman. Mau jalan tapi dibilang masa kotor. Itu dianggap tidak layak karena menjalani hari-hari yang kotor,” kata Rode.
Rode menjadi salah satu kolaborator gerakan Perempuan Bantu Perempuan Pakai Pembalut Kain di Papua. Rode juga menjabat sebagai Ketua Departemen Perempuan GIDI.
Secara saintifik, darah menstruasi sesungguhnya terbentuk dari jaringan dan sel yang terkelupas di lapisan endometrium. Kita belajar melihat menstruasi sebagai sesuatu yang hina atau kotor, seperti perenungan Rode.
Dulu, perempuan di komunitas adat terdekat dari Rode bahkan dilarang untuk beraktivitas di sungai, sementara di perkampungan akses air bersih justru dari aliran kali terdekat.
Temuan berbeda tentang menstruasi muncul dalam salah satu sesi pertemuan di Nabire. Kedatangan menstruasi pertama dalam budaya Suku Mee menyimbolkan masa depan dari seseorang melalui mimpi.
Sikap dan dukungan dari keluarga bergantung pada mimpi anak perempuan yang ia alami di malam-malam menstruasi pertama. Si ahli tafsir, yakni tetua adat perempuan lantas akan menerjemahkan mimpinya. Apabila mimpi buruk, maka keluarga membantu mengupayakan agar hal tersebut tidak terjadi di masa mendatang.
Pdt. Matheus Adadikam, satu dari dua laki-laki yang berpartisipasi dalam pelatihan itu mengatakan bahwa pengalaman menstruasi semakin mengerdilkan peran perempuan dan anak perempuan dalam adat.
“Ada rumah adat yang khusus laki-laki, perempuan, apalagi sedang menstruasi dilarang ke sana karena dalam pemahaman adat akan membuat pertentangan. Misalnya, mereka mau pergi mencari (berburu) mereka bisa gagal. Di kampung-kampung bahkan perempuan yang sedang menstruasi tidak bisa campur dalam komunitasnya,” kata Matheus.
***
Saat itu hari Minggu. Jeremina Kio di usia remaja pergi beribadah. Setibanya di gereja, sang mama justru memintanya kembali ke rumah. Celana putihnya di bagian belakang ternodai warna merah.
Mamanya berbisik, “Eh ko pulang.. ko pulang! Pergi cari ko pu anak (keponakan)!”
Ia kebingungan, tapi mematuhi anjuran mama untuk pulang dan menemui Ame, keponakannya. Jarak usia antara Jeremina dan Ame tidak begitu jauh, namun pengalaman menstruasi Ame lebih awal sehingga ia langsung sigap membantu Jeremina.
Sembari memasang produk pembalut yang dibeli dari kios terdekat pada celana dalam Jeremina, Ame menjelaskan bahwa sebagai perempuan ia akan mengalami menstruasi tiap bulannya.
Para perempuan yang mengalami menstruasi bahkan kerap enggan membicarakan kondisi mereka. Ketika memang terpaksa membicarakannya harus berbisik-bisik atau lebih baik tidak sama sekali. Kata paling sering muncul adalah “sedang halangan” atau sekadar menyebut menstruasi sebagai sesuatu yang amat liyan, yakni “itu.”
Di Papua, mereka lebih fasih mengatakan “Ot-sus” ketimbang “mens-tru-asi” meski bukan bagian dari tubuhnya.
Jeremina mengakui sempat merasa aneh menceritakan pengalaman menstruasinya dalam sebuah forum publik, berhadapan dengan orang-orang yang beberapa diantaranya tidak ia kenali.
“Tapi saya begitu lihat semua perempuan bercerita, kita jadi belajar terbuka,” kata Jeremina, yang pernah mengikuti pertemuan edukasi Menstruasi Sehat dan Menjahit Pembalut Kain di Jayapura tahun 2020.
Ketika Perempuan Saling Membantu Perempuan
Seorang perempuan lanjut usia buru-buru mengangkat tangannya, meski bersusah payah. Ia duduk di bangku paling belakang, ditemani seorang perempuan lebih muda. Rupanya ia kesulitan berdiri karena kakinya membengkak akibat penyakit gula. Ketika microphone masuk dalam genggaman tangannya, ia mulai bertutur lantang.
“Ini dulu, sejak saya bertugas sebagai bidan tahun 1980-an, menstruasi jadi materi yang tersembunyi dan baru sekarang diangkat. Ibu-ibu sekalian, kita tidak boleh tabu bicara menstruasi. Barang ini milik kita sendiri,” katanya.
Workshop Menstruasi Sehat dan Menjahit Pembalut Kain merupakan bagian dari gerakan kolaborasi Perempuan Bantu Perempuan Pakai Pembalut Kain di Papua yang diusung oleh Biyung, Kewita, Perempuan GIDI, Bentara Papua, dan Elsham Papua sejak tahun 2020-2023.
Beberapa wilayah yang pernah disambangi adalah Sorong, Sorong Selatan, Pegunungan Arfak, Jayapura, Nabire, dan Wamena. Kongkalikong makin suam dengan keterlibatan 455 perempuan dan anak perempuan sebagai partisipan.
Bermula dari pertemanan, gerakan ini meluas secara organik. Dana untuk membiayai perjalanan keliling pun didapatkan melalui sokongan publik. Prinsip pada slogan “Perempuan Bantu Perempuan” nyatanya bukan hanya merangkul individu yang terlibat secara langsung dalam program workshop, juga masyarakat umum.
