Berani Speak Up!!! Menghancurkan Tembok Diam dalam Kasus Kekerasan Seksual pada Lingkup Pendidikan
Penulis : Andi Nurlela
  • Sumber: humas.polines.ac.id
    Sumber: humas.polines.ac.id

Masalah yang menghantui banyak masyarakat di seluruh dunia, termasuk Indonesia adalah kekerasan seksual. Kondisi ini membutuhkan perhatian serius dan tindakan kolektif untuk memberantasnya. Hingga Juni 2024, data dari Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (SIMFONI PPA) mencatat ada 10.535 kasus kekerasan seksual yang dilaporkan di Indonesia. Dari jumlah tersebut, 2.295 korban adalah laki-laki, dan 9.172 korban adalah perempuan. Hal ini menunjukkan bahwa kekerasan seksual tidak memandang jenis kelamin dan dapat mengenai siapapun, tanpa memandang jenis kelamin, usia, latar belakang, atau status sosial.

Terjadinya kekerasan seksual tidak terbatas pada lingkungan tempat tinggal saja, tetapi juga dapat terjadi di lingkungan pendidikan. Di banyak negara, insiden kekerasan seksual dapat terjadi di sekolah, perguruan tinggi, atau lembaga pendidikan lainnya. Ini bisa melibatkan siswa, mahasiswa, atau bahkan staf pengajar. Penting untuk menyadari bahwa kekerasan seksual di lingkungan pendidikan bisa mempengaruhi korban secara emosional, fisik, dan psikologis. Hal ini dapat mencakup pelecehan seksual oleh sesama siswa atau mahasiswa, perlakuan yang tidak pantas dari staf pengajar, atau bentuk-bentuk lain dari eksploitasi seksual.

Survei yang dilakukan oleh Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi pada tahun 2020, menunjukkan sebanyak 77 persen dosen menyatakan bahwa kekerasan seksual pernah terjadi di kampus dan 63 persen dari mereka tidak melaporkan kasus yang diketahuinya kepada pihak kampus. Lebih lanjut, survei yang dilakukan oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbud Ristek) menyatakan, kekerasan seksual terbanyak terjadi di perguruan tinggi. Berdasarkan catatan survei Kemendikbud per Juli 2023, terjadi 65 kasus kekerasan seksual di perguruan tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa masih rendahnya kesadaran dan mekanisme penanganan kekerasan seksual di perguruan tinggi.

Survei yang dilakukan pada tahun 2024 oleh International Journal of Sociology of Education menunjukkan bahwa kasus kekerasan seksual di perguruan tinggi di Indonesia masih mengkhawatirkan. Survei ini menemukan bahwa sekitar 77 persen dosen mengakui adanya kekerasan seksual di kampus, tetapi hanya sekitar sepertiga dari korban yang melaporkan kejadian tersebut. Selain itu, Menteri Pendidikan Nadiem Makarim menyatakan bahwa Indonesia tengah menghadapi "pandemi kekerasan seksual" di lingkungan pendidikan tinggi. Banyak kasus yang tidak terlaporkan karena korban sering merasa takut dan malu, menunjukkan bahwa kesadaran dan mekanisme penanganan kekerasan seksual di perguruan tinggi masih sangat perlu ditingkatkan ​(theindonesia.id).

Dikutip dari laman Kemendikbud ristek, kekerasan seksual adalah setiap perbuatan merendahkan, menghina, melecehkan, dan/atau menyerang tubuh, dan/atau fungsi reproduksi seseorang, karena ketimpangan relasi kuasa dan/atau gender, yang berakibat atau dapat berakibat penderitaan psikis dan/atau fisik termasuk yang mengganggu kesehatan reproduksi seseorang dan hilang kesempatan melaksanakan pendidikan dengan aman dan optimal.

Kekerasan seksual tidak hanya menimbulkan dampak fisik, tetapi juga psikologis yang mendalam bagi korban. Banyak korban kekerasan seksual memilih untuk diam karena rasa takut, malu, atau tidak percaya pada sistem hukum. Namun, penting bagi kita semua untuk mengubah budaya diam ini dan berani berbicara. Speak up bukan hanya sekadar ungkapan, tetapi merupakan langkah penting dalam menghancurkan tembok diam yang melindungi pelaku kekerasan seksual.

Kekerasan seksual merupakan fenomena yang kompleks dan dapat dianalisis dari berbagai perspektif, termasuk perspektif sosiologis. Kekerasan seksual tidak hanya dapat dipahami dari interaksi individu semata, tetapi juga sebagai hasil dari struktur sosial yang lebih luas, serta norma dan nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat. Berikut beberapa faktor yang dapat mempengaruhi kekerasan seksual dari perspektif ini dikutip dari berbagai sumber meliputi lima aspek berikut.

Relasi Kuasa dan Dominasi

Kekerasan seksual sering kali terjadi dalam konteks ketidaksetaraan kekuasaan antara pelaku dan korban. Menurut teori feminis, struktur patriarki yang mendominasi banyak masyarakat memberikan kekuasaan yang tidak seimbang kepada laki-laki dibandingkan perempuan. Ini menciptakan lingkungan di mana laki-laki merasa memiliki hak atau kekuasaan atas tubuh perempuan. Michel Foucault juga menyoroti bagaimana kekuasaan terdistribusi dalam masyarakat dan bagaimana individu dalam posisi kekuasaan dapat mengendalikan dan mendominasi yang lain melalui kekerasan seksual​.

