Masa remaja adalah salah satu fase penting dalam kehidupan setiap individu, di mana mereka mulai membangun hubungan sosial yang lebih mendalam, termasuk pertemanan yang lebih dekat dan hubungan romantis. Meskipun remaja adalah masa yang penuh potensi untuk pertumbuhan dan pembelajaran, hubungan romantis yang dilakukan remaja dalam fase perkembangan ini rentan mengarah ke hal yang negatif.
Secara biologis, seorang manusia memiliki beberapa fase dalam perkembangannya. Salah satunya adalah fase perkembangan dalam seksualitas yang dijelaskan dalam teori psikoseksual oleh Sigmund Freud. Dalam teori psikoseksual, remaja di usia 12-17 tahun umumnya tengah mengalami fase genital yang didukung dengan perkembangan fisik secara seksual dan pubertas. Fase genital ini merupakan tahap akhir perkembangan psikoseksual, pada fase ini seseorang akan mengalami perubahan yang besar dalam dirinya, seperti perubahan seksual primer dan sekunder yang mereka alami.
Hal tersebut menunjukkan bahwa remaja pada tahap ini sedang memulai proses kematangan seksual. Kematangan ini dapat mendorong mereka untuk mengeksplorasi perasaan ketertarikan terhadap lawan jenis mereka karena perubahan hormonal heteroseksual yang mereka alami. Perubahan hormonal dan fisik, ditambah dengan ketidakstabilan psikologis yang seringkali terjadi pada remaja membuat hubungan remaja menjadi rentan akan hal negatif.
Toxic Relationship dalam Hubungan Remaja
Toxic relationship atau hubungan yang merugikan satu atau lebih pihak yang terlibat dalam berbagai aspek kehidupan mereka. Kerugian dalam hubungan dapat mengambil berbagai bentuk termasuk kontrol berlebihan, perasaan tidak nyaman, dan eksploitasi seksual. Hal ini menjadi masalah serius, terutama saat remaja yang masih dalam proses pencarian identitas dan pengalaman pertama dalam menjalani sebuah hubungan. Seringkali, hubungan antara pasangan remaja yang sedang mencari jati diri dan dalam fase genital akan mengeksplorasi banyak hal yang mereka belum pernah mereka ketahui utamanya mengenai hal berbau seksual.
Ciri-ciri dari hubungan toxic adalah rasa tidak aman (insecurity), penyalahgunaan kekuasaan dan kontrol (abuse of power and control), menuntut (demanding), mementingkan diri sendiri, mementingkan diri sendiri, mengkritik secara negatif, ketidakjujuran, ketidakpercayaan, serta komentar dan sikap yang merendahkan.
Salah satu karakter yang dapat ditemukan pada hubungan yang toxic adalah demanding atau menuntut. Contohnya adalah dengan menuntut untuk melakukan aktivitas seksual yang tidak diinginkan atau tidak disetujui, dengan begitu mereka akan mencoba bahkan memaksa untuk melakukan tindakan seksual bersama pasangannya. Pihak yang menuntut tersebut kerap menggunakan penyalahgunaan kekuasaan dan kontrol, sehingga dapat memanipulasi pasangannya untuk melakukan hal-hal yang ia kehendaki. Hal ini kemudian dapat menimbulkan tekanan dan keterpaksaan bagi mereka, sehingga rentan untuk menjadi objek eksploitasi seksual.
Ketika Eksploitasi Seksual Terjadi
Pada beberapa kasus, remaja yang mengalami eksploitasi seksual seringkali belum memiliki pemahaman yang cukup tentang apa yang seharusnya menjadi batas-batas seksual yang sehat, sehingga mereka dapat dengan mudah menjadi korban manipulasi dan tekanan dari pihak pelaku.
Pelaku mungkin menggunakan teknik-teknik seperti memanipulasi perasaan korban, membuat mereka merasa bersalah (gaslighting), atau menciptakan rasa takut agar korban tidak berani berbicara tentang pengalaman yang mereka alami. Hal tersebut kemudian membuat korban merasa bahwa mereka harus bertahan dalam hubungan tersebut meskipun mereka merasa tidak nyaman atau tersakiti.
Selain itu, remaja yang mengalami eksploitasi seksual seringkali merasa takut untuk berbicara tentang pengalaman mereka. Ada beberapa alasan mengapa hal ini terjadi. Salah satunya adalah karena stigma sosial yang masih melekat pada isu-isu seksual, terutama ketika remaja terlibat. Mereka khawatir akan dicap sebagai individu yang "tidak benar". Hal ini dapat menghambat mereka untuk mencari bantuan atau melaporkan kasus eksploitasi seksual yang mereka alami.
Remaja juga dapat merasa takut akan reaksi negatif dari anggota keluarga dan teman-teman mereka. Mereka mungkin takut bahwa orang lain tidak akan memahami atau bahkan menyalahkan mereka atas situasi yang mereka alami. Hal ini membuat remaja korban eksploitasi seksual seringkali merasa terisolasi dan tidak memiliki dukungan sosial yang cukup.
Konten Intim Non-Konsensual Menjadi Ancaman Terberat
Penyebaran konten intim non-konsensual atau non-consensual dissemination of intimate images (NCII) adalah salah satu bentuk kekerasan berbasis gender yang rentan dialami oleh remaja dalam hubungan. Hal ini menjadi ancaman terberat dalam hubungan remaja. Ketika salah satu pihak dalam hubungan merasa terhina, marah, atau ingin membalas dendam, mereka mungkin memutuskan untuk mempublikasikan konten intim dari pasangan mereka sebagai bentuk kemarahan mereka. Hal ini tidak hanya merupakan tindakan melanggar privasi, tetapi juga dapat menyebabkan kerusakan psikologis yang signifikan pada korban, seperti rasa malu, depresi, dan trauma.