Kehadiran Biyung di Tanah Papua melalui proses yang tidak instan. Persahabatan dua perempuan yang pernah sekelas di bangku SMP kembali terhubung membicarakan peluang bekerja sama ini. Mereka adalah Westiani dan Rosa Moiwend. Menggunakan jejaring pertemanan dan kerja, keduanya mempromosikan inisiatif dengan menawarkan produk jualan, mulai dari sepaket pembalut kain hingga baju sulaman karya tangan Westiani.
“Waktu itu, Ani ada lihat bapa (saya) punya karya lukisan tanaman. Bentuknya seperti rahim. Lalu sama Ani dibikin sulaman,” tutur Rosa.
Dua tahun kemudian impian keduanya terwujud. Kehadiran pelatihan ini membuat pembalut kain disambut antusias oleh jaringan perempuan di Jayapura. Momen ini mempertemukan Biyung dengan Perempuan GIDI, yang spontan melibatkan diri dalam gerakan Perempuan Bantu Perempuan Pakai Pembalut Kain di Papua.
Melalui gerakan Perempuan Bantu Perempuan Pakai Pembalut Kain, perempuan yang bermenstruasi bisa membantu sesama dengan memberikan bahan (kain) atau donasi senilai harga satu paket pembalut kain. Upaya ini bertujuan untuk mengakhiri period poverty, yakni keterbatasan akses mengelola kesehatan menstruasi melalui pendidikan hak kesehatan seksual dan reproduksi, penyediaan produk menstruasi, dan sanitasi.
Jalinan berlanjut dengan pelaksanaan workshop lainnya dan gagasan pembentukan kelompok produksi di Oksibil. Informasi beredar meluas, gayung bersambut dari jaringan di luar Papua. Dana mulai mengalir dari Nona Woman, sebuah organisasi yang juga fokus memberikan akses pendidikan menstruasi dan memasarkan produk menstruasi yang lebih menyehatkan.
Melalui sebuah program Giving Months di perayaan Natal dan Tahun Baru, Nona Woman menyumbang 3000 potong pembalut kain. Sebuah yayasan bernama Nabung Donasi pun berkontribusi mendukung gerakan ini dengan menyumbang uang sebesar Rp14 juta. Selain itu, Dokter Tanpa Stigma, penggerak lainnya, ikut mengajak ikatan alumni kedokteran UNAIR berdonasi lewat kegiatan secara daring. Dalam kurun waktu beberapa jam, uang senilai Rp1.320.000 terkumpul. Giat kolaborasi ini merambah penggunaan platform Kitabisa.com sehingga sumbangan publik dapat terakomodir.
Pendapatan dari ragam dukungan dana bermuara pada pendistribusian pembalut kain kepada kelompok perempuan pengungsi politik dari Nduga yang diproduksi oleh sekelompok Perempuan GIDI di Oksibil.
Akibat konflik politik yang tak kunjung usai, perempuan Nduga harus menanggung kerugian, bukan hanya kesehatan secara fisik dan mental tapi juga terkait sistem reproduksinya. Mereka kehilangan akses akan sumber pangan, kesejahteraan, hingga manajemen kesehatan menstruasinya.
Rode mengungkapkan jumlah perempuan dan anak perempuan pengungsi konflik politik tersebar di beberapa daerah, di antaranya Pegunungan Oksibil, Puncak Jaya, Wamena, Intan Jaya, hingga ke perbatasan Papua Nugini. Akses untuk mencapai wilayah pengungsian memakan biaya besar sehingga donasi pembalut kain terbatas ke tiga wilayah, yakni Oksibil, Puncak Jaya, dan Intan Jaya.
Proses produksi dan pendistribusian dilakukan oleh jaringan Perempuan GIDI, namun Rode menolak menamakannya secara khusus.
Baginya, memberikan bantuan kemanusiaan tidak harus melihat denominasi gerejanya, “Tapi kita sedang sama-sama menghadapi situasi sulit maka kita berbagi bersama karena memang perempuan membantu perempuan!”
Usai pemerintah mencabut status pandemi Covid-19, Biyung bersama Perempuan GIDI mengorganisir perjalanan kembali pada tahun 2022. Pelaksanaan pelatihan edukasi menstruasi sehat dan menjahit pembalut kain yang semula direncanakan hanya di dua wilayah, Sentani dan Wamena, menggiurkan komunitas dan organisasi lainnya.
Elsham Papua, sebuah lembaga studi dan advokasi hak asasi manusia menyambut solidaritas yang dikabarkan oleh Parapara Buku, perpustakaan komunitas dan toko buku. Lebih dari sepuluh perempuan merespon dan bersedia berpartisipasi. Antusiasme yang mengemuka tak sebanding dengan biaya bahan dan alat menjahit pembalut kain, maka butuh keterlibatan pihak lainnya.
Berbekal pertemanan, Biyung dan Parapara Buku lantas menghubungi seorang staf Elsham, namanya Ani Sipa. Dalam sekejap Elsham menyanggupi kolaborasi.
“Ini memang pertama kali Elsham terlibat dalam kegiatan terkait kesehatan reproduksi, terutama menstruasi sehat. Namun saya rasa ruang untuk perempuan belajar seksualitas dan kesehatan reproduksi tidak berlebihan. Itu sesuatu yang seharusnya mereka dapatkan tanpa bersusah payah,” tutur (Pdt.) Matheus mengungkapkan alasan menyanggupi tawaran kolaborasi (Bersambung)
Editor: Ronna Nirmala
Artikel ini adalah bagian dari serial #PendidikanSeksual.
Artikel ini bersumber dari: https://projectmultatuli.org/bukan-lagi-baru-dan-tabu-perempuan-papua-bersolidaritas-saling-dukung-kesehatan-menstruasi/