Andi, seorang Pendamping di Layanan Berbasis Komunitas (LBK) Lentera Emas, mendapatkan laporan dari Kepala Wilayah (Kawil) bahwa terjadi pernikahan anak di salah satu dusun di desanya. Mereka adalah anak lelaki berumur 16 tahun dan perempuan berumur 14 tahun. Saat itu, calon pengantin perempuannya sudah berada di rumah calon pengantin laki-laki. Kedua keluarga mengaku sangat terkejut, karena perkenalan yang hanya dua hari melalui media sosial berujung pernikahan.
Proses komunikasi di antara kedua keluarga tidak mudah. Apalagi calon pengantin perempuan berasal dari kabupaten tetangga yang memiliki awig-awig (peraturan lokal) yang bisa saja berbeda. Namun dengan mempertimbangkan usia kedua calon pengantin ini, pembatalan perkawinan (Belas) tetap harus dilakukan.
Proses Mesejati pun dilaksanakan. Mesejati merupakan tahapan perkawinan adat Sasak setelah prose Melaiq dilakukan. Mesejati dilakukan sehari setelah Melaiq. Tujuan Mesejati ini untuk mengabarkan ke pihak keluarga calon Pengantin bahwa sudah dilakukan Melaiq oleh kedua calon pengantin. Selain itu proses ini juga memberikan informasi tentang calon pengantin laki-laki kepada keluarga calon pengantin perempuan. Pada proses tersebut juga disampaikan bahwa kedua calon pengantin ini ternyata masih belum cukup umur untuk melakukan pernikahan. Setelah memberikan pengertian kepada keluarga calon pengantin perempuan, akhirnya disepakati bahwa perkawinan tersebut dibatalkan dan calon pengantin perempuan dijemput oleh keluarganya.
Kasus perkawinan anak yang dihadapi oleh Andi, termasuk salah satu kasus perkawinan anak yang dapat dicegah (dibatalkan) yang proses cukup lancar. Beberapa kasus lain bahkan menimbulkan keributan di kedua belah pihak pengantin, sehingga tidak jarang proses “Belas” pun harus melibatkan petugas dari UPTD PPA (Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak).
Seperti yang dialami oleh salah satu Pendamping LBK Teros, Rahima. Pengalaman melakukan “pembelasan” perkawinan anak tidak selancar Andi. Saat itu, salah satu Kawil di desanya mengajukan aduan bahwa terjadi perkawinan anak, dan sudah dilakukan proses komunikasi untuk di Belas tetapi ditolak oleh kedua belah pihak keluarga dengan alasan bahwa calon pengantin laki-laki telah cukup umur (25 tahun).
Namun, rencana perkawinan tersebut juga tetap harus dipikirkan kembali karena usia calon pengantin perempuan yang baru berusia 14 tahun. Selain itu juga, mempertimbangkan bahwa calon pengantin laki-laki tersebut memiliki rekam jejak yang tidak baik pada pernikahan sebelumnya, KDRT (kekerasan dalam rumah tangga) yang berujung pada perceraian dan masalah sosial lainnya. Calon pengantin laki-laki dipandang belum memiliki kepatutan untuk melakukan pernikahan.
Beberapa kali Rahima bersama petugas UPTD PPA Kabupaten Lombok Timur melakukan komunikasi dengan pihak keluarga calon pengantin perempuan agar proses pembatalan (Belas) dapat dilakukan. Melalui proses tersebut, diketahui bahwa calon pengantin perempuan tersebut selama ini tinggal bersama neneknya yang merasa sudah tidak mampu lagi membiayai kehidupan cucunya tersebut. Kedua orang tua calon pengantin telah lama bercerai dan saat ini bekerja sebagai BMI (Buruh Migran Indonesia) di Malaysia. Merasa tidak mampu lagi untuk merawat dan membiayai cucunya, maka perkawinan dianggap sebagai salah satu solusi.
Tentu ini menjadi perkara yang tidak mudah, namun bukan berarti tidak dapat diselesaikan. Setelah berdiskusi dengan beberapa pihak terkait, disepakati bahwa proses Belas akan tetap dilakukan. Calon pengantin perempuan akan kembali ke keluarganya. Namun dalam pantauan Dinas Sosial, dengan melanjutkan kembali pendidikannya pada salah satu sekolah rujukan yang telah ditunjuk oleh pemerintah daerah.
