Sudah tiga malam Rosalina (nama samaran), seorang perempuan suku Marind di Papua, bermimpi ‘dimakan oleh kelapa sawit’. Ia telah mengalami mimpi buruk berulang kali dan melihat duri tajam kelapa sawit berubah menjadi bayonet, sementara buahnya yang keras dan bundar berubah menjadi peluru.
Dalam mimpinya, Rosalina mendengar bunyi tembakan sebelum menemukan ayahnya jatuh bersimbah darah. Ia kemudian meninggal pada malam berikutnya akibat kelaparan dan kehausan setelah tersesat di perkebunan kelapa sawit di tengah malam.
Mimpi buruk Rosalina berupa ‘dimakan oleh kelapa sawit’ atau ‘ditembak oleh kelapa sawit’, menjangkiti banyak orang Marind di desa Khalaoyam, Papua, tempat saya melakukan kerja lapangan etnografi sejak 2011.
Desa ini merupakan satu dari beberapa pemukiman Marind yang terkena dampak ekspansi perkebunan kelapa sawit berskala besar di bawah Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE) atau Kawasan Makanan dan Energi Terpadu Merauke, sebuah proyek pengembangan pemerintah yang akan mengkonversi setidaknya satu juta hektar hutan menjadi lahan yang komersial.
Desa Khalaoyam adalah rumah bagi sekitar 200 kepala keluarga orang Marind yang bergantung terutama pada hutan untuk penghidupan mereka – misalnya, berburu, mengumpulkan, dan menangkap ikan. Namun, hutan tersebut mewakili lebih dari sekadar sumber makanan bagi penduduk asli Marind.
Sebagai contoh, Gerfacius, anggota dari komunitas Marind, berbicara kepada saya tentang tanah yang masih termasuk hutan leluhur yang rimbun, namun kini telah rata untuk membuka jalan bagi kelapa sawit selama beberapa tahun terakhir.
Bagi dia, tanah tersebut penuh dengan ingatan akan tanaman dan hewan-hewan yang sudah dianggap sebagai keluarga. Namun, ingatan tersebut telah hilang.
Hutan adalah keluarga kami
Bagi orang Marind, hutan adalah “sentient ecology” (ekologi yang memiliki kehidupan) yang keberadaannya mencakup tanaman dan hewan sebagai mahkluk yang hidup.
Hal ini tercermin ketika banyak penduduk desa Marind menggambarkan hutan sebagai “keluarga” mereka. Pemilihan nama klan Marind merepresentasikan hubungan yang dalam antara tanaman dan hewan hutan dengan komunitas manusia yang berasal dari keturunan roh leluhur yang sama, atau dema (dalam bahasa Marind).
Sebagai contoh, klan Mahuze berarti “anak-anak anjing (mahu berarti anjing dan ze adalah "anak dari” dalam Bahasa Marind) dan klan Balaigaze berarti “anak-anak buaya.”
Lebih lanjut, Marind menganggap segala tumbuhan dan hewan yang hidup di hutan sebagai makhluk yang hidup yang dianugerahi dengan kemauan dan tindakan sendiri.
Setiap klan Marind, atau bawan (dalam bahasa Marind), memiliki hubungan dengan spesies lain yang mereka sapa sebagai kakek-nenek (amai) lain atau saudara kandung (namek), yang berbagi tubuh secara jasmani (dubadub) dan kulit (igid).
Marind menganggap semua mahkluk yang memiliki kulit dan tubuh memiliki kepribadian (personhood) yang diwujudkan dalam bentuk keringat, tangis, getah, lumpur, air, minyak dan lainnya.
Manusia dan amai (organisme di hutan) mempertahankan keberadaan bersama mereka dengan menjaga satu sama lain melalui perilaku sehari-hari.
Sebagai contoh, amai bertumbuh untuk menyediakan makanan dan sumber daya lainnya bagi manusia. Sebagai imbalan, orang Marind menghormati dan melakukan ritual ketika mereka berinteraksi dengan amai (tumbuhan dan hewan) di dalam hutan, mereka mengingat cerita-cerita, berburu, meramu, dan mengonsumsi sumber daya tersebut. Pertukaran tersebut serta ritual perawatan dan penghormatan memungkinkan manusia dan bukan-manusia dapat hidup secara harmonis di hutan.