Dalam mengatasi ancaman penyebaran konten intim non-konsensual ini, penting untuk memberikan pendidikan tentang hubungan yang sehat, persetujuan, dan batas-batas seksual kepada remaja. Masyarakat juga perlu meningkatkan kesadaran tentang konsekuensi serius dari penyebaran konten intim non-konsensual dan mendorong tindakan hukum yang lebih tegas terhadap pelaku. Perlindungan korban dan akses ke dukungan psikologis juga sangat penting untuk membantu mereka pulih dari dampak yang merusak. Selain itu, membantu remaja mengidentifikasi tanda-tanda hubungan tidak sehat dan memberikan dukungan untuk keluar dari hubungan yang tidak sehat juga bisa menjadi langkah penting dalam mengurangi resiko eksploitasi seksual melalui penyebaran konten intim non-konsensual dalam hubungan remaja.
Dampak Psikologis dari Eksploitasi Seksual dalam Hubungan Remaja
Bentuk dampak psikologis eksploitasi seksual dalam hubungan remaja adalah masalah serius yang bisa berdampak jangka panjang pada kesejahteraan mereka. Korban eksploitasi seksual sering mengalami berbagai masalah emosional dan psikologis yang menghantui mereka.
Kecemasan adalah dampak yang umum terjadi. Korban mungkin merasa cemas karena merasa tidak aman dalam hubungan mereka atau karena takut pengalaman buruk tersebut akan berulang. Depresi, perasaan sedih yang mendalam, dan kehilangan minat pada aktivitas yang mereka nikmati juga sering terjadi. Mereka juga seringkali merasa rendah diri, terutama jika mereka merasa mereka adalah penyebab masalah tersebut.
Dampak lainnya yang ditimbulkan adalah sebuah trauma. Pengalaman traumatis ini bisa menyebabkan korban mengalami stres pasca-trauma (PTSD), yang ditandai dengan kejadian yang menghantui, mimpi buruk, dan reaksi emosional yang kuat terhadap peristiwa tersebut. Trauma ini bisa memengaruhi hubungan korban dengan orang lain, termasuk teman, orang tua, dan anggota keluarga.
Tindakan manipulatif yang dilakukan oleh pasangan seringkali membuat korban merasa terjebak dan dipaksa untuk melakukan hal-hal yang sebenarnya mereka tidak ingin lakukan. Hal ini bisa merusak kepercayaan diri mereka dan membuat mereka merasa bahwa mereka kehilangan kendali atas hidup dan tubuh mereka.
Pencegahan dan Penanganan
Untuk mencegah dampak dari toxic relationship pada remaja, sangat penting memberikan pemahaman kepada remaja tentang hubungan yang sehat dan mengenali tanda-tanda eksploitasi seksual. Orang tua dan sekolah berperan dalam memberikan pendidikan kepada remaja mengenai edukasi seksual, hubungan sehat, dan hak individu.
Selain itu, penting juga untuk menciptakan lingkungan yang aman di mana remaja merasa nyaman untuk berbicara tentang pengalaman mereka tanpa takut dicap atau dihakimi. Berikut adalah hal yang dapat dilakukan oleh keluarga maupun orang terdekat dalam mengedukasi remaja:
1. Melakukan Komunikasi Terbuka
Ajarkan remaja pentingnya komunikasi terbuka dalam hubungan. Mereka harus merasa nyaman berbicara tentang perasaan, keinginan, dan masalah mereka dengan pasangan mereka tanpa takut dihakimi atau dicap.
2. Mengajarkan soal Persetujuan dan Penghormatan
Tekankan bahwa persetujuan adalah hal yang sangat penting dalam hubungan. Remaja harus memahami bahwa mereka harus selalu mendapatkan persetujuan dari pasangan mereka sebelum bertindak. Ajarkan pula untuk menghormati satu sama lain. Mereka harus memahami bahwa setiap individu memiliki hak dan batas pribadi yang harus dihormati.
3. Mengajarkan soal Batasan yang Sehat
Bantu remaja dalam menetapkan batasan yang sehat dalam hubungan mereka. Mereka harus tahu kapan harus mengatakan "tidak" jika mereka merasa tidak nyaman dengan sesuatu, dan mereka juga harus menghormati batasan yang ditetapkan oleh pasangan mereka.
4. Bantu Mereka Memahami Emosi
Ajarkan remaja untuk memahami emosi mereka sendiri dan pasangan mereka. Hal ini dapat membantu mereka mengatasi konflik dengan cara yang lebih sehat.
5. Identifikasi Tanda-Tanda Toxic Relationship
Beritahu remaja tentang tanda-tanda kekerasan atau penyalahgunaan dalam hubungan. Mereka harus tahu bagaimana mengenali tanda-tanda ini dan mengambil langkah-langkah untuk melindungi diri mereka jika terjadi situasi yang tidak nyaman dan mengancam.
Apabila eksploitasi seksual telah terjadi, dukungan psikologis, konseling, dan terapi sangat penting bagi korban. Hal ini dapat membantu mereka mengatasi dampak psikologis dan emosional dari pengalaman traumatis, serta memberikan dukungan yang diperlukan selama proses pemulihan. Dukungan dan perlindungan pertama terhadap korban eksploitasi seksual remaja juga bisa didapatkan dalam Layanan Sahabat Perempuan dan Anak (SAPA) 129 yang memudahkan korban atau pelapor dalam melaporkan kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak, serta untuk mencatat kasus tersebut.
Penulis adalah mahasiswi magang dari Universitas Hasanuddin dan dapat dihubungi melalui email chantikamaharani24@gmail.com