Dalam adat masyarakat Sasak (Suku di Pulau Lombok), pembatalan perkawinan boleh dilakukan. Terlebih jika perkawinan yang akan dilakukan tersebut tidak memenuhi dua unsur utama perkawinan. Kedua unsur utama tersebut adalah “paut” dan “patut” atas dalam Bahasa Indonesia “pantas” dan “layak”.
Unsur paut merupakan unsur yang berkaitan dengan paras, umur, dan latar belakang calon pengantin. Sementara patut, merupakan unsur yang meliputi kelayakan atau kualitas diri calon pengantin. Yang meliputi perilaku, kedewasaan, mata pencaharian dan hal lainnya yang dianggap akan dapat mempengaruhi rumah tangga kedepannya. Jika keluarga menganggap bahwa calon pengantin, baik perempuan maupun laki-laki belum memenuhi kedua unsur tersebut maka pembatalan perkawinan dapat dilakukan.
Lalu, kapan pembatalan boleh dilakukan? Dari konteks adat, jika calon pengantin telah dibawa ke rumah kerabat atau keluarga calon pengantin laki-laki, maka pembatalan dapat dilakukan pada saat proses Selabar dilakukan. Selabar merupakan tahapan ketiga setelah proses Melaiq dan Mesejati dilakukan. Selabar merupakan tahap negosiasi kedua belah pihak untuk mendapatkan keputusan bersama tentang perkawinan yang akan dilakukan.
Perkawinan masyarakat sasak pada umumnya melalui beberapa tahap. Pertama, Melaiq, ini merupakan tahapan ketika calon pengantin perempuan dibawa oleh calon pengantin laki-laki ke rumah kerabat atau keluarganya tanpa sepengetahuan keluarga pihak calon pengantin perempuan. Tahapan ini harus memenuhi syarat yaitu disepakati oleh kedua calon pengantin sehingga tidak ada paksaan dan harus dilakukan pada malam hari setelah Sholat Magrib dan sebelum Isya. Jika dilakukan pada waktu lain maka dapat dikenakan sanksi adat berupa denda (sejumlah uang yang harus dibayarkan). Tahap ini yang sering salah dipahami oleh berbagai pihak, tidak hanya masyarakat sasak sendiri tetapi juga pihak lain dan selalu dijadikan sebagai salah satu penyebab tingginya angka perkawinan anak di Lombok.
Kedua, Mesejati, tahapan ini dilakukan sehari setelah proses Melaiq dilakukan. Pada tahap ini Kawil dan sesepuh kampung akan berkunjung ke Kawil dimana calon pengantin berdomisili. Tujuan kunjungan ini untuk menginformasikan bahwa telah dilakukan proses melaiq oleh kedua calon pengantin. Pada proses ini diberikan informasi latar belakang kedua calon pengantin.
Ketiga, Selabar. Proses ini dilakukan setelah tiga hari proses Melaiq dilakukan. Kembali, Kawil, sesepuh kampung dan perwakilan keluarga berkunjung ke keluarga calon pengantin perempuan. Tahapan ini merupakan tahapan yang paling menentukan. Pada tahap ini pembatalan perkawinan dapat dilakukan. Pihak keluarga perempuan dapat menolak atau menunda perkawinan dilaksanakan dengan mempertimbangkan unsur Paut dan Patut yang telah mereka dapatkan informasinya saat proses Mesejati dilakukan. Jika dianggap layak, maka pernikahan dilanjutkan dengan menentukan hari akad nikah dilakukan. Namun jika pernikahan dianggap tidak layak dilanjutkan, maka proses Belas (pemisahan calon mempelai) akan dilakukan.
Secara budaya, khususnya pada proses perkawinan, masyarakat Sasak memiliki kearifan lokal yang mampu melindungi perempuan. Sayangnya, masih ada kesalahan dalam pemahaman proses perkawinan tersebut. Salah satunya adalah adanya anggapan ketika proses Melaiq sudah terjadi, masyarakat menganggap bahwa pernikahan wajib dilakukan jika tidak maka akan menjadi aib bagi keluarga dan karma bagi calon pengantin perempuan akan kesulitan untuk mendapatkan jodoh lagi.
Padahal, adat telah memberikan ruang negosiasi yang sangat fleksibel serta telah menetapkan ketentuan proses perkawinan untuk memastikan bahwa pernikahan yang akan dilaksanakan tersebut akan mendatangkan kebaikan bagi semua pihak. Memberikan pemahaman tentang perkawinan baik dari sisi agama, adat, dan hukum negara masih menjadi pekerjaan rumah bersama sehingga tidak lagi terjadi “salah kaprah” atau “salah paham” yang justru menjadi alasan untuk melanggengkan perkawinan anak.