Orang Marind dan ekspansi kelapa sawit
Sekitar tahun 2008, deforestasi skala besar dan ekspansi kelapa sawit dilakukan oleh pemerintah Indonesia atas nama pembangunan ekonomi nasional dan kedaulatan pangan, merusak hubungan antara orang Marind dengan kerabat mereka, yang bukan-manusia.
Perancangan dan penerapan proyek besar tersebut tanpa adanya persetujuan terlebih dahulu (free, prior, and informed consent) dari orang Marind. Banyak komunitas yang melaporkan mengalami paksaan untuk menyerahkan tanah mereka dengan kompensasi ganti rugi yang tidak setimpal.
Satu keluarga, sebagai contoh, melaporkan hanya mendapatkan bayaran Rp 350.000 per hektare tanah atau kurang dari 35 dolar Australia selama 25 tahun.
Keluhan lainnya skema Tanggung Jawab Sosial Perusahaan yang tidak terpenuhi, peningkatan kerawanan pangan lokal, krisis polusi air, hilangnya keanekaragaman hayati endemik, dan deforestasi yang meluas, termasuk melalui pembakaran ilegal.
Orang Marind melihat diri mereka satu dengan alam, sehingga perusakan hutan lebih dari sekadar masalah “lingkungan” untuk orang Marind.
Kehancuran ini merusak hubungan historis laki-laki, perempuan, dan anak-anak Marind dengan tanaman dan hewan di hutan, tempat hidup mereka bersama.
Kerusakan hutan telah menghapus kejadian masa lalu, memori, dan cerita-cerita yang ada di tempat tersebut –- baik dari pepohohan, organisme, sungai, dan lembah.
Orang Marind juga kehilangan asupan makanan yang bergizi yang disediakan oleh hutan akibat deforestasi.
Pemusnahan hutan merupakan representasi kehilangan atas dunia multispesies yang dinamis di mana identitas orang Marind sebagai manusia dan sebagai masyarakat adat berakar.
Pelajaran yang bisa diambil dari orang Marind
Perubahan hutan menjadi lahan perkebunan jauh dari sekadar perubahan “ekologis” bagi masyarakat adat seperti orang Marind.
Orang Marind percaya bahwa “alam” dan “budaya” tidak dapat dipisahkan dan berada pada dunia yang sama. Manusia dan lingkungan menjalin hubungan yang berarti bagi satu sama lain.
Perubahan dari hutan yang dianggap sebagai keluarga menjadi perkebunan industrial mengubah keadaan sosial, moral, dan harga diri kolektif dari orang Marind yang bergantung dan hidup dari makhluk hidup yang ada di hutan, secara drastis.
Rasa emosional, kosmologis, dan arti sosial dari hutan bagi orang Marind dan dampak kehancuran bagi mereka membuat kita harus memikirkan kembali perkembangan berskala besar yang diajukan oleh negara untuk memperbaiki keadaan sosioekonomis bagi komunitas yang ada di Papua.
Merancang kembali bentuk pengembangan melalui pendekatan atas-ke-bawah menjadi bawah-ke-atas yang berasal dari masyarakat adat yang sudah memiliki pemahaman alam yang membentuk norma budaya, nilai dan aspirasi mereka.
Hal ini tidak berarti budaya adat itu statis dan tidak dapat diubah atau mengganggap mereka menolak pada perkembangan.
Sebaliknya, kita juga perlu melihat akar dan pendekatan kultural yang menghargai kepercayaan, kosmologi, dan praktik dari masyarakat adat yang keberadaannya mereka tidak bisa dipisahkan dari keberadaan makhluk lain di hutan sebagai “keluarga”.
Fahri Nur Muharom menerjemahkan artikel ini dari Bahasa Inggris.
Catatan editor: Istilah ‘West Papua’ dalam teks asli diterjemahkan sebagai Papua dalam teks bahasa Indonesia untuk menghindari kerancuan dengan Provinsi Papua Barat. Penulis menggunakan ‘West Papua’ untuk Papua secara keseluruhan dan bukan mengacu pada nama provinsi. Wilayah Papua terdiri atas dua provinsi: Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat. Suku Marind dalam artikel ini berada di Merauke, Provinsi Papua.
Sophie Chao, Postdoctoral Research Associate in History, University of Sydney
Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.