Norma dan Budaya

Norma sosial dan budaya memainkan peran penting dalam pembentukan perilaku kekerasan seksual. Sosiolog Erving Goffman mengemukakan konsep "institusi gender" di mana norma-norma gender tradisional mengatur perilaku seksual dan relasi antar jenis kelamin. Norma yang merendahkan perempuan dan menganggap kekerasan seksual sebagai sesuatu yang dapat diterima atau "normal" dalam konteks tertentu sangat berbahaya. Budaya patriarki memperkuat norma-norma ini dan menciptakan lingkungan dimana kekerasan seksual bisa terjadi dan tidak dilaporkan.

Struktur Sosial dan Ekonomi

Kekerasan seksual juga dipengaruhi oleh struktur sosial dan ekonomi. Perbedaan kelas dan status sosial ekonomi dapat meningkatkan kerentanan seseorang terhadap kekerasan seksual. Misalnya, perempuan dan anak-anak dalam keluarga berpenghasilan rendah mungkin lebih rentan terhadap eksploitasi seksual karena ketergantungan ekonomi. Struktur pekerjaan juga sering kali menciptakan hierarki yang memfasilitasi kekerasan seksual, seperti yang terlihat dalam kasus pelecehan seksual di tempat kerja, di mana atasan menyalahgunakan posisi mereka untuk mengeksploitasi bawahan​​.

Media dan Representasi

Media juga memiliki peran penting dalam membentuk persepsi masyarakat tentang kekerasan seksual. Representasi kekerasan seksual dalam media seringkali memperkuat stereotip gender dan norma yang merendahkan perempuan. Teori komunikasi massa menunjukkan bahwa media bisa mempengaruhi sikap dan perilaku masyarakat melalui penekanan atau pengabaian tertentu terhadap isu-isu kekerasan seksual.

Reaksi Sosial dan Penanganan Kasus

Menurut teori labeling atau pelabelan, bagaimana masyarakat merespons kekerasan seksual dapat mempengaruhi apakah kasus tersebut dilaporkan atau tidak. Stigma sosial yang melekat pada korban kekerasan seksual seringkali mencegah mereka untuk melapor, karena takut akan pembalasan atau dikucilkan. Labeling juga bisa mempengaruhi proses penegakan hukum dan kebijakan publik, di mana korban sering kali tidak mendapatkan keadilan yang layak karena sistem yang bias dan tidak adil.

Pentingnya Speak Up!!!

Membicarakan kekerasan seksual bukanlah hal yang mudah. Stigma sosial, tekanan dari lingkungan, dan ancaman dari pelaku seringkali membuat korban memilih untuk diam. Namun, speak up adalah langkah awal yang penting dalam proses pemulihan dan pencarian keadilan. Ketika korban berbicara, mereka mengungkapkan kebenaran dan mencegah pelaku untuk melanjutkan aksi mereka. Budaya diam atau mengabaikan kekerasan seksual hanya memperpanjang masalah dan memungkinkan pelaku untuk terus berperilaku tanpa pertanggungjawaban. Dengan berbicara, korban dan saksi memberi suara kepada kebenaran dan memperkuat keberanian untuk mengekspos pelanggaran.

Ketika orang-orang berbicara tentang kekerasan seksual, itu memicu kesadaran di komunitas kampus tentang masalah tersebut. Pendidikan tentang apa itu kekerasan seksual, tanda-tanda yang harus diwaspadai, dan cara melaporkannya menjadi lebih menjangkau dan efektif.  Korban sering kali merasa terisolasi dan takut untuk melaporkan kekerasan seksual. Dengan menggalang dukungan dari lingkup pendidikan, korban merasa didukung dan diberdayakan untuk mengambil langkah-langkah menuju keadilan dan pemulihan.

"Speak Up" bukan hanya ungkapan sederhana, tetapi panggilan tindakan kolektif yang dapat membawa perubahan nyata dalam pencegahan dan penanggulangan kekerasan seksual di lingkungan pendidikan. Setiap suara yang didengar dan setiap langkah yang diambil membantu membangun yang lebih baik dan lebih aman untuk semua orang. Kekerasan seksual mengancam integritas dan keamanan seluruh pihak-pihak di dalam lingkup pendidikan. Dengan berbicara, kita membangun lingkungan yang lebih aman, inklusif, dan peduli terhadap kesejahteraan setiap orang.

 

Info lebih lanjut: 

Andi Nurlela adalah Dosen Departemen Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Hasanuddin. Andi Nurlela dapat dihubungi melalui email di andinurlela@unhas.ac.id

Submission Agreement

Terimakasih atas  ketertarikan Anda untuk mengirimkan artikel ke BaKTINews. Dengan menyetujui pernyataan ini, Anda memberikan izin kepada BaKTINews untuk mengedit dan mempublikasikan artikel Anda di situs web dan situs afiliasinya, dan dalam bentuk publikasi lainnya.
Redaksi BaKTINews tidak memberikan imbalan kepada penulis untuk setiap artikel yang dimuat.  Redaksi akan mempromosikan artikel Anda melalui situs kami dan saluran media sosial kami.
Dengan mengirimkan artikel Anda ke BaKTINews dan menandatangani kesepakatan ini, Anda menegaskan bahwa artikel Anda adalah asli hasil karya Anda, bahwa Anda memiliki hak cipta atas artikel ini, bahwa tidak ada orang lain yang memiliki hak untuk ini, dan bahwa konten Artikel Anda tidak mencemarkan nama baik atau melanggar hak, hak cipta, merek dagang, privasi, atau reputasi pihak ketiga mana pun.

Anda menegaskan bahwa Anda setidaknya berusia 18 tahun dan kemampuan untuk masuk ke dalam kesepakatan ini, atau bahwa Anda adalah orang tua atau wali sah dari anak di bawah umur yang menyerahkan artikel.
 
Satu file saja.
batasnya 24 MB.
Jenis yang diizinkan: txt, rtf, pdf, doc, docx, odt, ppt, pptx, odp, xls, xlsx, ods.